Liputan6.com, Jakarta - Perpustakaan menjadi salah satu cara mendapatkan akses pendidikan selain sekolah. Pada masa pandemi, saat sekolah ditutup, perpustakaan memainkan fungsinya sebagai sarana pendidikan yang tak terbatas dan bisa dijangkau dari rumah.
Hal itu diungkapkan Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bando, saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi X DPR-RI, Selasa (23/6/2020) di Jakarta.
Advertisement
Meski demikian, My Esti Wijayati, anggota Komisi X DPR-RI, mengkritisi keberadaan perpustakaan di daerah-daerah yang belum memiliki infrastruktur pelayanan yang memadai seperti yang ada di kota-kota besar.
"Mana daerah-daerah yang memiliki infrastruktur belum memadai. Mana daerah yang masih minim akses internet. Ini harus dipetakan agar nantinya Perpusnas bisa bersinergi dengan kementerian/lembaga lain, misalnya Kominfo untuk penyediaan akses internet," katanya.
Sanada dengan itu, Desi Ratnasari, anggota Komisi X DPR-RI mengatakan, perlu pengembangan perpustakaan hingga ke daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal). "Sasaran pengembangan perpustakaan di daerah 3T saya rasa sangat tepat," ujarnya.
Selain pengembangan perpustakaan di daerah, DPR juga menyarankan agar Perpusnas membuat program-program kegiatan berbasis virtual mengikuti perkembangan zaman.
"Perpusnas jangan lagi berpikir sebagai carrier atau pembawa informasi, tetapi harus berani berpikir sebagai supplier atau pemasok kebutuhan informasi melalui bahan bacaan," kata Putra Nababan.
Kemegahan gedung baru fasilitas layanan perpustakaan dianggap sebagai simbol kebangkitan budaya literasi di Indonesia. Namun, kemegahan tersebut harus dibarengi dengan keseriusan dan dukungan dari Perpusnas dan perpustakaan di tiap daerah dalam menggalakkan literasi.
"Perpusnas dan perpusda harus menjadi katalisator dalam membangun budaya literasi dan menjadikannya sebagai lifestyle di era new normal demi mencapai cita-cita bangsa, yakni menciptakan SDM yang unggul," ungkap Illiza Sa’adudin.
Anggota Komisi X DPR RI itu juga mendorong Perpusnas dan Perpusda untuk memberikan dukungan bagi inisiatif masyarakat di daerah, yang memprakarsai budaya baca dan menciptakan kampung baca dan atau kampung bahasa.
"Misalnya masyarakat Pare di Jatim," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Perpusnas juga memaparkan sejumlah capaian positif yang telah diraih Perpusnas. Pertama, terjadi kenaikan angka indeks membaca dari semula 52,92 pada 2018 menjadi 53,84 pada 2019. Kedua, peningkatan signifikan penyerahan karya cetak dan karya rekam (KCKR), jika sebelumnya hanya 68.824 (142.660 eksemplar) pada 2018, mengalami lonjakan menjadi 324.021 (396.198 eksemplar) pada 2019.
"Kami menerapkan strategi untuk tidak memberikan nomor ISBN baru kepada penerbit jika belum menyerahkan hasil terbitannya kepada Perpusnas," ujar Syarif Bando.
Dan capaian positif lainnya adalah tingkat kepuasan pemustaka dari 4,0 naik menjadi 4,39. Sedangkan angka kunjungan yang semula 5.986.466 pada 2018, melonjak menjadi 9.793.174 pada 2019.
Dalam kesempatan itu, Perpusnas juga mengajukan usulan penambahan anggaran pada 2021. Anggaran tersebut dibutuhkan untuk mengejar target pengembangan perpustakaan dan literasi yang terpotong akibat Covid-19 di 2020.
"Kami meyakini bahwa literasi memiliki kontribusi positif dalam menciptakan inovasi serta keterampilan kecakapan sosial," kata Syarif.