Jumlah Korban KDRT Selama Pandemi Corona COVID-19 Meningkat

Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Heather Variava menyampaikan bahwa ada banyak kekerasan yang dialami oleh wanita sebelum dan saat pandemi melanda.

oleh Tanti YulianingsihTeddy Tri Setio Berty diperbarui 09 Jul 2020, 10:32 WIB
Ilustrasi KDRT (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta - Kedutaan Besar Amerika Serikat bersama @America menyelenggarakan diskusi secara virtual dengan tema "Not All Houses Are Homes".

Diskusi hari ini membahas soal kekerasan yang terjadi di rumah selama masa pandemi Corona COVID-19, terutama yang terjadi pada perempuan.

Dalam pembukaan acara, Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Heather Variava menyampaikan bahwa ada banyak kekerasan yang dialami oleh wanita sebelum dan saat pandemi melanda.

"Kekerasan yang dimaksud bisa berbentuk fisik, mental, seksual atau tindakan lainnya. Semua orang bisa menjadi korban di kekerasan dalam rumah tangga. Kebanyakan dari mereka yang menjadi korban adalah perempuan," ujar Heather Variava pada Rabu (8/7/2020) malam.

"Hal ini baik kita bahas lantaran kasus ini menunjukkan peningkatan di seluruh dunia, terutama di masa pandemi ini. Ini adalah isu yang melanda seluruh negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia."

Pada kesempatan tersebut, Heather Variava juga menyampaikan laporan tahunan dari Komisi Perlindungan Perempuan yang menyatakan bahwa lebih dari 430.000 menjadi objek kekerasan tahun 2019.

"Sementera itu, aktivis perempuan di Indonesia memperkirakan bahwa kasus ini yang hanya dilaporkan. Ini bisa lebih banyak 10 kali lipat," ujar Heather Variava.

Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara yaitu, Nicolle Littrell yang merupakan advokat Kekerasan Rumah Tangga dan Perlindungan Anak dari Organisasi Nirlaba asal AS bernama New Hope for Women.

Ada pula Psikolog Klinis dari Binus University International, Wulan Danoekoesoemo dan Penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga Alison Belyea.

Wulan Danoekoesoemo turut menyampaikan laporan dari Komisi Perlindungan Perempuan yang baru saja dirilis bulan lalu, bahwa wanita berpenghasilan rendah (di bawah Rp 5 juta per bulan) dan bekerja di sektor informal antara umur 31 hingga 40 tahun, bekerja, memiliki lebih dari tiga anak, dan tinggal di 10 provinsi dengan jumlah penyebaran Corona COVID-19 tertinggi di Indonesia lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

"Kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa kekerasan yang dialami berupa fisik dan seksual akibat permasalahan ekonomi dalam keluarga," ujar Wulan Danoekoesoemo.

"Namun sayangnya, seluruh responden yang mengalami kekerasan ini hanya 10 persen yang melaporkan ke pihak berwajib. Alasannya karena mereka tidak memiliki akses untuk melakukan pelaporan," tambahnya.

Sementara itu, Nicole Littrell menyebut bahwa kekerasan dalam rumah tanggal ini merupakan global issue.

"Banyangkan, satu dari tiga perempuan di dunia mengalami intimidasi dari pasangan mereka. Atau bahkan pengalaman kekerasan itu mereka alami dari keluarga sendiri," ujar Nicole Littrell.

"Di Amerika Serikat, saya bisa katakan dalam satu dari empat perempuan dan satu dari tujuh atau sembilan pria pernah mengalami intimidasi dari pasangan mereka dan juga kekerasan dalam rumah tangga."

"Saya rasa ini penting untuk disampaikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya telah jauh terjadi sebelum pandemi Corona COVID-19."

Nicole Littrell menyampaikan bahwa di Amerika Serikat, kekerasan dalam rumah tangga itu terkesan sebagai bentuk kekuatan dan kontrol. Banyak dari korban memilih tidak melakukan apa-apa, malah bertahan sebagai bentuk keamanan dirinya sendiri.

Simak video pilihan berikut:


Penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Buat Kampanye

kdrt-kekerasan-rumah-tangga-130634-b.jpg

Dalam diskusi ini hadir pula Alison Russell, yang merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga dan juga pendiri sebuah kampanye anti-kekerasan di Amerika Serikat.

"Kampanye yang saya dan teman-teman lakukan yaitu mengajak banyak orang bersuara pada isu ini," ujar Alison Russell.

"Dan kampanye ini kami beri nama Banner Campaign. Yang kami lakukan mengajak banyak korban kekerasan agar tidak terbelenggu dalam bayangan itu dan menemukan jalannya serta merasa tidak malu lagi lantaran kekerasan itu pernah terjadi pada dirimu," tambahnya.

"Sejauh ini respons sangat baik. Banyak pelaku bisnis yang menerima para korban kekerasan dalam bekerja. Tujuannya yaitu agar para korban bisa diterima dan didukung."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya