Harga Minyak Naik 3 Persen karena Membaiknya Ekonomi Eropa dan China

Tapi kekhawatiran gelombang kedua pandemi Corona menahan kenaikan harga minyak ke level yang lebih tinggi.

oleh Arthur Gideon diperbarui 30 Jun 2020, 08:30 WIB
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak naik sekitar USD 1 per barel pada penutupan perdagangan Senin (Selasa pagi waktu Jakarta). Kenaikan harga minyak ini didorong oleh membaiknya data ekonomi di kawasan Asia dan Eropa.

Namun, investor tetap berhati-hati dalam bertransaksi karena masih tetap mempertimbangkan lonjakan tajam kasus Corona di seluruh dunia.

Mengutip CNBC, Selasa (30/6/2020), harga minyak mentah Brent naik 74 sen atau 1,8 persen menjadi USD 41,76 per barel. Sedangkan harga minyak mentah AS naik USD 1,21 per barel atau 3,1 persen menjadi USD 39,70 per barel.

Data Komisi Eropa menunjukkan bahwa pemulihan sentimen ekonomi di zona euro meningkat pada bulan Juni dengan perbaikan di semua sektor. Sentimen keseluruhan naik menjadi 75,7 poin pada Juni dari 67,5 pada Mei.

Di China, keuntungan dari perusahaan di sektor industri naik untuk pertama kalinya pada bulan Mei dalam enam bulan ini. Hal ini menunjukkan pemulihan ekonomi negara tersebut terus terjadi.

Hal tersebut mendorong percaya diri investor sehingga mendorong harga minyak.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Gelombang Kedua Corona

Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Tapi kekhawatiran gelombang kedua pandemi Corona menahan kenaikan harga minyak ke level yang lebih tinggi. Korban tewas dari Cvid-19 melampaui setengah juta orang pada hari Minggu, menurut penghitungan Reuters.

Beberapa negara bagian di Amerika Serikat menerapkan kembali pembatasan setelah terjadi lompatan kasus baru. California memerintahkan bar untuk tutup pada hari Minggu menyusul langkah serupa di Texas dan Florida.

Negara bagian Washington dan kota San Francisco telah menghentikan rencana pembukaan kembali mereka.

"Langkah-langkah lokal ini memang tidak bisa diabaikan. Penutupan secara lokal ini pasti akan berisiko signifikan terhadap permintaan bensin," kata JBC Energy.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya