Pakar Kesehatan Masyarakat Unair Harap Ada Sanksi Tegas Terapkan Protokol Kesehatan

Pakar Kesehatan Masyarakat dari Universitas Airlangga (Unair), Dr Windhu Purnomo mengharapkan sanksi tegas untuk terapkan protokol kesehatan.

oleh Agustina Melani diperbarui 23 Jun 2020, 16:05 WIB
Konferensi pers perkembangan kasus virus corona baru yang memicu COVID-19 di Gedung Grahadi, Jumat (8/5/2020) (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Kesehatan Masyarakat dari Universitas Airlangga (Unair), Dr Windhu Purnomo menilai, sanksi tegas perlu diterapkan agar dapat mendisiplinkan masyarakat menjalani protokol kesehatan. Protokol kesehatan tersebut untuk mencegah penularan dan penyebaran Corona COVID-19.

Windhu menilai, bila hanya mengandalkan kesadaran masyarakat untuk sadar menjalankan protokol kesehatan keliru. Hal ini mengingat kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan dalam mencegah Corona COVID-19 masih rendah.

Windhu mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, kepatuhan warga tidak memakai masker mencapai 50 persen, kemudian tidak menjaga jarak sekitar 70 persen.

"Artinya tidak bisa tunggu dari kesadaran masyarakat karena tak bisa dikendalikan, law enforcement harus dibuat," ujar dia, saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (23/6/2020).

Ia pun mengharapkan ada perubahan dalam Peraturan Wali Kota Surabaya (Perwali) untuk menambahkan sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan. Sebelumnya sudah dikeluarkan Perwali Nomor 28 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada kondisi pandemi COVID-19 di Surabaya.

Dalam aturan itu pada pasal 34 tertulis antara lain sanksi administratif yaitu teguran lisan, teguran tertulis,penyitaan KTP, pembubaran kerumunan, penutupan sementara, tindakan pemerintah lainnya yang bertujuan hentikan pelanggaran, dan pencabutan izin.

"Di Gresik dan Sidoarjo ada denda. Di Surabaya tidak ada. Denda harus ditegakkan jangan cuma jadi macan kertas, karena saya lihat masih banyak yang tidak pakai masker tetapi paling tidak mereka (Gresik, Sidoarjo-red) punya aturan (denda-red)," kata dia.

Windhu menuturkan, ada sanksi tegas itu agar masyarakat patuh dan disiplin terhadap protokol kesehatan. Jadi seseorang berpikir lebih bijak saat akan melanggar protokol kesehatan. Dia mengatakan, sanksi tegas ini juga dijalankan oleh Singapura sehingga membuat enggan untuk melanggar.

"Di Singapura denda 300 dolar kalau tidak pakai masker. Kemudian dicatat dan langsung masuk data base. Kalau ketahuan melanggar kedua kalinya maka didenda lagi. Itu yang kita tidak punya," ujar dia.

"Lalu lintas saja ada undang-undang dilanggar, padahal undang-undang. Kita tak bisa hanya andalkan kesadaran masyarakat," ia menambahkan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Masa Transisi Momen Siapkan Infrastruktur dan Regulasi

Jalan MERR IIC Surabaya, Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Ia pun menyarankan, agar pemerintah daerah di Surabaya Raya yaitu Surabaya, Gresik dan Sidoarjo untuk bersabar dalam menerapkan new normal atau tatanan normal baru. Hal ini mengingat tingkat penularan di Surabaya Raya belum di bawah satu selama 14 hari berturut-turut.

Ia mengatakan, Surabaya Raya pernah tingkat penularan COVID-19 di bawah 1 pada 16 Juni 2020, tetapi hanya satu hari. Berdasarkan kriteria Bappenas dan WHO, Windhu menuturkan, tingkat penularan harus di bawah 1 selama 14 hari berturut-turut untuk keluar dari masa transisi.

“Data onshet 16 Juni 2020, Rt (tingkat penularan) di bawah satu. Sebelumnya belum pernah di bawah 1. Artinya bagus tetapi belum sesuai kriteria Bappenas dan WHO untuk masuk kriteria new normal,” kata Windhu.

Oleh karena itu, ia menuturkan, saat ini tidak dulu membicarakan new normal hingga kondisi penularan COVID-19 membaik.

”Tunggu hingga tanggal 30 Juni, kalau (tingkat penularan-red) di bawah satu sudah boleh keluar dari masa transisi menuju new normal dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat,” kata dia.

Surabaya Raya memutuskan tidak memperpanjang penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Oleh karena itu, Surabaya Raya memasuki masa transisi selama 14 hari berakhir pada 22 Juni 2020. Di Surabaya saja, saat masa transisi, pasien positif Corona COVID-19 ini bertambah 1.268 orang dari 9 Juni-21 Juni 2020.

"Melihat sudut epidemiologi belum boleh berhenti transisi. Saat ini saja masyarakat sudah tidak seperti merasakan enggak ada COVID-19. Oleh karena itu pemerintah kota dan kabupaten harus menegakkan aturan, aturan ada denda," kata dia.

Dalam masa transisi ini, menurut Windhu sebagai momen untuk menyiapkan infrastruktur mendukung protokol kesehatan. Selain itu juga mengubah aturan lebih tegas sehingga mendorong masyarakat disiplin menjalankan protokol kesehatan.

Sebelumnya, Ketua IDI Jatim dr Sutrisno SpOG menuturkan, kedisiplinan masyarakat harus ditingkatkan untuk menerapkan protokol kesehatan.

"Kepatuhan masyarakat masih rendah untuk terapkan protokol kesehatan, kedisiplinan harus ditingkatkan,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com.

Selain itu, menurut Sutrisno peran Kampung Tangguh juga harus kuat untuk menegakkan aturan.

"Tempat keramaian dikontrol. Tidak usah ditutup tetapi dimodifikasi. Memakai masker, duduk berjarak dua meter, sediakan tempat cuci tangan," kata dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya