HEADLINE: Sepak Terjang Kelompok John Kei, Polri Siap Perangi Premanisme?

Belum genap setahun keluar dari penjara, John Kei kembali berurusan dengan polisi terkait kasus perusakan, penembakan, dan pembunuhan.

oleh Nafiysul QodarAdy Anugrahadi diperbarui 24 Jun 2020, 12:52 WIB
John Kei digiring saat rilis kasus premanisme oleh kelompoknya di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (22/6/2020). John Kei memerintahkan anak buahnya membunuh Nus Kei dan anggotanya berinisial ER karena kecewa atas tidak meratanya uang hasil penjualan tanah. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - John Refra Kei alias John Kei kembali berurusan dengan kepolisian setelah enam bulan keluar dari penjara di Nusakambangan. Dia diduga terlibat dalam dua peristiwa kriminal di Tangerang dan Jakarta Barat pada Minggu siang 21 Juni 2020 lalu.

Semua bermula saat belasan anak buah John Kei dengan menumpang empat mobil menyerang rumah Nus Kei di Cluster Australia, Green Lake City, Cipondoh, Tangerang sekitar pukul 12.25 WIB. Konvoi empat mobil itu merangsek masuk dengan cara menabrak gerbang perumahan.

Mereka merusak rumah dan mobil Nus Kei. Kendaraan tetangga Nus Kei juga tak luput dari amukan. Gagal menemukan Nus Kei yang menjadi target utama, mereka bergegas meninggalkan Green Lake City dengan menerobos penjagaan sekuriti dan gerbang perumahan.

Mereka juga sempat melepaskan tembakan. Dalam peristiwa itu, seorang sekuriti terluka akibat tertabrak mobil. Sementara seorang pengemudi ojek online (Ojol) yang berada di sekitar lokasi tertembak di bagian jempol kakinya.

Di saat yang hampir bersamaan, sekitar lima orang anak buah John Kei menganiaya dua orang yang melintas di Jalan Kresek Raya, Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat. Salah satu korban, diduga anak buah Nus Kei, kritis setelah dihujani bacokan dan dilindas mobil. Dia tewas setelah sempat dibawa ke rumah sakit.

Polisi bergerak cepat mengusut dua kasus yang saling berkaitan itu. Minggu malam, John Kei dan 24 anak buahnya ditangkap di sebuah rumah di Jalan Titian Indah Utama X, Kota Bekasi. Dalam pengembangannya, lima anak buah John Kei ditangkap lagi, sehingga totalnya menjadi 30 orang.

Kapolri Jenderal Idham Azis mengapresiasi langkah cepat jajarannya mengungkap dua peristiwa kriminal di siang bolong itu. Dia menegaskan, bahwa tidak ada tempat bagi premanisme di Indonesia.

"Kuncinya adalah negara tidak boleh kalah dengan preman," kata Idham Azis dalam keterangan tertulisnya, Senin 22 Juni 2020.

Infografis John Kei dan Sepak Terjang Kelompoknya. (Liputan6.com/Trieyasni)

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menuturkan, perintah Kapolri sudah jelas bahwa kepolisian akan menindak tegas segala bentuk premanisme. Polda Metro Jaya menerjemahkan instruksi Kapolri itu dengan membentuk dua satuan tugas (Satgas).

"Ini sudah pernah saya sampaikan ada dua satgas yang dibentuk. Satgas street crime (begal, perampokan, pencurian) di masa pandemi ini kan sempat meningkat. Kedua Satgas Premanisme," ujar Yusri kepada Liputan6.com, Selasa (23/6/2020).

Dia mengungkapkan, Satgas Premanisme Polda Metro Jaya yang menangkap kelompok John Kei di markasnya. "Ini yang mengungkap adalah Satgas Premanisme yang dibentuk Polda Metro Jaya di bawah kendali Direktorat Kriminal Umum," katanya.

Ada sejumlah langkah yang dilakukan Polda Metro Jaya dalam memberantas premanisme di ibu kota. Pertama upaya preemtif, yakni memberikan imbauan dan edukasi kepada masyarakat agar ikut berperan aktif memberantas premanisme.

"Kalau tahu ada begini (aksi premanisme), laporkan segera," kata Yusri.

Kedua, kepolisian melakukan upaya pencegahan atau preventif dengan menggalakkan patroli baik dalam skala kecil atau besar. Selain mencegah terjadinya kejahatan, patroli rutin juga dilakukan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat.

"Karena menghilangkan niat plus kesempatan (N+K). Para preman mau niat jelek, kesempatan enggak ada karena ada polisi patroli, tidak akan terjadi tindak pidana itu (teori NKK atau niat+kesempatan=kejahatan)," dia menjelaskan.

Terakhir yakni langkah represif atau penegakan hukum. "Aksi premanisme seperti apapun yang melanggar perundang-udangan kita akan tindak. Negara tidak boleh kalah dengan preman," ucap Yusri menandaskan.

Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat menuturkan, upaya pemberantasan premanisme bergantung pada peran aktif masyarakat. Menurut dia, sering kali masyarakat enggan melaporkan aksi premanisme karena kerugian yang ditimbulkan kecil.

"Upaya pemberantasan premanisme ini bergantung kepada peran serta masyarakat, jadi kenapa sulit? Karena masyarakat suka enggak mau repot (melapor)," tuturnya.

Karena itu, dia mengimbau agar masyarakat tidak malas melaporkan sekecil apapun aksi premanisme di sekitarnya. Dia mengingatkan bahwa kepolisian tidak bisa langsung menindak para preman tanpa adanya laporan tindak kejahatan.

"Nah ini yang butuh masukan dari masyarakat, kan enggak ada undang-undang premanisme, kan harus ada tindak pidana yang dilanggarnya," kata Ade Hidayat saat merilis penangkapan John Kei dan anak buahnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Kenapa Tak Jera?

Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana (kedua kiri) menunjukkan barang bukti saat rilis kasus premanisme kelompok John Kei di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (22/6/2020). John Kei memerintahkan anak buahnya membunuh Nus Kei dan anggotanya berinisial ER. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi mengatakan, John Kei seharusnya memanfaatkan masa pembebasan bersyarat untuk kembali ke masyarakat dan memperbaiki perilakunya dengan modal keterampilan yang didapat selama menjadi warga binaan.

Namun ada beberapa faktor yang membuat John Kei kembali menyelami kehidupan lamanya, meski rentan berurusan dengan masalah hukum. Dia kembali ke kelompoknya dan mengelola bisnis pengamanan.

"Situasi yang memaksa kembali ke kegiatan atau bidang itu. Kedua, karena memang pemasukan atau pendapatan yang didapat dari kegiatan itu memang sangat besar dibanding kegiatan yang formal," kata Arthur kepada Liputan6.com, Selasa (23/6/2020).

Selain itu, John Kei juga tetap ingin menunjukkan eksistensi diri dan kelompoknya. "Memang motifnya bukan motif pribadi, tapi motif membesarkan kelompok. Artinya mau tetap eksis di dalam kelompok Kei. Jadi kembalinya John Kei dalam penguasaan wilayah, kelompok," tuturnya.

Menurut Arthur, banyak kelompok preman di kota-kota besar yang sulit diberantas karena berlindung dalam organisasi formal dan mengikuti aturan hukum, seperti perusahaan jasa keamanan dan sebagainya. Namun dalam praktiknya kerap bersinggungan dengan aksi kriminal.

"Karena kegiatan kriminal lebih banyak menghasilkan uang atau pemasukan buat membesarkan organisasinya dibandingkan kegiatan resmi atau formalnya," katanya.

Aksi kriminalitas antarkelompok juga rentan terjadi akibar persaingan bisnis yang serupa. Mereka kerap berseteru bahkan saling membunuh demi memperebutkan wilayah kekuasaan dan menjadi yang terkuat untuk menarik minat klien.

Lebih lanjut, Arthur melihat penegakan hukum terhadap aksi premanisme seperti pemerasan, perusakan, penganiayaan, hingga pembunuhan selama ini sudah berjalan baik. Namun kepolisian juga harus mengawasi wilayah abu-abu, yakni aksi premanisme yang berlindung di bawah kegiatan formal.

"Seperti jasa keamanan kemudian penarikan upeti itu perlu pengawasan. Karena itu dilakukan tidak menggunakan tindakan kekerasan, sajam, atau senpi, tapi ada kemungkinan itu adalah kesepakatan di antara pemberi jasa keamanan dan peminta jasa keamanan, tapi ini juga rentan sebetulnya. Misal jasa keamanan kelompok A dan B. Ini yang premanisme akan sulit dihapus atau berantas. Jadi dia belum berwujud pelanggaran hukum atau tindak kriminal. Perlu pengawasan dari Polri dan Pemda," katanya.

Pengawasan bisa dimulai dengan memetakan kelompok abu-abu yang berlindung di balik organisasi formal tersebut. Ini perlu dilakukan untuk mencegah aksi premanisme terulang.

"Kedua mengantisipasi kemungkinan terjadi bentrok antarkelompok dalam penguasaan wilayah atau area tertentu. Ini bisa dilakujan penegak hukum karena punya data dan kewenangan. Kemudian pencegahan lain dari pihak masyarakat yakni ikut berpartisipasi melaporkan bila ada pelanggaran hukum yang merugikan," ucap Arthur.

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly turut menyoroti kasus hukum yang kembali membelit Jhon Kei. Terlebih, saat ini dia masih berstatus sebagai penerima pembebasan bersyarat.

"Dia masih pembebasan bersyarat. Tahun lalu kita keluarkan pembebasan bersyarat. Nah dia baru berakhir itu kan 2025. Bebas murni. Tapi ada kejadian ini," kata Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senin 22 Juni 2020.

Yasonna masih menunggu hasil pemeriksaan kepolisian untuk menentukan nasib John Kei terkait keringanan hukuman yang telah ia terima.

"Kita tunggu dulu bagaimana polisinya. Kita kan menganut asas praduga tak bersalah. Kalau polisi nyatakan tersangka, maka dia sudah melanggar ketentuan pembebasan bersyarat. Jadi dia nanti di samping menjalankan hukuman lama ditambah dengan tindak pidana baru," terang dia.

"Kita sesalkan kejadian ini. Dulunya waktu dia sebelum kita bebaskan, baik, semua berjalan baik. Tiba-tiba mungkin entahlah apa yang membuat ini. Kalau betul nanti dia terlibat di sini, kita serahkan dulu ke polisi kita tunggu dulu polisi bagaimana status beliau," tandas Yasonna.


Jejak Kriminal John Kei

John Kei digiring saat rilis kasus premanisme oleh kelompoknya di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (22/6/2020). Dirkrimum Polda Metro Jaya menangkap 30 tersangka dan sejumlah barang bukti senjata tajam. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Nama John Kei kembali menjadi sorotan seiring dua kasus penyerangan dan penembakan di Green Lake City, Tangerang serta penganiayaan berujung kematian di Cengkareng, Jakarta Barat. Kurang dari 24 jam, John Kei dan puluhan anak buahnya ditangkap di markasnya.

Kepolisian membeberkan, John Kei merencanakan pembunuhan terhadap kerabatnya sendiri, Nus Kei. Perseteruan dua klan Kei ini diduga dipicu persoalan pembagian jatah penjualan sebidang tanah.

John Kei dijerat pasal berlapis, di antaranya Pasal 88 KUHP tentang permufakatan jahat, Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang pengrusakaan, dan Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 dengan ancaman hukuman penjara 20 tahun dan atau pidana mati.

John Kei bukan nama baru di dunia premanisme ibu kota. Sepak terjang pria yang dijuluki 'Godfather of Jakarta' itu dan kelompoknya di berbagai kasus kriminal, memang bukanlah hal baru.

Sejak awal 90-an, kelompok John Kei dikenal brutal dan sadis dalam setiap aksinya. Sejumlah kasus besar yang melibatkan John Kei dan kelompoknya, selalu menjadi jejak hitam yang menakutkan karena disertai berbagai aksi kekerasan yang tak jarang berujung kematian.

Kasus pembunuhan pertama oleh John Kei terjadi pada 12 Mei 1992. John yang kala itu bekerja sebagai sekuriti di salah satu hostel dan kafe di Jalan Jaksa, Jakarta terlibat perkelahian dengan beberapa orang yang berbuat onar di tempat kerjanya.

Pascakerusuhan di Tual, Pulau Kei pada Mei 2000, dibentuklah organisasi Angkatan Muda Kei (AMKEI) dengan Jhon Kei sebagai ketua. John juga memiliki bisnis jasa pengamanan dan penagihan hutang atau debt collector yang sukses serta memiliki banyak klien.

John Kei kerap berseteru dengan kelompok yang memiliki bisnis serupa dengannya. Pada 2 Maret 2004, kelompok John Kei terlibat bentrok dengan kelompok Basri Jala Sangaji di Diskotik Stadium, Taman Sari, Jakarta Barat.

Basri Sangaji sendiri merupakan tokoh pemuda Maluku yang sempat menjadi teman baik John Kei. Namun persaingan bisnis membuat keduanya bermusuhan.

Perseteruan semakin menjadi saat Basri ditemukan tewas dengan luka tusuk di dada, di kamar 301 Hotel Kebayoran Inn, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sementara adik Basri, Ali Sangaji dan Jamal Sangaji terluka parah di bagian tangan.

John Kei sempat diamankan Polda Metro Jaya terkait kasus tersebut. Karena tak terbukti terlibat, dia akhirnya dilepaskan. Namun delapan anak buah John Kei ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan itu. 

Pada 2008, John Kei bersama tiga orang rekannya ditangkap karena diduga menganiaya dan memotong jari dua saudara sepupunya di Tual, Maluku, yakni Charles Refra dan Jemmy Refra. Dalam kasus ini, John Kei divonis 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya.

September 2010, kelompok John Kei terlibat bentrokan dengan kelompok Flores Ende yang dipimpin Thalib Makarim di Jalan Ampera, tepatnya di depan gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Akibat bentrokan tersebut, empat orang tewas dan puluhan lainnya terluka.

Agustus 2012, kelompok John Kei bentrok dengan kelompok Hercules terkait perebutan kekuasaan pada lahan tanah PT Sabar Ganda di Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Polisi terpaksa mengambil tindakan tegas dengan menembak dua orang yang terlibat bentrok hingga tewas. Dari 102 orang yang diperiksa polisi, 98 orang ditetapkan sebagai tersangka. 

Akhir 2012, majelis hakim menjatuhkan vonis 12 tahun penjara terhadap John Kei, karena terbukti terlibat dalam kasus pembunuhan bos PT Sanex Steel Indonesia (SSI) Tan Harry Tantono alias Ayung. Ayung ditemukan tewas dengan 32 luka tusuk di bagian pinggang, perut, dan leher di kamar 2701, Swiss-Belhotel, pada 26 Januari 2012.

Pada 29 Juli 2013, Mahkamah Agung (MA) menambah hukuman John Kei menjadi 16 tahun. Ia kemudian dipindahkan dari Rutan Salemba ke Lapas Permisan Nusakambangan.

Di Lapas Permisan Nusakambangan, kelompok John Kei terlibat bentrok dengan napi kasus terorisme pada November 2017. Satu anak buah John Kei tewas dalam bentrokan tersebut.

John Kei semestinya dipenjara hingga 2028. Namun dia mendapatkan remisi 36 bulan 30 hari sehingga akan bebas murni pada Maret 2025.

Kendati, John Kei bisa keluar penjara lebih cepat setelah mendapatkan pembebasan bersyarat pada 26 Desember 2019 setelah menjalani 2/3 masa hukuman. Pembebasan bersyarat diberikan dengan alasan John Kei mengikuti pembinaan dan bertingkah laku baik selama menjalani hukuman.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya