Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan kata janda yang kurang tepat kembali digunakan untuk menambah riuh ruang media sosial oleh seorang figur publik. Kali ini kata sakti, yang akan cepat menarik perhatian warga netizen dan menimbulkan pro dan kontra tersebut, tertuang dalam cuitan Henry Manampiring, penulis buku non-fiksi terkenal di kalangan muda seperti Filosofi Teras dan The Alpha Girl’s Guide.
Dalam cuitannya di platform Twitter, Henry melalui akunnya @newsplatter berkata, “Istilah janda dan duda sebaiknya diganti preloved partner”. Setuju?”Sontak cuitan Henry tersebut disambut marak oleh warga netizen, termasuk tuaian kemarahan yang diterima oleh Henry dari para aktivis perempuan, khususnya janda.
Mutiara Proehoeman yang merupakan founder dari komunitas Save Janda, membalas cuitan Henry melalui akun @proehoeman, “Hai Henry, di saat kami dan teman-teman di @SaveJanda sedang berusaha untuk meminimalisir stigma janda di masyarakat, anda justru menambah beban kami atas apa yang sedang kami perjuangkan. Preloved sama saja kata kerennya untuk bekas #lawanstigmajanda”.
Baca Juga
Advertisement
Hal ini juga ditanggapi oleh Myrna Soeryo, seorang praktisi humas, content creator isu pemberdayaan perempuan sekaligus satu satu co-founder komunitas Save Janda mengatakan, “Sangat memprihatinkan bahwa kembali kata janda dipergunakan oleh seorang figur publik untuk menarik perhatian di ranah media sosial. Janda seolah sudah menjadi kata sakti, agar segera dapat meraih popularitas dari warga netizen, tanpa memperdulikan stigma negatif yang terbentuk serta semakin membebani mental seorang janda dalam menjalani hidupnya”.
“Kalau kita merujuk kepada KBBI, jelas bahwa kata janda hanyalah sebuah status dan tidak ada makna negatif di balik kata tersebut. Namun, karena pandangan misogini serta tatanan sosial patriarki, kata janda banyak dilekatkan dengan padanan kata yang bermakna negatif sehingga membentuk persepsi tidak baik di mata masyarakat terhadap kata janda,” ujar Myrna.
“Sangat disayangkan seorang penulis buku terkenal yang memiliki perhatian besar terhadap isu-isu kesetaraan perempuan, justru juga bisa membuat pernyataan yang salah mengenai kata janda dan ikut serta menambah pembentukan persepsi negatif terhadap janda,” tambahnya.
Berdasarkan data dari mesin pencarian Google, dalam waktu hanya 0.49 detik, ada 31.800.000 pencarian terhadap kata janda. Suatu angka pencarian yang fantastis sehingga membuat banyak tulisan di media daring menggunakan kata janda.
Hal ini juga dialami oleh komunitas Save Janda, di mana akun resmi Instagram @save_janda juga dipalsukan oleh akun lain yang menirukan nama akun resmi tersebut, tetapi malah berisikan foto-foto perempuan tak senonoh. Menurut Myrna, sudah saatnya, kita bersama-sama menghentikan pembentukan stigma negatif terhadap kata janda.
Banyak janda-janda muda di daerah-daerah yang kesulitan mencari nafkah akibat stigma negatif tersebut. Dagangannya menjadi tidak laku, hanya karena ia berstatus seorang janda. Atau ia dijauhi oleh tetangga-tetangga perempuannya, karena takut suaminya bakal direbut karena janda dianggap sebagai pelakor (perebut laki orang), hanya karena ia berstatus janda.
“Justru sebagai anggota masyarakat yang baik, kita harus membantu para janda ini agar dapat menjadi perempuan yang berdaya sehingga mereka dapat memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya. Sehingga tidak ada lagi seorang janda pun yang takut diberi label kata janda, karena janda hanyalah sebuah status,” tandas Myrna.
Jadi, sudah siapkah kita menyebut kata janda dengan santai dan tidak melekatkannya dengan kata yang membuatnya menjadi berkonotasi negatif?