Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 akan terkontraksi hingga -6 persen. Prediksi ini merosot tajam jika dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 yang sebesar 2,97 persen.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negatif adalah risiko yang harus hadapi semua negara di dunia.
Advertisement
“Sebaiknya kita harus semakin semangat mengupayakan segala hal agar negative growth itu tidak terjadi di sepanjang 2020, sebisa mungkin dibatasi hanya di satu kuartal saja, misalnya Kuartal II yang saat ini berisiko tinggi mengalami negative growth,” kata Shinta kepada Liputan6.com, Minggu (5/7/2020).
Diharapkan pada kuartal-kuartal berikutnya, seluruh pihak bisa memacu produktifitas, agresif mengundang investasi, menyalurkan stimulus, memperlancar logistik pendukung perdagangan dalam dan luar negeri, memastikan kelancaran pasokan barang ke seluruh Indonesia, dan memastikan penurunan penyebaran wabah dengan meningkatkan efektifitas upaya-upaya pengendalian wabah di tingkat daerah dan nasional.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa pertumbuhan ekonomi negatif akan mempengaruhi semua pelaku ekonomi. Bukan hanya pelaku usaha tapi juga masyarakat luas. Artinya, tidak ada yang tidak terdampak.
Justru UMKM, masyarakat kelas menengah bawah dan sektor informal akan lebih tertekan, karena kapabilitas mereka untuk menciptakan likuiditas untuk bertahan sangat terbatas.
“Untuk sektor ekonomi formal, hampir semua sudah terdampak negatif dan ini sudah terlihat pada laporan Kuartal I 2020, di mana 4 sektor ekonomi penyumbang GDP terbesar Indonesia (manufaktur, perdagangan, agrikultur dan konstruksi) semuanya mengalami kontraksi kinerja secara signifikan,” kata dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Ubah Iklim Usaha
Kata Shinta, apabila kita tidak ingin kontraksi ini terus berlanjut, pemerintah harus aktif memperlancar distribusi stimulus kepada pelaku usaha yang membutuhkan, khususnya UMKM dan sektor padat karya, agar tingkat PHK tidak bertambah, perusahaan bisa terus bergerak, dan kegiatan ekonomi tidak stagnan.
Di sisi lain, ia menambahkan bahwa pemerintah juga harus mengubah iklim usaha dan investasi nasional menjadi lebih efisien, lebih mudah dan ramah investasi serta memiliki level business certainty atau kepastian bisnis yang lebih tinggi.
“Agar perusahaan-perusahaan yang sudah kesulitan modal tidak terbebani, dengan regulasi dan perusahaan-perusahaan asing juga tertarik untuk berinvestasi di Indonesia, dan menciptakan lapangan kerja bagi pekerja-pekerja yang di-PHK sepanjang covid-19,” pungkasnya.
Advertisement
Kadin Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Minus 6 Persen di Kuartal II 2020
Sebelumnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2020 akan terkontraksi hingga -6 persen. Prediksi ini merosot tajam jika dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 yang sebesar 2,97 persen.
Demikian diungkapkan Ketua Kadin Rosan P Roeslani dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Gita Wiryawan, dalam keterangannya, Sabtu (4/7/2020).
"Kami di Kadin berpendapat bahwasanya akan terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi antara -4 persen sampai -6 persen di kuartal II 2020," kata Rosan P Roeslani.
Apalagi, lanjut dia, mengingat progres stimulus penanganan Covid-19 masih sangat lambat. Penyerapan di berbagai bidang antara lain Kesehatan baru 1,54 persen, perlindungan sosial di 28,63 persen, insentif usaha 6,8 persen, UMKM 0,06 persen, Korporasi 0 persen dan sektoral pada 3,65 persen.
BACA JUGA
"Ini akan membuat tekanan terhadap pemulihan kesehatan, jejaring pengamanan sosial dan perekonomian menjadi lebih berat," lanjut dia.
Menurut Rosan, lemahnya implementasi stimulus tersebut akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III kembali kontraksi di level pertumbuhan negatif sehingga secara teknikal Indonesia masuk dalam fase resesi ekonomi.
Dari sisi perdagangan, surplus yang tercapai di bulan April dan Mei di tahun 2020 dikarenakan penurunan impor (-18.6 persen Year on Year atau YoY di bulan April dan -42,2 persen YoY di bulan Mei) yang lebih tinggi dibandingkan penurunan ekspor (-7 persen YoY di bulan April dan -28.95 persen YoY di bulan Mei).
Mengingat peran golongan bahan baku/penolong yang cukup berarti (sekitar 70 persen) dari total impor sampai akhir Mei tahun ini, diperkirakan produksi dalam negeri untuk kepentingan konsumsi domestik dan ekspor akan terus terdampak untuk beberapa waktu kedepan.