Liputan6.com, Balikpapan - Dua mahasiswa Papua sudah bisa menghirup udara bebas setelah habis masa penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim). Permasalahan baru muncul saat keduanya kehabisan bekal biaya pulang ke daerahnya masing masing.
“Kami butuh biaya besar untuk pulang kembali ke Papua,” ucap aktivis BEM Universitas Cendrawasih (Uncen) Ferry Kombo (25) di Balikpapan, Selasa (2/7/2020).
Masa penahanan Ferry Kombo dan Alexander Gobai (Universitas Sains dan Teknologi Jayapura) habis sesuai putusan Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan. Keduanya sempat ditahan 10 bulan saat menjalani proses persidangan kasus kerusuhan demo massa di Jayapura, pertengahan tahun lalu.
Baca Juga
Advertisement
Ferry mengungkapkan, rute perjalanan Balikpapan-Jayapura harus ditempuh mengggunakan jalur transportasi udara. Ia memperkirakan, setidaknya butuh biaya minimal Rp4 juta untuk pulang ke Jayapura.
Sebagai anak petani, Ferry mengaku keluarganya tak sanggup menanggung biaya pemulangan sebesar itu. Ia pun kesulitan berkomunikasi dengan orang tuanya akibat keterbatasan alat telekomunikasi.
Semenjak bebas, Ferry dan Alexander pun terpaksa menumpang di rumah simpatisan HAM Balikpapan. Mereka berinisiatif menunggu lima rekan lainnya yang masih dalam tahanan.
Lima tahanan tersisa itu yakni, Irwanus Uropmabin (USTJ), Hengki Hilapok (Uncen), Buchtar Tabuni (United Liberation Movemnet for Papua), Agus Kossay dan Stevanus Itlay dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
“Dua mahasiswa lain akan bebas seminggu lagi, sedangkan aktivis (Papua) bebas bulan depan,” Ferry mengungkapkan.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Tuntut Negara Pulangkan Aktivis ke Papua
Pascabebas, kondisi kesehatan Alexander makin memburuk. Beberapa kali, ia memang mengeluh sakit sejak ditahan Rutan Balikpapan.
“Alex masih sakit semenjak ditahan hingga sekarang,” Ferry menuturkan.
Di sisi lain, Ferry beranggapan negara sebenarnya paling bertanggung jawab memulangkan mereka. Lewat kuasa hukumnya, para aktivis sudah meminta agar proses persidangan digelar di Jayapura.
“Negara harus bertanggung jawab nasib kami di Balikpapan, jangan cuci tangan setelah prosesnya selesai,” dia menegaskan.
Ferry dan Alexander harus secepatnya pulang ke Jayapura guna mengurus studi. Keduanya memang sudah dijadwalkan ikut prosesi wisuda di kampusnya masing masing.
“Kami berdua akan ikut wisuda di kampus masing masing. Tinggal mengurus beberapa ketentuan administrasi belum selesai,” kata Ferry yang merupakan mahasiswa jurusan administrasi negara.
Alasan ini pula yang membuat keduanya enggan berkomentar perihal kasus makar yang menjeratnya. Seperti diketahui, pengadilan menjatuhkan vonis 10-11 bulan pada tujuh aktivis dan mahasiswa Papua.
Mereka dianggap bersalah atas kasus makar dan berujung kerusuhan massal Jayapura.
Advertisement
Pengumpulan Donasi untuk Pemulangan Aktivis Papua
Perwakilan tim kuasa hukum, Bernard Marbun mengatakan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua menjadi pihak paling bertanggung jawab pemulangan aktivis. Selama proses penyidikan, penyidik kejaksaan yang ngotot menggelar sidang di Balikpapan.
“Saat membawa mereka ke Balikpapan mempergunakan anggaran negara, tentunya untuk memulangkan mereka juga harus bisa kan,” tukas Bernard.
Sehubungan itu, Bernard menyebutkan, saat ini tim Jayapura sudah melayangkan tuntutan kepada Kejati Papua agar bertanggung jawab. Lewat kuasa hukum, pihak kejaksaan berdalih terkendala keterbatasan anggaran.
“Sementara ini mereka mengaku tidak punya uang,” ucapnya.
Jawaban kejaksaan ini lah yang membuat kuasa hukum dan mahasiswa kecewa. Mereka bertekad terus bertahan di Balikpapan hingga sikap kejaksaan berubah.
“Kalau mereka tetap ngotot, kami akan terus bertahan di Balikpapan, menunggu tanggung jawab mereka,” kata Bernard.
Salah seorang tim kuasa hukum, Fathul Huda Wiyashadi mengatakan alternatif lain pun sudah dipertimbangkan demi keberlangsungan hidup para aktivis. Mereka tentunya harus melanjutkan aktivitasnya di Papua.
Fathul berinisiatif mengumpulkan bantuan para simpatisan dan donator untuk pemulangan kliennya. Ia optimis mayoritas masyarakat Indonesia masih peduli nasib aktivis Papua.
“Nanti kita carikan bantuan dari pihak pihak lain, pastinya akan dapat sumbangan,” ujar Fathul.
Meski begitu, Fathul memastikan pengumpulan bantuan merupakan alternatif terakhir. Seperti halnya dengan yang lain, ia yakin pemulangan aktivis menjadi kewajiban negara.
“Ini altenatif terakhir saat kejaksaan benar-benar cuci tangan,” ucapnya.
Diketahui, kerusuhan Papua bermula dari protes aktivis dan mahasiswa atas hinaan rasis mahasiswa Papua di Surabaya Jawa Timur (Jatim). Aksi kian membesar berujung demonstrasi 10 ribu massa di Jayapura.
Namun demo damai berujung rusuh dan perusakan fasilitas publik. Sebanyak 38 orang dituduh makar dan menimbulkan 40 korban jiwa berikut harta benda masyarakat. Polda Papua lantas menuduh aktivis ditunggangi KNPB memperjuangkan referendum kemerdekaan Papua Barat.