Waspada, Ini Jam-Jam Nyamuk Aedes Aegypti Penyebab DBD Serang Manusia

Nyamuk Aedes Aegypti penyebab DBD memiliki ciri fisik di bagian kaki yang berwarna hitam putih.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 22 Jun 2020, 21:18 WIB
Nyamuk Aedes aegypti / Sumber: Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Nyamuk Aedes Aegypti disebut sebagai serangga penyebar demam berdarah dengue (DBD). Menurut dokter ahli infeksi dan pediatri tropik Mulya Rahma Karyanti, nyamuk ini ditandai dengan ciri fisik di bagian kaki yang berwarna hitam putih.

“Aedes Aegypti itu khasnya adalah kakinya berwarna hitam dan putih seperti zebra,” ujar Mulya dalam konferensi pers BNPB, Senin (22/6/2020).

Selain ciri fisik nyamuk, ia juga menyebutkan kecenderungan nyamuk tersebut saat menggigit. Menurutnya, aedes aegypti biasanya menggigit pada pagi hari.

“Dia senangnya gigitnya pada pagi hari. Antara pukul 10 sampai pukul 12 di masa anak-anak sedang sekolah, kadang-kadang kenanya di situ dan sebelum magrib pukul 16 hingga 17 sore.”

Simak Video Berikut Ini:


Trend DBD 2020 Berbeda dari Tahun Sebelumnya

Ada perbedaan tren kasus demam berdarah dengue (DBD) pada 2020. Bila pada tahun-tahun sebelumnya puncak kasus terjadi di setiap Maret tapi hingga pertengahan tahun masih tinggi.

Dari data Kementerian Kesehatan, hingga Juni 2020 setiap harinya masih menerima laporan antara 100-500 kasus DBD. Sehingga data akumulatif hingga 21 Juni 2020 ada 68.753 kasus DBD dengan angka kematian 446 kasus.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik , Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan masih tingginya kasus DBD hingga Juni kemungkinan besar karena hujan yang masih terjadi hingga bulan ini.

"Karena musim hujan yang memanjang, itu informasi dari BMKG kemarin-kemarin ini ya. Walau sekarang, banyak daerah yang mulai memasuki musim kemarau," kata Nadia dalam pesan singkat ke Health- Liputan6.com.

 


3 Tantangan Pemberantasan DBD di Masa COVID-19

Nadia juga menyebut ada 3 tantangan dalam upaya memberantas Demam Berdarah Dengue (DBD) di masa pandemi COVID-19.

 “Sejak pandemi COVID-19 ini untuk upaya pengendalian DBD kita sebenarnya punya 3 tantangan,” ujarnya. 

Menurutnya, yang pertama adalah kegiatan juru pemantau jentik (Jumantik) yang tidak optimal selama masa pandemi.

“Yang kedua tentunya karena bangunan-bangunan ataupun banyak hotel, sekolah, mushola,  dan tempat ibadah yang ditinggalkan saat berlakunya kegiatan belajar di rumah atau kerja dari rumah.”

Tantangan ketiga adalah masyarakat yang kebanyakan berada di rumah tidak melakukan pemberantasan sarang nyamuk di rumahnya.

“Di masa normal baru kita harus pastikan selain melaksanakan protokol pencegahan COVID-19 kita juga melakukan pemberantasan sarang nyamuk di sekolah, rumah ibadah, dan hotel.”  

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya