Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto mengakui dampak pandemi Covid-19 sangat besar terhadap kinerja BPS dalam pengumpulan sekaligus pengolahan data.
Sebab, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sangat mengganggu aktivitas kinerja normal di lembaganya.
Advertisement
"Tantangan BPS besar sekali. Hampir sama dengan tantangan yang dihadapi oleh kantor statistik di negara lain. Dengan adanya PSBB, penerapan protokol kesehatan, tentunya pengumpulan data lewat wawancara langsung itu menemui kendala," kata dia di Kantornya, Jakarta, Rabu (1/7).
Berbagai kendala itu cukup dirasakan, mulai dari petugas BPS yang harus menaati setiap protokol kesehatan, juga responden yang susah dimintai keterangan.
Atas dasar permasalahan tersebut, pihaknya melakukan modifikasi dalam proses kinerja bisnisnya. BPS melakukan pengumpulan data melalui wawancara telepon dari sebelumnya, secara tatap muka atau door to door.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tantangan Lain
Di samping itu, tantangan lainnya adalah efisiensi anggaran. Dia menyadari hampir semua anggaran di KL itu diefisiensikan dan digunakan untuk penanganan covid sehingga sensus penduduk 2020 tidak ada wawancara langsung.
"Tapi kita akan membagikan kuesioner ke tiap rumah tangga yang belum ikuti SP online dan akan kita ambil kembali. Untuk pelatihan kita juga gunakan online dan efisiensinya luar biasa besar," kata dia.
Dalam rangka penanganan Covid-19, BPS juga mulai gencar untuk menggunakan big data. Misal mengenai tingkat mobilitas penduduk, jumlah penerbangan di halim dan cengkareng dengan gunakan flight tracker utk memberikan perkembangan terkini dari dampak covid.
"Jadi intinya BPS melakukan beberapa modifikasi proses bisnis," kata dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
BPS Ungkap Perilaku Anti Korupsi Masyarakat Indonesia Terus Membaik
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2020 sebesar 3,84 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian tahun 2019 sebesar 3,70.
Nilai indeks yang semakin mendekati 5 ini, menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi. Sebaliknya, jika nilai IPAK mendekati 0, menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
"Indeks perilaku anti korupsi pada 2020 itu membaik, dari 3,70 ke 3,84," ujar Kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto dalam siaran pers, Senin (15/6/2020).
"Penyebab naiknya indek perilaku anti korupsi itu adalah kenaikan indeks pengalaman, dimana naik dari 3,65 poin ke 3,91 poin dengan catatan yang mengalami peningkatan hanya untuk pengalaman publik, pengalaman lainnya mengalami penurunan," sambung Suhariyanto.
Sementara dari sisi indek persepsi, lanjut Suhariyanto, terjadi penurunan yang cukup mencemaskan, baik pada level keluarga, level komunitas, maupun level publik.
"Satu lagi, bahwa indeks anti korupsi di masyarakat perkotaan itu lebih tinggi daripada masyarakat pedesaan," sebut Suhariyanto.
Tingkat Pendidikan
Pada tahun 2020, IPAK masyarakat perkotaan lebih tinggi 3,87 poin dibanding masyarakat pedesaan yakni 3,81 poin.
Temuan selanjutnya adalah, Semakin tinggi pendidikan, masyarakat cenderung semakin anti korupsi. Pada tahun 2020, IPAK masyarakat berpendidikan di bawah SLTA sebesar 3,80; SLTA sebesar 3,88; dan di atas SLTA sebesar 3,97.
Masyarakat pada usia 40 tahun kebawah paling anti korupsi dibanding kelompok usia lain. Tahun 2020, IPAK masyarakat berusia di bawah 40 tahun sebesar 3,85; usia 40–59 tahun sebesar 3,84; dan usia 60 tahun atau lebih sebesar 3,82.
Advertisement