Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Kutai Timur Ismunandar dalam operasi tangkap tangan (OTT) Kamis, 2 Juli 2020 malam.
Ismunandar ditangkap bersama istri dan seorang Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di sebuah hotel di Jakarta. Tim penindakan juga mengamankan pihak lainnya di Kutai Timur dan Samarinda.
Advertisement
OTT terhadap Bupati Kutai Timur ini merupakan tangkap tangan keempat sejak Firli Bahuri menjabat sebagai ketua KPK pada 20 Desember 2019.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mengapresiasi tim penyidik KPK yang berhasil melakukan tangkap tangan terhadap Bupai Kutai Timur Ismunandar. Namun, menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kelanjutan dari tangkap tangan kali ini. Sebab, kata dia, dua tangkap tangan KPK sebelumnya justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
"Pertama, tangkap tangan yang melibatkan Wahyu Setiawan dan Harun Masiku. Sebagaimana diketahui bersama, hingga saat ini KPK terlihat enggan untuk menangkap Harun Masiku. Padahal sudah jelas-jelas yang bersangkutan berada di Indonesia," ujar Kurnia kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (3/7/2020).
Kedua, tangkap tangan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diduga melibatkan Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dalam tangkap tangan kala itu, ujar Kurnia, KPK justru secara serampangan melimpahkan perkara ke Kepolisian. Padahal ICW memandang perkara tersebut sebenarnya dapat ditindaklanjuti oleh KPK.
"Sehingga menjadi wajar jika publik meragukan keseriusan pimpinan KPK dalam menangani perkara yang melibatkan kepala daerah ini," ujar Kurnia.
Di luar dari itu, kata Kurnia, KPK juga harus menginformasikan kepada publik terkait problematika yang terjadi pada tangkap tangan sebelumnya.
"Misalnya, kenapa sampai saat ini tidak ada perkembangan informasi soal pencarian Harun Masiku? Kenapa pencarian yang bersangkutan terkesan ditutup-tutupi oleh KPK? Apa karena Harun Masiku berasal dari partai penguasa sehingga membuat Pimpinan KPK takut menangkap yang bersangkutan?" kata dia.
Publik, kata dia, juga masih menunggu langkah konkret dari Dewan Pengawas terkait dugaan pelanggaran kode etik Komjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK karena menunjukkan gaya hidup hedonisme dengan mengendarai helikopter mewah beberapa waktu lalu.
"Selain itu, tim penindakan KPK juga mesti didorong untuk berani menyelidiki potensi pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Komjen Firli Bahuri atas dugaan penerimaan gratifikasi pada saat mengendarai helikopter mewah," tandas Kurnia.
Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fikar Hajar menilai operasi tangkap tangan terhadap Bupati Kutai Timur merupakan penangkapan berskala kecil. Hal ini tidak akan mengubah keraguan masyarakat terhadap kepemimpinan Firli Cs.
"Dipilihnya yang lemah-lemah kayak gini, OTT yang sebenarnya tidak mempengaruhi peta korupsi nasional, terlalu kecil, belum ada prestasinya Firli ini," kata Fikar kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (3/7/2020).
Kasus inipun tidak akan menutupi isu dugaan pelanggaran kode etik terhadap Firli Bahuri. Dugaan pelanggaran kode etik yang dimaksud adalah soal laporan bahwa Firli menumpangi helikopter mewah milik swasta.
"Bahwa OTT kan itu kerja KPK, itu kewenangan KPK jadi harus dipisah," ujar dia.
Fikar pun meminta agar Firli tetap diperiksa atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan oleh Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) terkait gaya hidup mewah itu.
"Pimpinan itu tetap harus diperiksa sampai kapanpun, yang dia pakai heli, yang pola hidupnya mewah. Harus dijatuhi hukuman," ujar dia.
Bukan Pamer Taji
Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan, operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Bupati Kutai Timur Ismunandar bukan untuk menunjukkan bahwa lembaganya masih memiliki taji. Namun, kata dia, menangkap koruptor merupakan tugas pokok KPK.
"KPK bekerja sesuai dengan tugas pokok KPK untuk pemberantasan korupsi. Siapapun pelaku korupsi pasti kami tangkap," kata Firli kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (3/7/2020).
Firli pun mengaku memahami keraguan masyarakat di awal dirinya memimpin KPK. Hal itu, kata dia, karena masyarakat ingin agar Indonesia bebas korupsi. "Kami sangat memahami, dan kita kerja keras dan terima kasih atas dukungan seluruh masyarakat," kata dia.
Firli pun berjanji akan terus meningkatkan citra KPK. "Kami berkewajiban melaksanakan 6 tugas pokok KPK dan kami terus bekerja maksimal," Firli menandaskan.
Firli pun enggan menanggapi soal tudingan bahwa OTT KPK ini sebagai unjuk gigi setelah isu dugaan pelanggaran kode etik pimpinan KPK berhembus.
"Kita kerja kerja kerja saja. Masa waktu kita habis karena merespon kritikan dan aduan," ujar Firli.
Sementara Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji meyakini operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK bukan untuk unjuk taring di tengah dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri.
"OTT ini sama sekali tidak ada kaitan dengan isu tersebut," kata Indriyanto kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (3/7/2020).
Apalagi, kata dia, saat ini isu dugaan pelanggaran kode etik Firli sudah menjadi domain dewan pengawas KPK.
Indriyanto mengingatkan bahwa operasi tangkap tangan yang dilakukan itu memang sudah menjadi tugas KPK sebagai lembaga penegak hukum tak peduli siapa pemimpinnya.
"KPK bukan milik pimpinan, tapi milik masyarakat dan negara, jadi penindakan OTT terhadap Bupati Kutim adalah keberhasilan KPK sebagai kelembagaan," kata dia.
Dia mengapresiasi kinerja KPK saat ini. Di mana dengan adanya operasi tangkap tangan ini KPK membuktikan adanya paralelitas penindakan dan pencegahan yang berjalan dengan baik.
"KPK juga membuktikan bahwa penindakan dengan pola golden silent sangat efektif dan menghindari pencitraan kelembagaan," ujar Indriyanto.
Indriyanto menegaskan, sejak lahir KPK sudah memiliki taji untuk memberantas korupsi.
"Taji penindakannya akan selalu ada sampai sekarang, dan ketajian ini hanya persepsi saja," ujar mantan Wakil Ketua Tim Pansel Pimpinan KPK ini.
Dengan begitu, kata Indriyanto, dengan adanya OTT saat ini sudah dapat menjawab keraguan terhadap Firli Cs sebagai pimpinan KPK.
"Keraguan terhadap jilid V lebih adanya vested interest dan subyektif sifatnya," tandas Indriyanto.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kasus OTT Bupati Kutai Timur
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, pihaknya menangkap Bupati Kutai Timur Ismunandar pada Kamis, 2 Juli 2020 malam. Ismunandar ditangkap di salah satu hotel di Jakarta bersama istri dan kepala Bappeda.
Selain di Jakarta, KPK juga menangkap beberapa orang di Kutai Timur dan Samarinda. Total, ada 16 orang yang diamankan KPK.
Dari 16 orang tersebut, KPK menetapkan tujuh orang sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah dan janji terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur tahun 2019-2020.
"KPK menetapkan 7 orang tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (3/7/2020).
Ketujuh orang tersebut yakni Bupati Kutai Timur Ismunandar, Ketua DPRD Encek Unguria R yang merupakan istri Bupati Ismunandar, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Musyaffa, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Suriansyah, Kepala Dinas PU Aswandini dan dua orang rekanan bernama Aditya Maharani dan Deky Aryanto.
Nawawi mengatakan, pada 11 Juni 2020, diduga terjadi penerimaan hadiah atau janji yang diberikan dari Aditya Maharani selaku rekanan Dinas PU Kutai Timur sebesar Rp 550 juta, dan dari Decky selaku rekanan Dinas Pendidikan sebesar Rp 2,1 miliar kepada Ismunandar melalui Suriansyah dan Musyaffa bersama-sama Encek Unguria.
Keesokan harinya Musyaffa menyetorkan uang tersebut ke beberapa rekening, yaitu bank Syariah Mandiri a.n Musyaffa sebesar Rp 400 juta, bank Mandiri sebesar Rp 900 juta dan bank Mega sebesar Rp 800 juta.
Menurut Nawawi, pemberian uang tersebut untuk kepentingan Ismunandar. Yakni pada tanggal 23-30 Juni 2020 untuk pembayaran kepada Isuzu Samarinda atas pembelian Elf sebesar Rp 510 juta, pada tanggal 1 Juli 2020 untuk pembelian tiket ke Jakarta sebesar Rp 33 juta, pada tanggal 2 Juli 2020 untuk pembayaran hotel di Jakarta Rp 15,2 juta.
"Sebelumnya, diduga terdapat juga penerimaan uang THR dari Aditya sebesar masing-masing Rp 100 juta untuk ISM (Ismunandar), MUS (Musyaffa), SUR (Suriansyah), dan ASW (Aswandini) pada 19 Mei 2020, serta transfer ke rekening bank atas nama Aini sebesar Rp 125 juta untuk kepentingan kampanye ISM," kata Nawawi.
Selain itu, diduga terdapat beberapa transaksi dari rekanan kepada Musyaffa melalui beberapa rekening bank terkait dengan pekerjaan yang sudah didapatkan di Pemkab Kutim. Total saldo yang masih tersimpan di rekening- rekening tersebut sekitar Rp 4,8 miliar. "Kemudian terdapat penerimaan uang melalui ATM atas nama Irwansyah (saudara dari DA (Decky) yang diserahkan kepada EU (Encek) sebesar Rp 200 juta," kata dia.
Menurut Nawawi, penerimaan sejumlah uang tersebut diduga karena Ismunandar menjamin anggaran dari rekanan yang ditunjuk agar tidak mengalami pemotongan anggaran. Kemudian Emcek melakukan intervensi dalam penunjukan pemenang terkait pekerjaan di Pemkab Kutim.
Serta Musyaffa selaku kepercayaan bupati melakukan intervensi dalam menentukan pemenang pekerjaan di Dinas Pendidikan dan PU di Kabupaten Kutim. Suriansyah mengatur dan menerima uang dari setiap rekanan yang melakukan pencairan termin sebesar 10% dari jumlah pencairan.
"ASW selaku Kepala Dinas PU mengatur pembagian jatah proyek bagi rekanan yang akan menjadi pemenang," kata dia.
Sebagai penerima, Ismunandar, Encek, Musyaffa, Suriansyah, dan Aswandini disangkakan melanggar pasal 12 ayat (1) huruf atau b atau pasal 11 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 kuhp jo pasal 65 ayat (1) kuhp.
Sebagai pemberi, Aditya dan Decky disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau pasal 13 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 kuhp jo pasal 64 ayat (1) kuhp.
Aditya Maharani selaku rekanan menerima pengerjaan proyek pembangunan Embung Desa Maloy senilai Rp 8,3 miliar, pembangunan Rumah Tahanan Polres Kutai Timur senilai Rp 1,7 miliar, peningkatan jalan Poros Kecamatan Rantau Pulung senilai Rp 9,6 miliar, pembangunan kantor Polsek Kecamatan Teluk Pandan senilai Rp 1,8 miliar, optimalisasi pipa air bersih PT. GAM senilai Rp 5,1 miliar, serta pengadaan dan pemasangan LPJU jalan APT Pranoto cs Kota Sangatta senilai Rp 1,9 miliar.
Kemudian Deky Aryanto merupakan rekanan untuk proyek di Dinas Pendidikan kabupaten Kutai Timur senilai Rp 40 miliar.
Advertisement
Sederet OTT di Era Firli
Sebelum menangkap Bupati Kutai Timur Ismunandar, KPK di era Firli sudah melakukan tiga OTT sebelumnya.
Pada 20 Mei 2020 lalu, KPK menjaring seorang pejabat Universitas Negeri Jakarta ( UNJ) berinisial Dwi Achmad Noor saat operasi tangkap tangan di lingkungan Kemendikbud.
Penangkapan tersebut bermula dari informasi pihak Inspektorat Jenderal Kemendikbud terkait penyerahan sejumlah uang yang diduga dari Rektor UNJ, Komaruddin. Namun, seiring berjalannya waktu, kasus tersebut dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.
Kemudian pada 8-9 Januari 2020 KPK mengamankan 8 orang di Jakarta, Depok dan Banyumas terkait kasus suap penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024. Dalam OTT kala itu, KPK juga menjaring Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Kasus tersebut juga melibatkan politikus PDIP Harun Masiku yang saat ini masih buron.
OTT tersebut menjadi polemik lantaran salah satu tersangka, Harun Masiku berhasil melarikan diri dan menjadi buron hingga saat ini.
Lalu pada 7 Januari 2020 lalu, KPK juga menjaring Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dalam operasi tangkap tangan. KPK juga menyita uang Rp 1,8 miliar dalam OTT tersebut.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan operasi tangkap tangan itu berawal dari adanya informasi akan adanya transaksi suap mengenai proyek infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo.
Setelah memastikan informasi itu, tim bergerak ke Pendopo Bupati Sidoarjo dan menangkap tiga orang pihak swasta bernama Ibnu Ghopur, Totok Sumedi, dan Iwan pada pukul 18.18 WIB.
Juru Bicara KPK Ali Fikri pun menjelaskan bahwa selama 6 bulan KPK dipimpin oleh Firli Bahuri sudah ada 30 surat perintah penyidikan (sprindik) yang dikeluarkan dengan total 36 tersangka.