Serap 7 Juta Petani, Perkebunan Sawit Bantu Tekan Kemiskinan di Daerah

Perkebunan dan industri sawt menjadi penyumbang signifikan terhadap lapangan pekerjaan di Indonesia.

oleh Tira Santia diperbarui 29 Jun 2020, 15:45 WIB
Ilustrasi Perkebunan Sawit (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta - Kelapa sawit merupakan komoditas strategis utama Indonesia, yang memberikan banyak kontribusi terhadap lapangan pekerjaan di Indonesia, dan juga menjadi andalan ekspor sawit sebagai ekspor non migas, sehingga secara konsisten menyumbangkan devisa ekspor nomor satu.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Rusman Heryawan. Lebih rinci ia menjelaskan, bahwa sektor sawit menyediakan lapangan kerja dan membantu menekan angka kemiskinan.

“Sudah disinggung bahwa sawit ini biar bagaimanapun menyumbang signifikan terhadap lapangan pekerjaan di Indonesia, petani sawit yang di sektor hulu kira-kira Rp 7 juta, di antaranya 2,4 juta adalah petani swadaya, dan 4,6 juta itu pekerja yang menyebar di beberapa perusahaan plasma dan swadaya,” kata Rusman dalam webinar, Senin (29/6/2020).

Sementara untuk pekerja yang di industri hilir atau sektor pendukung lainnya, jumlah pekerjanya mencapai 16 juta lebih, 4,2 juta tenaga kerja yang bekerja langsung berkaitan dengan sawit, dan 12 juta tenaga kerja yang tidak langsung berkaitan dengan sawit.

“Kalau kita total yang bekerja di Industri sawit dan sebagainya 22 juta pekerja kurang lebih, ini betapa besar lapangan pekerja yang tercipta aktivitas sawit ini. Kalau sawit terganggu maka yang 22 juta pekerja  itu juga ikut terganggu, yang penting bagaimana pun penyerapan tenaga kerja sawit ini sangat signifikan,” jelasnya.

Selain itu, juga dilihat dari sektor ekspor, sawit menjadi andalan ekspor non migas. Rusman mengatakan memang selama ini sawit merupakan satu-satunya komoditas yang secara konsisten tetap menyumbangkan devisa ekspor nomor satu, bahkan dilihat dari data BPDKS ekspor sawit pada tahun 2019 mencapai 22,4 persen atau menyumbang sebesar USD 154,9 juta.

Bahkan dilihat dari sustainable Development Goals (SDG)-nya dari pengusahaan dan penggunaan sawit, ada lima hal yang bisa diukur dalam SDG pencapaian sawit, yakni Tanpa kemiskinan, Energi bersih dan terjangkau, Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, berkurangnya kesenjangan, Penanganan perubahan iklim.

Tanpa kemiskinan dan berkurangnya kesenjangan, membuktikan ada data-data empiris menunjukkan bahwa dengan pekerjaan yang ada di sawit ini signifikan menurunkan angka kemiskinan, kata Rusman bagaimana pun mereka yang bekerja di sawit ini baik petani, perusahaan ada perbaikan pendapatan mereka. Otomatis tentu dia akan lepas dari kemiskinan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Dukung Ketahanan Energi

Industri perkebunan sawit di Jambi menginspirasi pembuatan sebuah film dokumenter berjudul The Green Lie. (Foto: Dok Humas Pemprov Jambi/B Santoso)

Lalu SDG Energi bersih dan terjangkau, ia mengatakan bahwa sawit mendukung ketahanan energi melalui penggunaan energi terbarukan.

Sedangkan untuk penanganan perubahan iklim, sawit bisa mereduksi karbon melalui fotosintesis pada kebun yang sangat luas, dan penggunaan sebagai bahan bakar nabati. Serta kebun sawit juga menyediakan tempat hidup aneka ragam hayati baik flora maupun fauna.

Kemudian, terkait SDG layak dan pertumbuhan ekonomi, yakni sawit memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian, seperti menciptakan lapangan pekerjaan dan penghematan devisa.

Kendati begitu, Rusman juga menyampaikan sawit Indonesia juga memiliki tantangan. Industri sawit menghadapi berbagai permasalahan dari sektor hulu sampai dengan hilir. Untuk itu, Pemerintah melakukan berbagai upaya demi meningkatkan keberlanjutan industri sawit salah satunya dengan mendirikan BPDKS.

Rusman menyebut ada enam tantangan, yakni pertama, menyangkut perkebunan. Produktivitas pohon menurun atau rendah, dan rata-rata memasuki usia 20 tahun, sehingga perlu peremajaan.

Kedua, petaninya. Keterampilan bertani perlu ditingkatkan, dan pendapatan hanya bersumber dari penjualan Tandan Buah Segar (TBS). ketiga, kualitas benih yang tidak baik, serta TBS dengan rendemen yang rendah.

Keempat, kurangnya sarana dan prasarana pengolahan, penyimpanan, dan transportasi, serta biaya produksi. Kelima, masih bertumpu pada penjualan CPO, diperlukan pengembangan pasar untuk menyerap hasil produksi yang terus meningkat.

“Kampanye negatif baik pada pasar dalam maupun luar negeri, sawit diserang dengan isu kesehatan dan lingkungan,” pungkasnya.   

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya