Obat Corona Covid-19 Harus Penuhi Standar Kesehatan

Banyak obat dan jamu diklaim bisa menyembuhkan Covid-19 tapi tetap harus memenuhi standar kesehatan berdasarkan Undang Undang.

oleh Defri Saefullah diperbarui 28 Jun 2020, 22:25 WIB
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi

Liputan6.com, Jakarta Standar kesehatan yang ditetapkan Undang Undang (UU) wajib dipenuhi obat yang diklaim bisa menyembuhkan atau meredakan gejala Corona Covid-19. Belakangan ini banyak pihak yang mengklaim sudah menemukan obat dan jamu baru untuk Covid-19.

Ini terungkap dalam diskusi daring bertajuk "Polemik Beragamnya Klaim Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal Covid-19" yang digelar Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, Minggu (28/6/2020).

Acara yang dipandu Ketua Harian YLKI Tulus Abadi, menghadirkan pembicara di antaranya, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Prof Dr dr Sukman Tulus Putra, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena, Ketua Umum Persatuan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) dr Inggrid Tania, Perwakilan Solidaritas Berantas Covid-19 Prof Akmal Taher, Direktur Regitrasi Obat BPOM, Lucia Rizka Andalusia, dan Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Dr Pandu Riono.

"Kita jangan terlalu mudah melakukan klaim dan kemudian menggunakan obat Covid-19 sebelum lolos uji klinis. Karena untuk register suatu obat memerlukan trial cukup valid. Sepengetahuan saya hingga saat ini belum ada obat Covid-19," kata Sukman seperti rilis yang diterima media.

Ia mengatakan, di seluruh dunia belum ada obat yang betul-betul dapat digunakan untuk menyembuhkan Covid-19.

"Jangan terlalu mudah untuk mengklaim menemukan obat Covid-19. Karena tanpa lolos uji klinis tapi memaksakan untuk memproduksi dan memberikan ke pasien akan masuk pada pelanggaran disiplin dan etik. Fokus dan dukungan terhadap penelitian perlu kita berikan.

"Namun perlu diingatkan kepada yang melakukan penelitian jangan cepat-cepat mengklaim tanpa bukti dan lolos tahapan uji pra-klinis dan kemudian uji klinia yang pada dasar memerlukan waktu cukup lama demi efektifitas, manfaat dan keamananan dari obat tersebut terhadap manusia atau pasien yang mengkonsumsinya,” katanya, menambahkan.

 


Bakal Didorong

Li Xiang, petugas medis dari Provinsi Jiangsu, memeriksa hasil pengujian di sebuah bangsal ICU Rumah Sakit Pertama Kota Wuhan di Wuhan, 22 Februari 2020. Tenaga medis dari seluruh China telah mengerahkan upaya terbaik mereka untuk mengobati para pasien COVID-19 di rumah sakit itu. (Xinhua/Xiao Yijiu

Sementara itu, Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, apabila sudah ada obat yang memenuhi standar untuk menyembuhkan suatu jenis penyakit agar didorong penggunaannya.

"Saya ingin seperti di Tiongkok, pengobatan modern dan tradisional berjalan seiring sejalan," katanya.

Di sisi lain, Pandu Riono mengingatkan semua pihak walaupun dalam situasi kedaruratan, semua tugas-tugas yang diamanatkan Undang Undang dalam prosedur pembuatan obat harus dipenuhi. Misalnya, tentang obat Chloroquine. FDA telah mencabut otorisasi penggunaan darurat Chloroquine untuk Covid-19 karena tidak terbukti bermanfaat.

"Jadi, walaupun dalam situasi emergency, harus tetap memperhatikan keselamatan publik. Janganlah melampaui batas Tupoksi. Siapa pun, karena ini berbasis ilmu pengetahuan," ujarnya.

Menurut Pandu, semua pihak harus mengikuti prosedur untuk mengklarifikasi keabsahan obat tertentu. Obat yang diklaim sebagai obat covid-19 diketahui ada yang bermanfaat dan ada juga tidak bermanfaat. Ini bisa membingungkan dan menyesatkan publik.

"Orang bilang ini riset, tapi bagaimana metodologinya? Bagaimana mungkin temuan dari sel langsung loncat menjadi clean bagi manusia. Seharusnya BPOM menyatakan ini belum bisa. Tidak perlu basa-basi," katanya.

 


Tes Cepat

 

Lebih lanjut Pandu mengungkapkan, rapid test tidak ada manfaatnya untuk merespons pandemi. Sebab yang harus ditingkatkan adalah kemampuan PCR atau tes cepat antigen, bukan antibodi.

"Kita harus fokus, dan jangan kemana-mana. Sebab pada masa pandemi saat ini, sekitar 70-80% orientasinya adalah public health, bukan klinik dan pengobatan. Tidak ada cara-cara atau jalan pintas untuk mengklaim sesuatu. Ini harus dipatuhi,” kata Pandu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya