Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memetakan titik-titik rawan korupsi yang dapat terjadi di pelaksanaan Pilkada 2020. Hal ini dilakukan agar pilkada serentak bebas dari praktik korupsi.
"KPK perlu menyampaikan komitmen untuk turut menyukseskan penyelenggaraan pilkada agar bersih dan bebas dari praktik-praktik korupsi, karena hanya pilkada yang bebas dari praktik-praktik korupsi kita berharap terlahir pemimpin-pemimpin yang mampu memberikan harapan bagi rakyat Indonesia," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, seperti dilansir Antara, Kamis (25/6/2020).
Advertisement
Dia mengatakan, di tengah situasi pandemi Covid-19, beberapa hal yang mungkin terjadi dalam Pilkada 2020 perlu diperhatikan agar praktik korupsi dapat dihindari. Misalnya, politik transaksional. Terlebih, dalam pandemi saat ini, kemampuan ekonomi masyarakat tidak sekuat sebelumnya.
Kondisi ekonomi yang lemah tersebut, kata dia, berpotensi melahirkan praktik-praktik transaksional dalam pilkada.
"Kondisi kelemahan ekonomi ini merupakan potensi yang terbuka bagi praktik-praktik pragmatis transaksional dalam pilkada akibat dampak pandemi Covid-19 ini, untuk melakukan cara-cara transaksional dan ilegal guna mendapatkan suara pemilih yang kondisi ekonominya sedang di titik terendah," kata Ghufron.
Dia juga mengingatkan akan potensi fraud atau kecurangan dalam pengadaan logistik pilkada.
"Hal tersebut dapat terjadi karena akan sulit untuk melakukan pengawasan, karena terhadap alur pengadaan sarana dan prasarana pilkada di tengah pandemi ini memiliki banyak keterbatasan. Misalnya, masyarakat tidak banyak di luar rumah, sehingga pengawasan dari masyarakat akan semakin kurang," kata Ghufron.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Fraud
Menurut Ghufron, proses pilkada yang jauh dari praktik korupsi mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Hal ini juga akan berdampak pada peningkatan pendapatan daerah dan pembelanjaan negara yang efisien.
"Kalau pemilunya bagus pilkadanya bagus, maka sesungguhnya kita berharap tentunya korupsi akan turun, tetapi sebaliknya kalau proses pemilihan pemimpinnya rusak atau gagal maka kita tidak akan berharap kemudian korupsi akan bersih," ujar Ghufron.
KPK, lanjut dia, memandang biaya pilkada di Indonesia sangat tinggi, sehingga kepala daerah yang telah terpilih cenderung mengembalikan biaya tersebut saat sudah menjabat.
"KPK idealnya hanya membersihkan residu-residu yang idealnya tidak lebih dari 5 persen dari proses korupsi di suatu pemerintahan. Faktanya saat ini, pandangan KPK sistem pemilu, sistem pilkada kita "cost"-nya terlalu tinggi. Kemudian menimbulkan pemimpin-pemimpin yang cenderung berpikirnya tidak lagi untuk kepentingan publik, tetapi mengembalikan modalnya. Pada saat mengembalikan modal, maka praktik-praktik korupsi terjadi," katanya pula.
Advertisement