OPINI: Harimau Adalah Minang

Harimau sebenarnya mau minta tolong kepada manusia karena aktivitas perburuan yang dilakukan membuat mereka terancam

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Jun 2020, 15:30 WIB
Gambar yang dirilis pada 29 Juli 2019, harimau Sumatera, Kartika dengan satu dari tiga anaknya yang berumur tujuh bulan, di Kebun Binatang Taronga, Sydney. Ada sekitar 380 harimau Sumatera di alam liar saat ini dan merupakan salah satu satwa yang terancam punah. (RICK STEVENS/ARONGA ZOO/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Minangkabau, biasa menyebut diri mereka dengan sebutan 'Orang Minang'. Sebagai Orang Minang mereka juga sering mengklaim kalau mereka masih memegang teguh dan menjalankan hidup sesuai dengan adat istiadat yang jadi warisan leluhur.

Terutama dalam hal mengelola dan menjaga sumber daya alam mereka nan kaya, dengan masih tetap terjaganya pengetahuan lokal. Tak heran bila Orang Minang sering mengaku memiliki kawasan hutan yang cukup terjaga.

Dengan segala bentuk kehidupan di dalamnya, Orang Minang atau masyarakat yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera Barat ini kemudian punya kearifan lokal tentang bagaimana menjaga hutan. Mengaku memiliki pengetahuan lokal terkait konservasi.

Mengaku memiliki kearifan lokal juga tentang bagaimana hidup selaras dengan satwa, serta bagaimana harus memperlakukannya. Khususnya terhadap harimau, banyak sekali cerita rakyat terkait harimau yang dimiliki masyarakat minang di Minangkabau.

Namun kenyataannya cukup mengherankan, di Minangkabau tidak ada perusahaan pengelola hutan ataupun pengelola SDA berskala besar. Tapi kemudian harimau muncul juga, Keluar dari habitatnya.

Kemunculan harimau itu kemudian berujung konflik dengan manusia. Dan sialnya harimau selalu ada di pihak yang salah. Padahal harimau itu 'indak manga-manga' (nggak ngapa-ngapain). Cuma numpang lewat, sekadar cari makan.

Kebetulan 'tapirogok' (kepergok) dengan manusia yang sedang melakukan aktivitas berladang, disebutlah harimau telah 'mengadang' manusia.

Itu saja hal sepele yang dijadikan alasan masyarakat setempat, untuk menangkap dan kemudian 'membuang' si Raja Hutan ini ke rimba 'antah berantah', karena dianggap meresahkan, mengancam dan sudah mengganggu warga.

Baru-baru ini ada kasus kemunculan harimau di Nagari Gantuang Ciri Kabupaten Solok, yang akhirnya harus ditangkap dan direhabilitasi.

Sebelumnya juga ada kasus serupa harimau di Kota Padang, tepatnya di sekitar bukit karts yang jadi lokasi tambang Semen Padang. Tapi berhasil dihalau kembali ke habitatnya, dan tidak ada korban dari kedua belah pihak.

Dan sebelumnya lagi, sekitar April 2018, juga terjadi konflik antara satwa dilindungi itu dengan manusia, harimau muncul di pemukiman warga di Nagari Palupuah Kabuapten Agam dan sempat memangsa ternak warga.

Setelah melalui beberapa tahapan penanganan oleh BKSDA Sumbar, harimau pun akhirnya ditangkap dan dievakuasi ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) milik Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD).

Meski kini harimau yang diberi nama Sopi Rantang itu akhirnya bisa dilepasliarkan ke kawasan Suaka Marga Satwa Rimbang Baling di perbatasan Sumbar-Riau, tapi peristiwa penangkapan itu sempat jadi sesalan oleh masyarakat Palupuah.

Mereka merasa bersalah karena setelah melihat secara langsung harimau yang telah ditangkap, ternyata harimau itu bukan "Penjaga Kampung” mereka.

Ya, itulah hal yang dipercaya masyarakat Minang di Sumatera Barat. Bagi mereka, harimau tak sekadar penghuni rimba belantara yang masih terjaga, tetapi adalah jelmaan leluhur mereka.

Setelah dua tahun berlalu, kini kembali terjadi konflik yang sama di Sumatera Barat. Kali ini terjadi di Nagari Gantuang Ciri Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Yang jadi korban konflik lagi-lagi adalah harimau, sehingga harimau harus ditangkap dan di evakuasi dari habitat alaminya.

Dari konflik yang kembali terjadi ini, ada hal yang sepertinya tak dipahami oleh pihak-pihak yang berkonflik, yaitu harimau sebenarnya mau minta tolong kepada manusia karena aktivitas perburuan yang dilakukan membuat mereka terancam.

Dan dari semua kejadian untuk kesekian kalinya ini di Minangkabau, menegaskan kalau sepertinya sudah tak ada lagi penghargaan 'masyarakat adat minang' terhadap pengetahuan leluhurnya terkait 'Alam Takambang Jadi Guru'. Pasalnya, pemerintah nagari (desa adat) yang jadi representasi dari masyarakat adat minang, untuk melindungi harimau saja tak mau, atau tak mampu?

 

Artikel ini ditulis oleh Novi Rovika Koordinator, Komunitas Orangufriends Padang/ Konservasionis dan Environmentalis

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya