Liputan6.com, Demak - Selamat datang air rob. Selamat jalan tanah-tanah yang akan tenggelam. Ucapan perpisahan ini mencoba dihadirkan dalam lyric macapat dhandhanggula.
"Bedhug tiga dhatan arsa guling. Padhang mbulan kekencar ing latar....."
Sepenggal tembang dhandhanggula itu meluncur dari sosok pria setengah tua yang tengah duduk tak bergerak dalam 'prau blung' semacam perahu terbuat dari drum air berbahan plastik. Suaranya sedikit parau terbawa nuansa nestapa yang terjadi di sekelilingnya.
Layaknya sebuah tanda, tembang itu menjadi pembuka munculnya para seniman Demak yang siang itu, Sabtu,27 Juni 2020, menggelar pentas di ruang terbuka, di area Dukuh Nyangkringan Desa Sriwulan Kecamatan Sayung Kabupaten Demak Jawa Tengah yang sudah puluhan tahun terendam rob atau air laut yang menerjang daratan.
Baca Juga
Advertisement
Tembang tembang mocopat yang dibawakan oleh Sarono, menjadi iringan bagi Siswahyu Nugroho dan Nalendra Ajib Afisaputra yang mengekspresikan diri melalui lukisan. Para pelukis maupun penembang yang juga menyelipkan geguritan juga direspons oleh penari kontemporer, Mentari Isnaini yang sempat viral dengan tarian robnya.
Iringan rebab dan angklung yang menyuarakan dukacita. Mewakili duka puluhan ribu warga pesisir pantai Utara Jawa yang tak lagi bisa merasakan nyamannya tidur di lantai yang kering.
Lima seniman itu tak terlihat jijik dengan genangan air rob bercampur sampah dan bermacam kotoran. Mereka menyampaikan semua karya dengan sepenuh jiwa. Sang penari yang ekspresif, menangis, meratap dan marah melalui gerakan tangan, kaki dan sabetan sampurnya. Kidung kidung doa dan pesan moral dalam geguritan ngrumat bumi terasa menyentuh hati.
Simak video pilihan berikut
Bukan Protes
Diprakarsai oleh Komunitas Rumah Kita (Koruki) Demak, para seniman ini berkarya melalui sebuah pertunjukan yang diberi judul 'Panggung Rob di Tanah Tenggelam'. Bagi Koruki, komunitasnya tidak bermaksud mengeksploitasi nasib warga yang tertimpa nestapa banjir rob.
Menurut Ari Bubut, pengelola Koruki, pertunjukan ini sebagai sebuah panggung alam bagi para seniman yang memang harus berdamai dengan rob karena tinggal di wilayah yang terdampak genangan air laut ini.
“Ini semacam jejak saja bahwa disini pernah ada kehidupan yang pelan-pelan ditenggelamkan alam,” kata Ari Bubut.
Para pengisi acara juga menolak ketika disebut-sebut pertunjukkan itu sebagai protes terhadap kebijakan pemerintah.
"Kami memang ingin tampil di pentas. Panggung itu tidak harus megah dengan setting ornamen buatan. Maka di tanah yang hampir tenggelam ini, alam menjadi panggung ekspresi ciptaan Tuhan yang patut disyukurik" kata Edy Gunawan.
Edy adalah pemain anglung yang membunyikan alat musiknya untuk saling bersapa dengan suara sayatan rebab.
Manusia-manusia ‘aneh’ itu hanya ingin berpentas. Hanya ingin merespon dan membuat jejak kesaksian adanya kehidupan, sebelum kelak benar-benar lenyap. Meski sesungguhnya area tersebut masih bisa diselamatkan dengan satu syarat. Hadirnya negara dengan segala kesungguhan dan tak menjadikannya proyek serta janji kampanye saja. Mereka tak berharap apapun, apalagi berharap turun tangannya pemerintah sebagai salah satu elemen negara.
"Kami hanya ingin sejarah mencatat, di tanah yang hampir seluruhnya tenggelam ini ada seniman yang tak mau dimanjakan fasilitas," kata Ari Bubut.
Mereka adalah yang bertahan mencoba tetap jadi manusia, bukan sekadar orang. Mereka punya semangat berkarya di tengah situasi yang serba memprihatinkan. Mereka tak mau mengeluh. Cukup meninggalkan jejak karya.
Advertisement