Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) angkat bicara mengenai Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan Rachmawati Soekarnoputri terhadap Pasal 3 Ayat 7 PKPU Nomor 5 Tahun 2019. Komisioner KPU Hasyim Asy'ari menyebut Putusan MA Nomor 44/2019 itu tidak mempengaruhi penetapan hasil pemilu 2019.
"Putusan MA 44/2019 tidak berpengaruh terhadap keabsahan penetapan paslon Presiden dan Wapres terpilih hasil Pemilu 2019," kata Hasyim dalam keterangan tertulis, Selasa (7/7/2020),
Advertisement
Hasyim menjelaskan, putusan MK nomor 50 Tahun 2014 adalah Putusan PUU, maka Putusan MK tersebut bersifat erga omnes, artinya berlaku mengikat untuk semua. Karena UU pada dasarnya berlaku mengikat untuk semua, maka Putusan PUU juga bersifat berlaku mengikat untuk semua.
Berbeda dengan putusan MK PHPU sifatnya putusan tersebut hanya berlaku case by case, yaitu putusan hanya berlaku mengikat bagi para pihak yang bersengketa saja.
Berdasarkan hal tersebut, dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) tidak ditentukan secara tekstual norma tentang pilpres dalam situasi diikuti hanya oleh 2 pasangan calon tidak perlu putaran kedua. Namun tetap berlaku norma sebagaimana terdapat dalam Putusan MK PUU 50/2014 dalam situasi yang sama Pilpres 2019 diikuti hanya 2 paslon tidak perlu putaran kedua.
Selain itu, Hasyim menyatakan bahwa azas hukum tidak berlaku surut. Ketentuan (norma) dalam peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut. Putusan Mahkamah Agung nomor 44/2019 adalah pengujian norma dalam PKPU 5/2019.
"Peristiwa hukum penetapan paslon Presiden dan Wapres terpilih hasil Pemilu 2019 dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2019. Putusan MA 44/2019 diregister 14 Mei 2019 dan diputuskan 28 Oktober 2019, karena Putusan Mahkamah Agung tersebut adalah pengujian norma PKPU, maka tidak dapat diberlakukan surut terhadap peristiwa hukum yang telah dilaksanakan," terang dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Gugatan Rachmawati Cs soal PKPU Dikabulkan Sebagian, Ini Pertimbangan MA
Mahkamah Agungmengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Rachmawati Soekarnoputri terkait uji materi terhadap Pasal 3 Ayat 7 PKPU Nomor 5 Tahun 2019. Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017.
Pada pertimbangannya, majelis hakim MA menilai, pasal tersebut diberlakukan tanpa mengindahkan syarat presidential threshold yang diamanatkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang disadur dari UUD 1945. Maka, tidak menutup kemungkinan di pilpres ke depan, calon Presiden/Wakil Presiden hanya akan berfokus memenangkan pemilu di daerah-daerah strategis saja, seperti Pulau Jawa dan beberapa provinsi yang jumlah pemilihnya besar.
"Sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis, namun jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority, yang tentunya justru bertolak belakang dengan maksud dibuatnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang merupakan penjabaran ulang terhadap norma yang terkandung dalam Pasal 6A ayat 3 UUD 1945," demikian bunyi pertimbangan hakim Mahkamah Agung seperti dikutip Liputan6.com, Jakarta, Selasa (7/7/2020).
Selain itu, jika dilakukan penafsiran secara sistematis terhadap PKPU tersebut, khususnya pasal yang diujikan, maka maknanya dapat dipahami ketentuan ini berlaku untuk segala kondisi. Temasuk, jika pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan.
Adapun, ketentuan memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, adalah syarat yang logis dalam kontestasi Pilpres di negara Indonesia yang kondisi demografisnya merupakan negara kepulauan yang terbagi 34 provinsi, dengan sebaran populasi penduduk setiap provinsinya tidak proporsional dengan beragam latar belakangnya, baik daerah/wilayah, suku, agama, dan budaya.
"Syarat tersebut, tidaklah menjadi sebuah syarat yang sulit untuk terpenuhi manakala kontestasi Pilpres hanya dikuti dua pasangan calon, ketentuan tersebut telah dirumuskan dengan baik oleh pembentuk konstitusi dan Undang- Undang Pemilihan Umum sehingga syarat perolehan suara (Presidential threshold) tersebut tidak perlu direduksi pada rumusan ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum objek Hak Uji Materiil a quo," jelas hakim.
"Karena apabila salah satu pasangan calon Pilpres memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara nasional, ketentuan untuk memperoleh suara sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia adalah akan juga bakal dengan sendirinya terpenuhi, bilamana syarat pasangan Capres/Cawapres tersebut berkampanye merata tersebar di semua provinsi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," lanjut hakim Mahkamah Agung soal uji materi Pasal 3 ayat 7 PKPU No 5/2019.
Dinilainya, syarat-syarat tersebut akan saling melengkapi, sehingga menunjukkan Presiden terpilih nantinya akan mencerminkan Presiden NKRI yang mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat pemilih dalam pemilihan umum baik dalam bentuk kuantitas maupun dukungan yang tersebar di setiap provinsi.
"(Pasal 3 Ayat 7 PKPU) secara jelas, menghilangkan syarat Presidential threshold sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia. Oleh karenanya norma Ketentuan tersebut tidak mempedomani norma ketentuandi atasnya, yakni pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945," demikian seperti dikutip.
Advertisement