Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan pembangunan biorefinery atau kilang biodiesel di Indonesia masih mengalami beberapa kendala. Salah satunya biaya yang cukup mahal jika dibanidngkan dengan pengembangan kilang konvensional.
"Untuk perkembangan biorefinery ini ada beberapa hal yang menjadi faktor, sehingga kondisi capex dan opex lebih tinggi dibandingkan kita mengelola fossil fuel, atau konvensional fuel," ujar VP Refining Business Development PT Kilang Pertamina International, Prayitno, Kamis (2/7/2020).
Advertisement
Prayitno menyebutkan feedstock dari CPO mengandung TAN (Total Acid Number) lebih tinggi dibandingkan fosil, sehingga kualitas metallurgy equipment harus lebih tinggi.
Adapun biorefinery atau kilang biodiesel ini mengacu pada eksplorasi biomassa untuk diproduksi menjadi bahan bakar, energi, dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam kehidupan.
"Kedua, heat release lebih banyak. Jadi ketika suatu komponen direaksikan, akan menghasilkan panas di reaktornya itu lebih tinggi dibandingkan ketika kita mengolah fossil fuel. Kondisi demikian membutuhkan sistem recycle dan pendinginan di kilang itu lebih banyak," jelas dia.
Kandungan Oksigen
Ketiga, kandungan oksigen di feed yang tinggi. Rantai kimia CPO mengandung oksigen, sehingga saat reaksi akan banyak melepas CO2 dan H2O yang mengharuskan penambahan sistem untuk menampung dan mengelola CO2 dan H2O.
Terakhir, keempat, yakni kebutuhan hidrogen yang sangat besar. Pengolahan CPO menjadi green fuel memerlukan hidrogen yang jauh lebih besar dibandingkan mengolah fosil. Sehingga dibutuhkan H2 plant khusus untuk memasok kebutuhan hydrogen.
"Hal-hal itu menyebabkan biorefinary ini memerlukan capex biaya investasi dan biaya dan biaya operasi atau opex yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan konsevnsional fuel," tandasnya.
Advertisement