Jakarta - Dalam perjalanannya sejak 1934, Timnas Indonesia dihuni begitu banyak pemain istimewa. Tak terkecuali di posisi penjaga gawang. Peran penting dewa pelindung gawang tim menjadi sangat vital. Timnas Indonesia kerap dihuni kiper-kiper berkemampuan bagus, bahkan hingga yang menjadi legenda.
Belakangan ini, posisi kiper Timnas Indonesia dihuni oleh Andritany Ardhiyasa yang memang cemerlang bersama Persija Jakarta. Selain itu ada juga Awan Setho dan Nadeo Argawinata yang potensial sebagai kiper masa depan Timnas Indonesia.
Advertisement
Sebelum Andritany menjadi kiper utama Tim Garuda, ada nama Kurnia Meiga Hermansyah yang tampil apik mulai dari Timnas Indonesia U-23 hingga senior. Namun, permasalahan kesehatan membuatnya harus menepi dari lapangan hijau yang akhirnya memberikan kesempatan kepada Andritany untuk menjadi andalan.
Dalam satu dekade terakhir memang hanya sedikit kiper yang mampu tampil mengawal Timnas Indonesia secara reguler, di antaranya adalah Markus Horison di Piala AFF 2010, Kurnia Meiga sebagai penerusnya hingga Piala AFF 2016, dan kini Andritany Ardhiyasa.
Namun, bukan berarti tak ada kiper lain yang berkualitas. Sejumlah penjaga gawang lain, seperti Muhammad Ridho, Wawan Hendrawan, Made Wirawan, dan Teja Paku Alam juga mampu memperlihatkan performa bagus meski tak mendapatkan menit bermain yang cukup di tim nasional.
Harus diakui sangat sulit untuk bisa menjadi kiper legendaris, termasuk di Timnas Indonesia. Selain karena posisi tersebut hanya satu-satunya di dalam tim ketika bertanding, kemampuan membantu tim terhindar dari kekalahan dengan penyelamatan menjadi sangat penting.
Kali ini Bola.com mengulas kiper-kiper Timnas Indonesia yang layak mendapatkan label legendaris, baik karena kemampuan maupun prestasinya bersama Tim Garuda.
Video
Maulwi Saelan
Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1928, Maulwi Saelan adalah pemain sepak bola legendaris Tanah Air. Ia saksi hidup saat Timnas Indonesia berlaga di Olimpiade 1956 Melbourne, Australia.
Langkah Tim Merah-Putih terhenti di perempat final melawan Uni Soviet. Pertandingan ini berjalan dramatis. Skor 0-0, meski sudah ada perpanjangan waktu 2X15 menit. Kala itu aturannya jika pertandingan berakhir seri, pertandingan harus diulang sehari sesudahnya. Pada laga ulangan Indonesia menyerah 0-4.
"Saat itu sama sekali tidak ada yang menghitung Indonesia akan bisa merepotkan Uni Soviet. Kami dianggap tim kemarin sore. Nyatanya kami membuat mata publik terbelalak. Harus diakui tingginya jam terbang uji coba internasional yang dijalani Timnas Indonesia ikut mendongkrak kepercayaan diri para pemain. Sebelum tampil di Olimpiade kami sempat menggelar tur Eropa Timur," cerita Maulwi Saelan.
Kiprah memesona Maulwi Saelan terdengar hingga telinga Presiden RI, Soekarno. Bersama skuat Tim Merah-Putih, sang kiper diundang ke Istana Negara.
Selain, menjadi pemain timnas, Maulwi juga sempat menjadi Ketua Umum PSSI periode tahun 1964-1968.
Advertisement
Ronny Pasla
Penjaga gawang kelahiran Medan, 15 April 1947 adalah kiper Indonesia yang berkiprah pada medio 1960an hingga awal 1970. Ia punya julukan Macan Tutul.
Dengan tinggi badan 183 cm, Ronny ketika masih aktif bermain dikenal tangguh menghalau bola-bola atas. Ia disebut-sebut memiliki kemampuan dan kelenturan badan setara kiper legendaris Uni Soviet, Lev Yashin.
Saat Timnas Brasil melakoni tur ke Asia pada 1972, Tim Samba yang saat itu diperkuat pesepak bola legendaris dunia, Pele, mampir ke Indonesia. Dalam laga persahabatan tersebut Indonesia kalah 1-2, tapi tetap menjadi momen terindah bagi Ronny, karena berhasil menahan eksekusi penalti Pele.
Prestasi yang dicetak Ronny bersama Timnas Indonesia tidak sedikit, di antaranya juara Piala Agakhan di Bangladesh pada 1967, kemudian juara Merdeka Games pada tahun yang sama, peringkat ketiga Saigon Cup 1970, dan menjadi juara Pesta Sukan Singapura pada 1972.
Tidak heran, posisi inti di Timnas Indonesia tak tergantikan sejak 1966 hingga ia memutuskan pensiun membela negara pada usia 38 tahun. Ronny pensiun total pada usia 40 tahun.
Klub terakhir yang dibelanya adalah Indonesia Muda. Setelah pensiun ia lebih banyak menggumuli olah raga tenis lapangan sebagai pelatih. Bahkan dia memiliki sekolah tenis lapangan bernama Velodrom Tennis School di Jakarta.
Yudo Hadianto
Menahan serbuan pemain-pemain klub luar negeri semisal Leeds United (Inggris), Benfica (Portugal), dan Dynamo Moskwa dari Rusia, adalah pengalaman paling berkesan bagi Yudo Hadianto saat masih aktif menjadi penjaga gawang Timnas Indonesia.
"Pada era saya banyak klub-klub luar negeri yang menyambangi Indonesia. Kedatangan mereka membuat permainan Timnas Indonesia kian matang. Jangan heran saat tampil di berbagai turnamen internasional, negara kita kerap jadi batu sandungan tim top," kenang Yudo.
Yudo adalah penjaga gawang legendaris yang dimiliki negeri ini. Pecinta sepak bola pada 1960 hingga 1970an pasti mengenal sosok kerempeng khas Yudo. Saat masih berjaya, Yudo dikenal sebagai penjaga gawang yang tenang, tapi tetap tangkas menyambut datangnya bola.
Kiprah bersama UMS pula yang membawa Yudo masuk skuad Tim Merah-Putih. Kala itu, pelatih asing Tony Pogacnik yang menangani Timnas Indonesia memanggil Yudo untuk masuk timnas yunior pada 1961.
Yudo pun tampil di Kejuaraan yunior Asia. Selanjutnya, status kiper timnas selalu di sandang Yudo. Ia tampil menjaga gawang Timnas Indonesia dalam sederet ajang internasional. Seperti misalnya juara Merdeka Games (1962, 1969, 1974), King’s Cup Thailand (1978), Aga Khan Cup Bangladesh (1978).
Namanya tercatat sebagai pelatih kiper Timnas Indonesia Futsal periode 2004-2007.
"Pada prinsipnya melatih kiper sepak bola dan futsal sama. Refleks dan kemampuan teknik jadi pegangan utama. Bekal pengalaman yang saya punya saya bagikan turun menurun kepada para pemain muda," ucap Yudo yang kelahiran Solo, Solo, Jawa Tengah, 19 September 1941 itu.
Advertisement
Eddy Harto
Eddy Harto jadi aktor kunci kesuksesan Timnas Indonesia meraih medali emas cabang sepak bola di SEA Games 1991. Pencapaian yang belum bisa diulang hingga kini.
Berada di bawah mistar gawang, Eddy memberikan rasa nyaman bagi rekan-rekannya. Timnas Indonesia tampil trengginas sejak fase penyisihan dengan melibas Malaysia 2-0, Vietnam 1-0, dan Filipina 2-1.
Dalam partai semifinal, Indonesia mengalahkan Singapura, yang diperkuat David Lee dan Fandy Ahmad, dengan skor 4-2 melalui babak adu penalti, dan mempermalukan Thailand, yang diperkuat Natee Thongsookkaew dan Worawoot Srimaka, 4-3 di final, juga melalui adu penalti.
Stadion Rizal Memorial, Manila, jadi saksi keceriaan Eddy, Maman Suryaman, Widodo C. Putro, Ferril Raymond Hattu, Robby Darwis, Aji Santoso, Sudirman, dan Bambang Nurdiansyah.
Banyak pengamat meragukan Timnas Indonesia bisa sukses di SEA Games 1991, mengingat skuat Garuda didominasi banyak pemain bau kencur usia 20-22 tahun. Pelatih Anatoli Polosin layak diacungi jempol.
Pelatih berkarakter keras dan disiplin berkebangsaan Uni Soviet tersebut yang membentuk karakter permainan Indonesia jadi tim yang solid. Pada dua bulan pertama pemusatan latihan jelang SEA Games 1991, Timnas Indonesia cuma dilatih menempa fisik di pinggir pantai dan kolam renang oleh Polosin, tanpa memainkan bola.
Beberapa pemain yang bingung dengan metode kepelatihan Anatoli Polosin tersebut kabur dari pemusatan latihan. Beberapa pemain timnas yang kabur mengatakan bahwa mereka tak pernah dilatih menendang bola, cuma disuruh gendong-gendongan di pinggir pantai dan kolam.
"Saya hampir menyerah ikut pelatnas, karena latihan yang digeber Polosin amat berat. Dalam sehari ia menggelar sesi latihan sampai tiga kali, kesemuanya diisi latihan fisik saja. Cerita-cerita pemain muntah atau pingsan bukan barang aneh," papar Eddy Harto, mengenang masa-masa awal dirinya bergabung di Timnas SEA Games 1991.
Eddy merasakan didikan keras ala Polosin berguna saat dirinya menjadi pelatih. Eddy terhitung sering menjadi pelatih kiper Timnas Indonesia. Di bawah asuhannya Timnas Indonesia U-23 sukses menjadi runner-up SEA Games edisi 2011 dan 2013. Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, 16 Juni 1962, yang menempa dua kiper belia, Kurnia Meiga dan Andritany Ardhiyasa, yang kemudian menjadi langganan Tim Merah-Putih.
Hermansyah
Pada era 1980-an nama Hermansyah begitu dikenal. Ada kesan seolah-olah hanya yang bersangkutan penjaga gawang yang dimiliki Indonesia. Maklum, tiap kali Tim Merah-Putih bertanding, Hermansyah hampir selalu mengawal gawang sebagai pemain utama. Itu terjadi di era 1983 hingga awal 1990.
Saat Hermansyah menjadi kiper utama, Timnas Indonesia nyaris bisa berlaga di Piala Dunia 1986 Meksiko. Sayang, di partai penentuan babak akhir kualifikasi (fase ketiga), Indonesia yang menjadi juara grup 3 B kalah dari Korsel yang juara grup 3 A.
Bermain di Jakarta Timnas Merah Putih kalah 1-3 dan saat melawat ke Korsel Indonesia kalah 0-2. Padahal Timnas Indonesia yang kala itu dilatih Sinyo Aliandoe bisa menggasak Korea Selatan, maka Hermansyah dkk. yang akan berlaga ke Meksiko 1986.
"Menyesakkan jika mengenang kegagalan itu. Kami selangkah lagi lolos ke Piala Dunia. Secara teknik kami tidak kalah dibanding lawan. Hanya ada beberapa hal nonteknis yang mengganggu konsentrasi anggota tim saat itu," ujar Hermansyah.
Satu hal yang membuat Hermansyah awet menghuni Timnas Indonesia adalah kedisiplinan. Kiper kelahiran Sukabumi, 17 Agustus 1963, dikenal pemain yang disiplin tidak neko-neko. Jangan heran jika kariernya sebagai pesepak bola panjang.
Hermansyah di usia gaek membela klub Mastrans Bandung Raya, dan ikut memberikan gelar juara Liga Dunhill 1995-1996 bagi klubnya. Ia dikenal sebagai kiper tangguh, dan spesialis pemblok penalti. Soal urusan penalti Hermansyah sempat dilatih oleh pelatih kiper legendaris asal Brasil, Barbatana.
"Saya belajar banyak dari Barbatana, terutama teknik-teknik dasar menjadi penjaga gawang," ujar Hermansyah yang baru gantung sepatu pada 1999 saat membela klub Persikota.
Advertisement
Kurnia Sandy
Kurnia Sandy merupakan jebolan PSSI Primavera yang sempat mendapatkan kesempatan untuk berseragam Sampdoria. Bicara soal Timnas Indonesia, Kurnia Sandy merupakan penerus dari Hermansyah.
Dari catatan yang ditemukan Bola.com, Kurnia Sandy mengemas 24 penampilan bersama Tim Garuda selama tiga tahun, mulai 1995 hingga 1998. Ia menjadi kiper Tim Merah Putih di Piala Tiger dan Piala Asia 1996.
Kemudian ia membantu Tim Garuda meraih medali perak SEA Games 1997 dan mendapat kesempatan terakhirnya di Piala Tiger 1998.
Sementara di level klub, Kurnia Sandy membantu Arema menjadi juara Divisi 1 2004 dan menjuarai Copa Indonesia 2005 dan 2006. Ia juga tampil di Liga Champions Asia 2007 bersama Persik Kediri.
Kini Kurnia Sandy aktif sebagai pelatih kiper. Bahkan ia sempat membimbing kiper-kiper muda Tim Garuda ketika Piala AFF 2018.
Hendro Kartiko
Hendro Kartiko juga menjadi penjaga gawang terbaik yang pernah dimiliki Timnas Indonesia. Hanya satu musim menjadi pemain profesional dengan berseragam Mitra Surabaya pada 1995, Hendro sudah menjadi bagian dari Timnas Indonesia di Piala Asia 1996 di Uni Emirat Arab.
Ia mendapatkan debut menggantikan Kurnia Sandy dalam laga kontra Kuwait di laga perdana Grup A, 4 Desember 1996. Setelah Kurnia Sandy meninggalkan Timnas Indonesia pada 1998, Hendro Kartiko menjadi kiper utama Tim Garuda di Piala Asia 2000.
Dalam Piala Asia 2000 dan 2004, Hendro secara reguler menjadi kiper nomor satu. Pada dua edisi ini, Hendro selalu menjadi man of the match pada setiap laga perdana Timnas Indonesia.
Pada edisi 2000 yang berlangsung di Lebanon, Hendro lebih matang setelah membawa PSM meraih trofi juara Liga Indonesia 1999-2000 dan 8 besar Liga Champions Asia. Dalam laga perdana melawan Kuwait, 13 Oktober 2000, Hendro tampil baik dengan sejumlah penyelamatan gemilang. Duel berakhir imbang tanpa gol. Setelah pertandingan, panitia pelaksana memilihnya sebagai man of match.
Kejadian ini terulang pada 2004 di China. Begitupun pada laga perdana yang berlangsung di Workers Stadium Beijing, 18 Juli 2004. Indonesia menghadapi Qatar yang baru saja meraih trofi juara Piala Teluk.
Timnas Indonesia yang tak diunggulkan menekuk Qatar 2-1 sekaligus menjadi kemenangan pertama skuat merah putih di Piala Asia. Seperti empat tahun sebelumnya, Hendro kembali meraih penghargaan sebagai man of the match.
Mencatatkan penampilan sebanyak 60 kali, Hendro memang mengawal gawang Timnas Indonesia hingga ajang Piala AFF 2007. Dengan rekor penampilannya, membuat Hendro Kartiko pernah merasakan tiga final Piala AFF, yakni 2000, 2002, dan 2004.
Ketika menjadi Man of the Match pada laga perdana Piala Asia 2000, jurnalis media peliput ajang itu ramai-ramai menulis Hendro Kartiko sebagai Fabien Barthez dari Indonesia.
Seperti diketahui Barthez adalah kiper tim nasional Prancis yang membawa negaranya menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Kebetulan keduanya memiliki persamaan, Hendro dan Barthez sama-sama berkepala plontos.
Disadur dari Bola.com (Benediktus Gerendo Pradigdo)
Baca Juga
Advertisement