Dampak Corona, Produksi Rokok Diprediksi Turun hingga 23 Persen

Produsen telah memprediksi akan ada penurunan signifikan pada produksi rokok akibat merosotnya penjualan rokok di tengah pandemi corona.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 27 Jun 2020, 21:16 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Memasuki era kenormalan baru, setiap bidang usaha dan sektor industri mulai bersiap untuk berdaptasi dalam proses interaksi sosial maupun operasionalnya. Bagi sektor industri padat karya seperti Industri Hasil Tembakau (IHT), momentum ini perlu disikapi dengan penuh kehati-hatian.

Karena, belakangan sektor ini tengah digempur dengan berbagai kebijakan yang restriktif, dimana salah satu yang paling memberatkan adalah mandat terkait IHT dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menuturkan pihaknya telah memprediksi akan ada penurunan signifikan pada produksi rokok akibat merosotnya penjualan rokok di tengah pandemi COVID-19 yang belum usai.

“Pada tahun 2020 ini, estimasi penerimaan negara dari cukai akan sama dengan tahun 2019 atau sekitar Rp 165 triliun, sementara penurunan volume produksi dari IHT justru akan turun 13-23 persen," kata dia di Jakarta, Sabtu (27/6/2020).

"Saat ini di tengah kenormalan baru, GAPPRI berharap pemerintah tidak akan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang justru menghambat recovery industry seperti kenaikan cukai, simplifikasi struktur cukai, dan revisi PP 109/2012. Pemerintah diharapkan membantu sepenuhnya untuk menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan pabrikan baik secara kualitas, kuantitas, varietas dan kontinuitas,” lanjut dia.

Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto menyatakan, klaim bahwa pengenaan cukai bisa menurunkan prevalensi perokok anak dan konsumsi makanan yang berisiko kesehatan dianggap tidak tepat sasaran.

"Hendaknya pemerintah tidak melihat isu kesehatan secara sempit. Justru yang harus dikuatkan adalah peningkatan pengawasan dan penegakan disiplin atas distribusi dan akses masyarakat terhadap produknya," ungkap dia.

"Perbanyak edukasi, sosialisasi ke tingkat akar rumput agar konsumen paham bahwa produk tembakau hanya bisa dikonsumsi orang dewasa. Saya kira pemerintah sudah jelas mengatur di PP 109 Tahun 2012 untuk produk tembakau dan aturan ini sudah lebih dari cukup, tugas selanjutnya adalah memastikan implementasi di lapangan berjalan tertib, jangan terus merevisi poin saja tapi praktiknya nihil,” tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tak Ada Diskon Rokok, Ini Penjelasan Kemenkeu

Ilustrasi Foto Kemasan Rokok (iStockphoto)

Diskon rokok dinilai sejumlah pihak sebagai kebijakan yang ambigu seiring diperbaharuinya peraturan cukai rokok yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Dalam PMK teranyar ini, rata-rata kenaikan tarif CHT tahun 2020 sebesar 21,55 persen. Namun, secara bersamaan, ketentuan dari PMK No 146/PMK.010/2017 yang disebut sebagai "diskon" rokok, juga masih berlaku.

Menanggapi hal itu, Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Oka Kusumawardani mengatakan bahwa tak ada aturan mengenai diskon rokok dalam peraturan pemerintah.

"Kalau dalam peraturannya sendiri itu tidak ada keterangan apapun yang menyatakan bahwa peraturan itu dimaksudkan untuk memberi diskon, juga tidak dimaksudkan agar rokok itu harganya jadi lebih murah, itu tidak ada sama sekali dalam peraturan tersebut," kata Oka dalam diskusi daring, Kamis (18/6/2020).

Menurut dia, otoritas fiskal memberikan aturan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85 persen dari harga jual eceran (HJE) demi memberi ruang gerak pada produsen.

"Jadi setelah diproduksi itu tentunya ada jalur distribusi untuk menyampaikan produk tersebut, ke wholesaler-nya, ke ritel, sampai akhirnya baru ke konsumen akhir, dan aktivitas mata rantai ini untuk distribusi tentunya kan juga memerlukan biaya di masing-masing tahapannya," kata Oka.

"Untuk memungkinkan rantai distribusi ini menjalankan fungsinya dengan baik maka perlu ada ruang gerak di dalamnya, oleh karena itu maka pemerintah melalui PMK 146 tersebut juga mengatur bahwa harga transaksi pasar diperkenankan untuk berada di bawah HJE, 85 persen dari KEnya," sambung dia. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya