Pengurangan Konsumsi BBM Oktan Rendah Penting demi Atasi Polusi Udara

Pengurangan emisi karbon antara 29-40 persen akan sulit tercapai jika masyarakat masih dominan menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Jul 2020, 18:27 WIB
Aktivitas pengisian BBM di SPBU Cikini, Jakarta, . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak ramah lingkungan yang tinggi dan tidak memenuhi standar Euro menjadi pemicu utama polusi kota-kota di Indonesia.

Mayoritas kendaraan masih menggunakan jenis BBM berkualitas rendah seperti premium, atau BBM lain yang kandungan sulfurnya lebih dari 500 ppm.

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, program langit biru dicanangkan oleh pemerintah dengan mendorong BBM ramah lingkungan, harus didukung.

Caranya, dengan dengan mengurangi distribusi dan penjualan jenis BBM yang tidak ramah lingkungan, terutama BBM Premium.

"Karena sudah mendesak, meniadakan penjualan jenis BBM premium di Kota Jakarta dan Bodetabek, dan membatasi dengan ketat untuk daerah lainnya di Jawa, dan luar Pulau Jawa. Peniadaan BBM premium atau jenis BBM lain yang tidak ramah lingkungan, bukan saja urgen untuk mengurangi tingginya polusi di Jakarta, tetapi juga menjaga kesehatan masyarakat," kata dia di Jakarta, Kamis (2/7/2020).

Meski demikian, Mamit berpendapat bahwa posisi Pertamina sebagai perusahaan BUMN tetap pada penugasan yang di berikan oleh pemerintah. Mereka sebagai BUMN akan mendukung apapun kebijakan pemerintah terkait hal ini.

"Selain kebijakan pemerintah pusat, saya kira pemerintah daerah pun bisa meminta kepada Pertamina untuk tidak menyalurkan Premium ke wilayah mereka, jika memang masyarakatnya siap untuk tidak menggunakan Premium," jelas dia.

Namun, pada sisi ini dirinya tetap mengingatkan bahwa ada beban yang harus di tanggung pemerintah terkait dengan dana kompensasi tersebut untuk Premium.

"Saya kira edukasi sangat penting dan masyarakat kita juga sudah cukup banyak yang paham terkait dengan penggunaan BBM dengan oktan yang tinggi. Proses edukasi ini sangat baik saya kira yang dilakukan oleh Pertamina dan pemerintah untuk beralih ke bbm ron tinggi," kata Mamit.

Sementara di sisi lain, Mamit menyambut baik dengan Langit Biru. Program ini menurutnya sangat baik.

"Langit biru menjadi keharusan sesuai dengan peraturan KLHK. Makanya program ini harus dilakukan secara bertahap sehingga bisa semua daerah bisa dilakukan," jelas dia.

 

Saksikan video di bawah ini:


Harus Konsisten

Mesin pengisian ulang bahan bakar minyak di salah satu SPBU, Jakarta, Selasa. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menyampaikan, bensin premium berkontribusi sangat signifikan terhadap polusi di Jakarta, karena lebih dari 30 persen bensin premium digunakan oleh kendaraan bermotor.

Jika premium tak dihapus, kota Jakarta akan makin tenggelam dan kelam oleh polusi. "Polusi udara masih tinggi, sebab banyak kendaraan masih mengonsumsi BBM yang memiliki oktan rendah," katanya.

Semua pihak baik pemerintah pusat dan daerah perlu satu suara dalam kebijakan menghilangkan BBM tak ramah lingkungan. Ini  juga sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagaimana Perjanjian Paris (Paris Protokol), yang telah diratifikasi.

Pengurangan emisi karbon antara 29-40 persen akan sulit tercapai jika masyarakat masih dominan menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan.

Tulus menambahkan dalam kehidupan paska wabah Covid-19, di sektor energi/BBM pun harus berbasis New normal juga, yakni konsisten menggunakan BBM ramah lingkungan yang juga sejalan dengan filosofi konsumsi berkelanjutan.

Terlebih lagi, sejumlah negara maju telah melarang pemakaian Premium karena dianggap tidak ramah lingkungan.

"Sejatinya, pemerintah pusat sudah menetapkan Premium hanya berlaku di luar Pulau Jawa. Seyogyanya, BBM jenis ini harus dihapuskan peredarannya dari wilayah Jakarta jika Pemprov berkomitmen menciptakan kualitas udara yang baik bagi warganya. Harusnya makhluk premium yang nilai Ron nya sangat rendah tidak dipakai lagi di Jakarta," ujar Tulus.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya