Liputan6.com, New York City - Putra semata wayang petinju legendaris Muhammad Ali angkat suara terkait gerakan Black Lives Matter (BLM) yang mendunia pada beberapa pekan terakhir. Muhammad Ali Jr. menolak mendukung gerakan itu serta percaya ayahnya juga tak akan mendukung.
Ia mengkritik kericuhan akibat demo Black Lives Matter, sebab protes bisa dilakukan dengan damai.
Baca Juga
Advertisement
"Kamu bisa protes dengan damai," ujar Muhammad Ali Jr. kepada New York Post, seperti dikutip Senin (22/6/2020).
Selain itu, Muhammad Ali Jr. berkata ayahnya mendukung prinsip 'all lives matter' (semua kehidupan berarti). Muhammad Ali Jr. juga menyebut Tuhan mencintai semua kalangan.
"Ayah saya bilang, 'all lives matter,'. Saya tidak berpikir ia akan setuju (dengan protes BLM yang terjadi)," kata Muhammad Ali Jr.
"Ini bukan cuma black lives matter, white lives matter, Chinese lives matter, all lives matter, kehidupan semua orang itu berarti. Tuhan mencintai semua orang, ia tidak pernah memilih satu saja. Membunuh itu salah entah siapa pun itu," ia melanjutkan.
Konsep Black Lives Matter dan All Lives Matter menjadi perdebatan ramai di media sosial.
Kubu All Lives Matter berargumen bahwa semua nyawa itu penting, sementara pendukung Black Lives Matter berkata gerakan mereka bukan berarti mengabaikan kalangan lain.
Demo Black Lives Matter yang terjadi selama sekitar dua minggu akibat kematian George Floyd diwarnai kericuhan dan penjarahan. Pasukan Garda Nasional di Amerika Serikat akhirnya turun tangan untuk mengendalikan situasi.
Presiden AS Donald Trump menyalahkan gerakan Antifa (anti-fascist) yang dituduh menunggangi demo tersebut. Muhammad Ali Jr. juga turut mengecam Antifa dan menyamakan gerakan itu dengan terorisme.
"Mereka menghancurkan bisnis-bisnis, memukuli orang-orang tidak bersalah di area tempat tinggal, merusak stasiun-stasiun-stasiun polisi dan toko-toko. Mereka teroris, mereka meneror masyarakat," ujar Muhammad Ali Jr.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Polisi AS Kini Dilarang Mencekik
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya menandatangani perintah eksekutif terkait reformasi kepolisian di tengah seruan untuk mengambil tindakan terhadap kebrutalan dan rasisme polisi. Trump sempat bersikeras menolak reformasi polisi.
Penandatanganan tersebut dilakukan pada Selasa, 16 Juni waktu setempat, tepat tiga pekan pascakematian George Floyd, seorang pria Amerika keturunan Afrika berusia 46 tahun, saat dalam penangkapan polisi Minneapolis yang memicu unjuk rasa di seluruh penjuru AS.
Perintah eksekutif ini berfokus pada tiga hal, yaitu penetapan kualifikasi dan sertifikasi petugas polisi, peningkatan pertukaran informasi untuk melacak petugas yang dituduh menggunakan kekuatan berlebihan, serta pembuatan program co-reponderterkait kesehatan mental, kecanduan narkoba, maupun tunawisma.
Perintah eksekutif tersebut juga menguraikan bahwa departemen kepolisian "tidak boleh mengizinkan praktik chokehold (pencekikan), manuver fisik untuk membatasi kemampuan individu bernapas yang bertujuan melumpuhkan individu tersebut, kecuali dalam situasi di mana penggunaan kekuatan mematikan diizinkan oleh hukum."
Advertisement