Pengamat Nilai Vonis Mati ke Aulia Kesuma, Kejam dan Tak Relevan

Terdakwa kasus pembunuhan berencana Aulia Kesuma dan putranya Geovanni Kelvin divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 24 Jun 2020, 15:44 WIB
Tersangka Aulia Kesuma saat rekonstruksi pembunuhan suami dan anak tirinya di Jalan Lebak Bulus 1, Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019). Setelah sang suami tewas, para tersangka kemudian kembali merencanakan pembunhan anak tiri Aulia. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Terdakwa kasus pembunuhan berencana Aulia Kesuma dan putranya Geovanni Kelvin divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Aulia bersama putranya membunuh suami dan anak tirinya dengan cara diracun dan dibakar. 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai hukuman mati adalah hukuman yang kejam dan merendahkan martabat manusia.

"Atas jenis kejahatan apapun, Amnesty tetap berpandangan seperti itu," kata Usman saat dihubungi, Rabu (24/6/2020).

Dia setuju, negara khususnya pengadilan, wajib dan berwenang untuk mengusut dan menjatuhkan hukuman pada pelaku pembunuhan tersebut. Pengadilan juga berwenang untuk menjatuhkan hukum yang setimpal sesuai dengan perbuatannya. Termasuk kepada Aulia Kesuma.

Namun, dia mengingatkan, penerapan hukuman mati telah ditinggalkan oleh banyak negara.

Selain dinilai sebagai hukuman yang kejam dan merendahkan martabat manusia, praktik hukuman mati tidak memberikan efek jera kepada pelakunya karena eksekusi atas hukuman itu tidak mungkin dilaksanakan.

Dia menyebut, negara-negara yang masih memiliki dan menjatuhkan hukuman mati justru masih memiliki angka kejahatan yang tinggi. Sebaliknya, negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati, memiliki angka kejahatan yang rendah.

"Efek gentar pada masyarakat pun terbukti tidak terjadi," ujar Usman Hamid soal vonis Aulia Kesuma.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tidak Relevan

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi menerangkan, dalam KUHP saat ini, hukuman mati merupakan salah satu hukuman pokok bagi pelanggaran pidana. Tapi, sebenarnya hukuman mati sudah tidak relevan lagi diterapkan di Indonesia.

Menurut dia, dalam praktiknya, pelaksanaan hukuman mati banyak yang tertunda karena menimbulkan pertentangan.

"Hukuman mati dalam prakterk tergantung eksekutor dalam hal ini jaksa . Ketika hakim dalam vonisnya memutuskan hukuman mati tetapi pada saat eksekusi muncul pro kontra terkait perkembangan HAM saat ini," ucap Arthur.

Terkait kasus pembunuhan berencana Aulia Kesuma dan putranya Geovanni Kelvin, dia percaya keputusan yang diambil hakim sudah melalui pertimbangan-pertimbangan hukum.

"Itu keyakinan hakim atas bukti-bukti yang ada. Pembunuhan berencana memang pidananya hukuman mati," ujar Arthur.

Sekarang, kata dia, Aulia Kesuma tinggal mengumpulkan Novum atau bukti baru untuk dimasukkan dalam memori banding. Novum baru itu harus dipersiapkan secara matang agar argumentasi bisa meringankan hukuman.

"Misalnya kenapa seseorang melakukan pembunuhan, misal ada pembelaan diri. Apakah konteks pembelaan diri masuk dalam hal ini. Kalau kejahatan seksual pembelaan diri dimungkinkan, dan dibenarkan. Tapi dalam hal ini kan harus ada pembuktiannya. Itu yang harus diupayakan sehingga terhindar hukuman mati," ujar dia.

 


Vonis Hakim

Aulia Kesuma (45) dan putranya Geovanni Kelvin Oktavianus (26) divonis hukuman mati karena terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana kepada suami dan anak tirinya.

Korban Edi Candra Purnama (57) dan putranya Muhammad Adi Pradana (24) dibunuh dengan cara sadis, yakni diracuni, lalu dianiya, setelah itu jasadnya dimasukkan ke dalam mobil dan dibakar di daerah Sukabumi, Jawa Barat.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mati Aulia Kesumadan anaknya karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 350 jo. 55 ayat (1) ke-1 KUHP sesuai dakwaan primair dari penuntut umum.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya