Liputan6.com, Jakarta Para dokter mengatakan bahwa kebiasaan merokok menjadi salah satu faktor risiko dari tingginya angka penyakit tidak menular di Indonesia.
Dalam bincang-bincang di Grahan BNPB, Jakarta ditulis Minggu (5/7/2020), dokter spesialis penyakit dalam Eka Ginanjar mengatakan bahwa banyak orang yang baru berhenti merokok ketika dirinya sudah mengalami gejala penyakit.
Advertisement
"Banyak pasien saya yang berhenti merokok ketika sudah mengalami nyeri dada, ketika stroke. Jadi berhentinya itu ketika sakit," kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) tersebut.
Eka mengatakan, perokok umumnya memang tidak akan langsung mengalami sakit dari aktivitasnya tersebut.
"Merokok tidak langsung mati tapi dengan merokok setiap hari dia tumpuk racun-racun dari rokok baru akan menerima getahnya 15 hingga 20 tahun kemudian," ujarnya.
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
Perokok Usia Muda
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan bahwa tren peningkatan penyakit tidak menular juga dipengaruhi meningkatnya faktor gaya hidup yang buruk serta jumlah perokok di usia muda.
"Kita mendapat julukan negara dengan 'baby smoker countries' di mana ada usia yang paling muda itu 2,5 tahun itu merokok," kata Direktur Pencegahan dan Penyakit Tidak Menular Kemenkes Cut Putri Arianie dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, lingkungan juga berpengaruh pada kebiasaan merokok di usia muda. Ia menambahkan, saat ini angka penyakit tidak menular di usia anak juga bertambah.
Kalau dulu kan ini anggapannya hanya pada orang tua, tapi sekarang mulai trennya naik pada usia 10 sampai 14 tahun," katanya.
"Kita kan sebentar lagi mau menghadapi bonus demografi, itu yang kita harapkan adalah pada saat itu, di usia-usia produktif tidak hanya cerdas secara akademis tapi juga sehat." Menurutnya, dengan manusia yang sehat, maka seseorang akan memiliki modal agar dirinya bisa produktif.
Advertisement