BPOM: Klorokuin Masih Digunakan Terbatas dalam Pengobatan COVID-19 di Indonesia

Hasil temuan sementara menyebutkan, penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin di Indonesia tidak meningkatkan risiko kematian pada pasien COVID-19

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 21 Jun 2020, 10:00 WIB
Obat Malaria Hydroxychloroquine. (AP / John Locher)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia mengatakan bahwa Indonesia masih menggunakan klorokuin dan hidroksiklorokuin sebagai pilihan pengobatan pasien COVID-19.

Pernyataan ini dirilis BPOM usai dihentikannya penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada keadaan darurat COVID-19 di Amerika Serikat dan Inggris berdasarkan studi yang mereka lakukan.

"Di negara lain, termasuk Indonesia obat ini masih merupakan salah satu pilihan pengobatan yang digunakan secara terbatas pada pasien COVID-19," tulis BPOM dikutip dari laman resminya pada Minggu (21/6/2020).

"Hal ini sejalan dengan persetujuan penggunaan terbatas saat darurat dari Badan POM yang dilekeluarkan pada bulan April 2020, di mana diutamakan pada pasien dewasa dan remaja yang memiliki berat 50 kg atau lebih yang dirawat di rumah sakit."

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini


Hasil Studi Sementara

Kepala BPOM Penny Lukito menerangkan soal penarikan ranitidin di Indonesia. (Foto: Humas BPOM)

Badan yang dikepalai oleh Penny K. Lukito itu juga menyebutkan, penelitian observasional penggunaan klorokuin dan hidroksiklorokuin pada pasien COVID-19 di beberapa rumah sakit di Indonesia masih dilakukan.

Hasil sementara penelitian menunjukkan bahwa kedua obat tersebut tidak meningkatkan risiko kematian jika dibandingkan pengobatan standar COVID-19.

"Walaupun menimbulkan efek samping pada jantung berupa peningkatan interval QT pada rekaman jantung, tetapi tidak menimbulkan kematian mendadak. Efek samping ini sangat sedikit karena sudah diketahui sehingga bisa diantisipasi sebelumnya."

Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa penggunaan obat tersebut mampu mempersingkat lama rawat inap di rumah sakit.

Namun, BPOM menegaskan bahwa penggunaan kedua obat tersebut tetap harus merujuk pada informasi kehati-hatian mengenai risiko gangguan jantung sebagai efek dari penggunaan kedua obat ini. Hal ini seperti tercantum dalam Informatorium Obat COVID-19 di Indonesia yang diterbitkan Badan POM dan Protokol Tatalaksana COVID-19 yang diterbitkan bulan April 2020.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya