Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dikaruniai kekayaan alam yang sangat luar biasa. Salah satu hasil dari kekayaan alam Indonesia adalah tanaman obatnya. Dari 45 ribu jenis tanaman obat di dunia sekitar 35 ribu tumbuh di Indonesia.
Sehingga tidak heran jika banyak penelitian dari pihak luar maupun dalam negeri dilakukan disini, khususnya yang terkait dengan penyakit dan obat-obatan berupa jamu atau obat herbal, termasuk jamu dan obat herbal yang memiliki potensi antivirus.
Namun sayangnya, dari ribuan jamu atau obat herbal yang beredar hanya memiliki izin P-IRT (Produk Industri Rumah Tangga) dan sebagian kecil memiliki izin dari BPOM, itupun masih kategori Jamu ataupun Obat Herbal Terstandar (OHT). Dimana produk Jamu dan OHT tersebut belum bisa diresepkan oleh dokter sebagai obat medis sehingga diperlukan penelitian dan uji klinis yang komprehensif agar produk Jamu/Obat Herbal dapat diterima sebagai obat medis berkategori Fitofarmaka.
Baca Juga
Advertisement
Fitofarmaka sendiri merupakan obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui proses uji klinis. Dengan kekayaan alam yang luar biasa ini, sayangnya Indonesia hanya memiliki 24 fitofarmaka yang terdaftar di BPOM. Sedangkan negara yang berhasil menciptakan banyak fitofarmaka yaitu negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman.
Direktur PT Bio Teknologi Indonesia, Setya Dwi Haryanto, mengatakan, mahalnya biaya uji klinis fitofarmaka menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan industri obat herbal.
"Fitofarmaka memang harus uji klinis berdasarkan standar WHO. Biayanya memang mahal, bisa mencapai Rp 6 miliar, kita mau jual produk seharga berapa kalau uji klinisnya saja mencapai Rp. 6 miliar dan butuh waktu yang lama," terangnya di Malang, belum lama ini.
Setya juga menjelaskan bahwa banyak pelaku industri jamu dan obat herbal yang telah mengeluarkan produk yang memiliki potensi antivirus. Salah satunya adalah produk yang dirilis oleh PT Bio Teknologi Indonesia yaitu Fit-O, suplemen kesehatan untuk memperkuat imunitas tubuh, yang meski telah mengantongi izin edar dari BPOM, pihaknya mengaku tetap memiliki kesulitan untuk mendapat kategori fitofarmaka.
“Selain biayanya yang tinggi, perlu waktu yang lama untuk memperoleh kategori fitofarmaka agar bisa diresepkan oleh dokter, padahal dalam sebulan terakhir ini Fit-O sudah banyak digunakan di kota Malang dan terbukti menyembuhkan puluhan pasien positif Covid-19” ujar Setya.
Pernyataan itu juga diamini oleh Walikota Malang, Sutiaji yang mengatakan Fit-O telah digunakan di kota Malang dalam 3 minggu terakhir ini dan puluhan pasien positif dinyatakan telah sembuh. Meski demikian pihaknya mengakui tidak mudah memberikan Fit-O ke Rumah Sakit di Malang karena Fit-O belum termasuk kategori fitofarmaka. Hal ini juga disampaikannya dalam rapat terbatas dengan Dewan Ketahanan Nasional pada 7 Juli 2020.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah melalui Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional mengumumkan bahwa pemerintah akan mendukung terwujudnya solusi terstruktur akselerasi prosedur uji klinis produk Jamu dan Obat Herbal Terstandar (OHT) menjadi kategori fitofarmaka melalui pengoptimalan potensi untuk penanganan Covid-19.
Penyederhanaan tahapan uji klinis dan penguatan fasilitasi dari pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya guna penanganan krisis pandemi Covid-19.
Walikota Malang, Sutiaji dalam rapat tersebut mengatakan, memberikan apresiasi kepada Jokowi yang mempunyai program percepatan prosedural dan subsidi biaya uji klinis agar produk asli Indonesia yang memang terbukti dapat menyembuhkan pasien Covid-19 ini benar-benar bisa masuk ke dalam kategori fitofarmaka dan selanjutnya dapat digunakan di Rumah Sakit secara legal.
Direktur PT Bio Teknologi Indonesia, Setya Dwi Haryanto kemudian mengatakan, pihaknya juga akan merilis Minyak SW Sumber Waras yang memiliki fungsi yang disebutnya dengan AirBiotics, yaitu probiotik yang diuapkan ke udara yang berfungsi untuk membersihkan udara di ruangan dari berbagai virus, termasuk virus corona.