HEADLINE: Belanja di Jakarta Bebas Kantong Plastik, Siapkah Pengusaha dan Konsumen?

Mulai 1 Juli 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai.

oleh Athika RahmaTira SantiaPipit Ika Ramadhani diperbarui 02 Jul 2020, 17:21 WIB
ilustrasi kantong plastik. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Warga ibu kota harus mulai membiasakan diri untuk membawa kantong sendiri ketika bepergian terutama saat berbelanja. Sebab, mulai 1 Juli 2020, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai.

Jakarta sebenarnya bukan satu-satunya daerah di Indonesia yang melarang penggunaan kantong plastik. Sebelumnya, telah ada sejumlah daerah yang menerapkan aturan serupa seperti Denpasar, Bogor, Banjarmasin, Balikpapan, Bekasi dan Semarang.

Menggunungnya sampah plastik di Indonesia menjadi salah satu alasan pemerintah daerah menerapkan larangan ini. Total volume sampah plastik di Indonesia tercatat mencapai 64 juta ton per tahun di mana 3,2 juta ton per tahun masuk ke laut.

Dengan kondisi ini, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang sampah plastik di laut terbesar kedua di dunia.

Sementara di Jakarta sendiri, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat, kontribusi kantong plastik terhadap sampah di Jakarta cukup signifikan besar. Mengingat, dari 7.500 ton sampah per hari yang dihasilkan Ibu Kota Jakarta, kontribusi dari kantong plastik mencapai sebanyak 14 persen.

Tak tinggal diam, Pemprov DKI Jakarta pun menerbitkan aturan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai, melalui Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat.

Pergub yang diteken Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah ditandatangani sejak 27 Desember 2019 dan diundangkan pada 31 Desember 2019.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut Pergub itu diteken bukan semata-mata sebagai bentuk antisipasi banjir. Penggunaan plastik perlu diatur, sebab limbahnya menjadi salah satu kontributor perubahan ekosistem.

"Itu bagian dari kita menyadari perubahan lingkungan luar biasa dan salah satu kontributornya adalah plastik," ujar Anies, Selasa 7 Januari 2020.

Anies menyadari tidak semua plastik dan produk berbahan dasar plastik buruk. Hanya saja, perlu ada pengolahan secara baik dalam memanfaatkan dan menggunakan plastik.

Untuk itu, adanya pergub larangan penggunaan plastik sekali pakai di swalayan dan pasar tradisional mampu meningkatkan kesadaran masyarakat atas dampak limbah plastik.

"Intinya, kita mengimbau kesadaran masyarakat semuanya untuk mengurangi limbah plastik," kata dia. 

Dalam Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 ini, setiap pengelola pusat perbelanjaan dan pasar rakyat diharuskan memberitahukan larangan penyediaan kantong plastik sekali pakai kepada pelaku usaha.

Kemudian dalam pelaksanaannya, setiap pelaku usaha hanya boleh menyediakan kantong ramah lingkungan yang tidak gratis.

"Pelaku usaha atau tenant harus menyediakan kantong belanja ramah lingkungan secara tidak gratis," ungkap Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih.

Infografis Jakarta Bebas Kantong Plastik. (Liputan6.com/Trieyasni)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ancaman Sanksi

Warga menggunakan kantong plastik saat berbelanja di Pasar Tebet Barat, Jakarta, Kamis (6/2/2020). Masih banyak pedagang maupun pembeli yang menggunakan kantung plastik sebagai tempat bawaan membawa belanjaan. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Pemprov DKI Jakarta pun tak main-main dengan larangan ini. Buktinya, sejumlah sanksi siap menanti masyarakat yang melanggar aturan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai.

Berdasarkan laman Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sanksi yang akan dikenakan berupa teguran tertulis, uang paksa atau denda sebesar Rp 5 juta hingga Rp 25 juta, pembekuan izin, hingga pencabutan izin.

Subjek yang diatur dalam pergub tersebut, pertama toko swalayan, pedagang atau pemilik toko dalam pusat perbelanjaan dan pasar. Kedua, pengelola pusat perbelanjaan dan pasar.

Subjek pertama yang diatur dalam pergub tersebut diwajibkan menyediakan kantong belanja ramah lingkungan dengan kriteria terbuat dari bahan apa pun baik daun kering, kertas, kain, polyester maupun turunannya, dengan memiliki ketebalan memadai serta dirancang untuk dapat digunakan berulang kali atau dapat didaur ulang. Kemudian wajib menerapkan sosialisasi pada konsumen.

Dalam pergub itu juga diatur tentang larangan untuk menyediakan kantong kresek atau belanja sekali pakai yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik dengan pegangan tangan yang digunakan sebagai wadah untuk mengangkat atau mengangkut barang.

Kendati demikian, subjek pertama itu, masih boleh menggunakan kantong plastik sekali pakai dengan kriteria kemasan kantong transparan yang boleh digunakan sampai ada pengganti yang ramah lingkungan seperti kemasan untuk makanan basah, namun tetap menyosialisasikan pada konsumen membawa wadah sendiri.

Adapun subjek kedua yang diatur pergub tersebut, berkewajiban untuk memberitahukan, mengawasi, membina dan memberi teguran pada seluruh pedagang di dalam pusat perbelanjaan dan pasar.

Pada subjek-subjek pajak tersebut, gubernur memberikan insentif fiskal daerah dalam mendukung penggunaan kantong belanja ramah lingkungan.


Kesiapan Pengelola Pusat Perbelanjaan

Suasana pusat perbelanjaan di Jakarta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai ini menuai sambutan baik dari pengelola pusat perbelanjaan dan mal.

Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta, Ellen Hidayat mengaku pengusaha sejatinya sudah melakukan beberapa hal demi mendukung kebijakan ini.

Langkah pertama, menyosialisasikan tentang Pergub 142/2019 kepada para tenant/ retailer agar dapat menyediakan kantong belanja yang bisa dipakai berulang.

Kedua, mengingatkan para pengunjung pusat belanja melalui berbagai media promosi/sosmed yang dimiliki pusat belanja. Serta turut memberikan pengawasan terhadap para tenant dan memberikan teguran jika diperlukan.

"Umumnya, sebagian besar tenant di pusat belanja menengah ke atas sudah menggunakan berbagai kantong belanja dari kertas maupun dari jenis tas dari bahan daur ulang serta menggunakan kantong belanja berulang, jadi tidak memakai tas kresek," ujar dia kepada Liputan6.com.

Namun, Ellen mengakui jika bagi para pelaku UKM yang juga berada di trade mall, aturan ini akan menjadi tambahan biaya penjualan.

Pasalnya, mereka harus mencari substitusi dari kemasan plastik, utamanya untuk produk makanan, yang umumnya para pembeli meminta agar dikemas dengan higenis. Biasanya, akan dipilih plastik dari bahan singkong atau kentang yang harganya memang lebih mahal dari plastik biasa.

"Bagi para pelaku UKM yang juga berada di trade mall peningkatan kantong plastik menjadi kantong yang ramah lingkungan akan menjadi tambahan biaya penjualan di saat ini," tutur Ellen.

"Hanya kini dengan kondisi Covid-19 di mana banyak juga yang harus melakukan delivery, bahkan masyarakat juga minta para tenant membungkus produk food yang dibeli tersebut dengan higienis dan juga dengan di seal atau cable ties, di mana saat sebelum Pergub ini diberlakukan, maka digunakan plastik dari bahan singkong atau kentang untuk mengemasnya," sambung dia.

Peritel

Pengusaha ritel pun mengaku siap melaksanakan Pergub Nomor 142 Tahun 2019 ini. Bahkan sudah jauh-jauh hari menyosialisasikan hal tersebut ke masyarakat.

"Sebelum Pergub tersebut dikeluarkan kita sudah melakukan yang namanya kantong plastik tidak gratis (KPTG), di sana sudah terjadi pengurangan. Begitu keluar Pergub artinya berlaku enam bulan kemudian berarti nanti 1 Juli 2020,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin.

Pengusaha mendukung karena larangan pemakaian kantong plastik dibuat demi meningkatkan kesadaran di masyarakat. Keberadaan kantong plastik sangat merusak lingkungan.

Apalagi, aturan ini berlaku tidak hanya bagi peritel modern saja. Namun juga berlaku untuk pasar tradisional. 

Masyarakat diharapkan ikut mendukung program pemerintah ini. Dengan disiplin berbelanja membawa kantong sendiri atau membeli kantong ramah lingkungan yang disediakan pedagang.

 


Kata Pedagang Pasar

Seorang pedagang menggunakan kantong plastik di Kawasan Pasar Jatinegara, Jakarta, Selasa (30/6/2020). Mulai 1 Juli 2020 penggunaan kantong plastik sekali pakai dilarang di mal, toko swalayan, dan pasar tradisional di DKI Jakarta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Sarman Simanjorang, mengatakan jika sudah melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota  APPSI sejak Peraturan Gubernur Nomor 142 tahun 2019 diterbitkan.

"Secara organisasi kita sudah maksimal mengimbau kepada anggota, prinsip mereka mengerti. Namun memang masih perlu bantuan dari pemerintah agar edukasi dan sosialisasi semakin ditingkatkan, khususnya berkaitan dengan kantong ramah lingkungan sebagai pengganti dari kantong plastik," kata Sarman kepada Liputan6.com.

Bila perlu, pemerintah dapat memberikan contoh-contoh kantong plastik ramah lingkungan, baik untuk pedagang maupun konsumen atau masyarakat.

Selanjutnya, budaya dan kesadaran kepada masyarakat juga diharapkan aktif dilakukan pemerintah, sehingga pedagang pasar dan konsumen memiliki pemahaman yang sama akan pentingnya pemakaian kantong plastik ramah lingkungan (KTRL) untuk keberlanjutan lingkungan hidup yang semakin baik.

Selain itu, Sarman mengakui bahwa pihaknya sementara melakukan sosialisasi dalam rapat-rapat organisasi saja, belum secara meluas.

Karena pihaknya masih mempersiapkan contoh dan desain kantong pengganti plastik. Pemerintah pun diharapkan memberi arahan yang lebih jelas lagi.

"Kita baru mempersiapkan contohnya dan desainnya makanya kita ingin meminta contoh dari Pemerintah," pungkasnya.  

 


Industri Plastik Keberatan

Industri wadah plastik (iStockphoto)

Nada berbeda datang dari produsen plastik yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas). Kumpulan produsen plastik ini menyayangkan penerapan Pergub larangan kantong plastik di tengah pandemi Covid-19.

"Banyak asosiasi yang menyayangkan implementasi Pergub DKI Jakarta nomor 142 tahun 2019 dipaksakan berjalan dalam kondisi pendemi cCvid-19. Kami berharap Pak Anies dapat menunda pelaksanaan pergub pelarangan penggunaan kantong plastik dintunda sampai pandemi selesai dan ekonomi kembali normal," kata Direktur Bidang Olefin dan Aromatik Inaplas, Edi Rivai kepada Liputan6.com.

Menurutnya, plastik adalah bahan baku yang didesain untuk digunakan ulang, murah dan memiliki nilai ekonomi, serta higienis tidak mudah tembus virus covid-19.

Kebijakan larangan dikatakan akan berdampak domino sampai menurunnya pembelian dan belanja masyarakat. Berlanjut ke kondisi ekonomi masyarakat kecil, UMKM, peritel dan pusat belanja.

Dia menambahkan, sebenarnya keberadaan pandemi membuat konsumsi plastik di sektor hilir sudah turun sekitar 30-40 persen. Hal ini terkait kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Penyebab lain, penurunan konsumsi masyarakat dan tidak beroperasinya sejumlah pertokoan karena beberapa sektor usaha terpaksa ditutup. Meskipun diakui masih ada beberapa sektor yang bisa buka dan menggunakan kantong plastik.

"Karena sesungguhnya bukan masalah materialnya. Sebenarnya materialnya bagus, cuma pengelolaan yang memang perlu diperbaiki perlu ditingkatkan. Jadi bukan pelarangan justru jadi kita harapkan adalah melakukan suksesi terhadap kemasan khususnya mengenai kantong plastik ini sehingga pada akhirnya kantong plastik itu dapat digunakan ulang dipakai ulang sehingga tidak mengganggu lingkungan," ungkap dia.

Edi mengatakan, sebenarnya aturan terbit pada saat Jakarta terlanda banjir pada akhir 2019. Aturan sempat mangkrak selama tiga tahun. Namun kini baru mulai dijalankan.

Dia berharap ke depan Pemprov DKI Jakarta, bisa mengajak pengusaha duduk bersama, membahas terkait peraturan tersebut dan tidak memutuskan kebijakan secara sepihak.

Ini karena Inaplas sebagai produsen justru lebih tahu teknologi yang tepat untuk bisa digunakan dalam mengelola sampah dari kantong plastik itu.

"Kita sudah melakukan pendekatan lebih ke sana tapi mereka tidak mendengarkan masukan apa-apa, mestinya mendapatkan masukan dari kita, kan kita yang membuatnya jadi tahu persis teknologi yang harusnya mereka terapkan untuk mengelola,  seharusnya kita diajak juga duduk bareng. Jangan hanya satu sisi, dari LSM saja,"  pungkasnya.   


Efek Domino ke Konsumen

Aktivitas jual beli menggunakan kantong plastik di pasar tradisional di Jakarta, Kamis (9/1/2020). Berdasarkan Pergub Nomor 142 Tahun 2019, para pengelola usaha bisa dikenakan denda mencapai Rp 25 juta apabila melanggar aturan tentang penggunaan kantong plastik. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Meski memiliki tujuan yang baik, namun larangan ini pasti berdampak ke konsumen yang sering menggunakan plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan dan pasar tradisional. Lantas seperti apa dampaknya?

Staf Peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Natalya menyatakan, keputusan melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai ini tidak cuma soal ganti material pembawa dan pembungkus barang saja.

YLKI dalam risetnya menemukan, regulasi pemerintah soal penggunaan kantong plastik ini tidak sinkron.

"Di aturan lama di UU pengelolaan sampah, Perda pengelolaan sampah hingga Perpres itu menyebutkan konsep 4R. Tapi kenapa kok di aturan yang baru ini nggak ada. Nah, ini nggak sinkron. Nah ini takutnya ada efek domino," ujar Natalya saat dihubungi Liputan6.com.

Natalya menjelaskan, pemerintah harus menyiapkan regulasi dengan matang terlebih dahulu, baik dari segi standar kantong pengganti plastik yang ramah lingkungan hingga aspek keamanann.

Langkah antisipasi agar tidak ada regulasi yang tidak sinkron, membuat pengusaha tidak siap dan ujungnya, aturan hanya tinggal aturan.

Jika ditarik dari satu titik, misalnya, penggunaan plastik diganti dengan kaleng, kayu atau kertas. YLKI meminta harus dipikirkan, dampak ke masyarakat menengah bawah. Mereka yang biasanya menggunakan plastik saat membeli bahan makanan sesuai dengan penghasilan.

Kemudian berkaitan dampak ke distribusi. Apakah bobot barang akan bertambah dan justru malah menaikkan cost logistik dan ujungnya menaikkan harga barang dan sebagainya.

"Misalnya kalau di restoran, delivery-nya pakai kertas untuk packaging pengganti, sudah ada standarnya apa belum? kalau diganti kertas, ini cukup nggak bawa makanan berkuah, berminyak, lalu bagaimana harganya nanti," dia mengingatkan.

Bahkan jika konsumen diarahkan menggunakan tas kain saat berbelanja, patut dipikirkan dampak jika tas tersebut rusak dan akhirnya tidak terpakai. Alhasil, terbuang dan malah menambah masalah lingkungan baru, dan sebagainya.

Efek domino itulah, menurut Natalya, harus dipikirkan ulang dari hal mendasar, yaitu regulasi. "Menurut kami, coba dikaji dulu, dilihat dulu apakah konsumen siap untuk menggunakan tas pengganti plastik ini, jangan sampai ujungnya malah menimbulkan masalah ekonomi baru," katanya.

YLKI selaku lembaga perlindungan konsumen mengaku akan memastikan amanat dalam aturan-aturan tersebut selaras dengan payung hukum pengelolaan sampah agar tidak berpotensi mencederai hak-hak konsumen di masa depan.

"YLKI ingin memastikan konsumen mendapatkan hak pilihnya dalam menngonsumsi produk yang mengedepankan kualitas, fleksibilitas, keterjangkauan, serta tidak berpotensi menyumbang kerusakan bagi lingkungan," tutup dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya