Menciduk Wae Sadong, Mata Air Beraroma Mistis di Manggarai Timur

Wae Sadong merupakan salah satu destinasi wisata budaya baru di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Mata air berbentuk gong ini terletak di Desa Ranakolong, Kecamatan Kota Komba persis di hutan Suka.

oleh Ola Keda diperbarui 10 Jul 2020, 06:00 WIB
Foto. : Mata air Wae Sadong merupakan salah satu destinasi wisata budaya baru di Kabupaten Manggarai Timur, NTT (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang - Wae Sadong merupakan salah satu destinasi wisata budaya baru di Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Mata air berbentuk gong ini terletak di Desa Ranakolong, Kecamatan Kota Komba persis di hutan Suka.

Untuk mengunjungi lokasi mistis yang menjadi peradaban suku terbesar masyarakat di wilayah Kota Komba bagian selatan ini, pengunjung hanya menempuh perjalanan selama dua jam dari Kota Borong.

Nardi Jaya (27), generasi tertua Suku Suka, mengungkapkan, Wae Sadong merupakan salah satu bukti nyata peradaban Suku Suka yang masih terlihat.

"Saya pernah mendengar cerita asal-usul suku suka, yang dituturkan oleh tua-tua adat kalau Wae Sadong ini merupakan salah satu peninggalan moyang kami. Selalu ada ritual adat saat kami mengujungi tempat ini," ujarnya kepada wartawan, Senin (6/7/2020).

Menurutnya, selain memiliki air yang jernih, kolam berbentuk gong itu terlihat tenang dan airnya tetap ada saat musim kemarau. Dalam entitas budaya Manggarai Raya, air (wae teku) merupakan salah satu dari lima filosofi sebuah peradaban.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:


Cerita Mistis

Air yang muncul dari sela-sela batu cadas tersebut konon menyimpan cerita mistis. Banyak kejadian aneh yang dirasakan oleh orang-orang baru yang berkunjung ke sana jika tidak mematuhi larangan-larangan tertentu.

Menurut Mateus Anis (65), warga setempat, Wae Sadong merupakan kolam air yang dijadikan untuk memenuhi kebutuhan sejak zaman nenek moyang dulu. Mata air ini diyakni berpenghuni.

"Ketika ada pengunjung yang tidak menghargai atau berbuat ulah di sana, pasti ada teguran gaib," tuturnya.

"Nenek moyang zaman dulu mengambil air dari kolam kecil itu menggunakan tempurung kelapa sebagai alat timba. Tempurung itu tidak bisa dibawa pulang, kalaupun dibawa pulang maka siap menanggung risiko," dia menambahkan.

Hingga kini, warga setempat dilarang mengambil air di kolam tersebut menggunakan wadah lain selain tempurung kelapa. Warga meyakini, akan ada hukuman jika larangan itu dilanggar.

Hal serupa disampaikan Eduardus Ndu (65), warga kampung Mesi. Menurut dia, warga setempat menjadikan kolam Wae Sadong sebagai sumber air andalan kala musim kemerau panjang.

"Airnya jernih dan segar. Ambilnya selalu pakai tempurung kelapa," tutupnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya