HEADLINE: Akhir Pelarian Pembobol BNI Maria Lumowa, Bagaimana Jejak Kasusnya?

Kunci keberhasilan penegakan hukum pada kemauan dan integritas para pelaksananya. Sedangkan cara dan tekniknya bisa dicari.

oleh RinaldoMuhammad Radityo PriyasmoroYopi Makdori diperbarui 10 Jul 2020, 14:16 WIB
17 Tahun Buron, Pembobol Bank BNI Maria Pauline Lumowa Tiba di Tanah Air (Foto: Kemenkumham)

Liputan6.com, Jakarta - Keberuntungan tak lagi berpihak kepada Maria Pauline Lumowa. Setelah 17 tahun bisa berkelit dari kejaran aparat penegak hukum, pelariannya berakhir di Serbia. Dari negara pecahan bekas Yugoslavia itu, Maria akhirnya dipulangkan dan tiba di Tanah Air untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Lantas, apa yang akan dilakukan sekarang? Yang pasti, tentu saja membawa Maria ke depan meja hijau, sebagaimana telah dilakukan terhadap belasan orang dalam kasus yang sama. Di mana, sebagian besar mereka saat ini telah selesai menjalani hukuman.

Selain itu, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Dr Mudzakir punya pandangan lain. Tak hanya fokus pada Maria, aparat penegak hukum menurutnya juga harus melacak orang-orang di balik pelarian Maria.

"Penting saat buronan itu ditangkap, maka dikaji dulu, disidik dulu, siapa yang bertanggung jawab untuk melepaskan buronan ini pada saat dia ke luar negeri. Dengan penangkapan ini bisa dibuka siapa yang terlibat dalam proses pelarian itu," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (9/7/2020).

Menurut dia, hal ini penting untuk dilakukan sebagai peringatan bagi aparat penegak hukum lainnya agar tidak melakukan hal yang sama. Apalagi saat ini banyak kasus-kasus besar sedang disidik kepolisian dan kejaksaan, yang bukan tak mungkin tersangkanya punya niat untuk melarikan diri, tentu saja dengan bantuan orang dalam.

"Jadi penelusuran tentang siapa orang yang meloloskan buronan ini penting. Kemudian pecat dia dari jabatannya dalam posisi di mana dia bekerja. Mereka tak bisa dipercaya mengamankan negara," tegas Mudzakir.

Mengingat berbahaya dan jahatnya perilaku aparat yang membantu pelarian para buronan, dia menyarankan tak ada toleransi bagi perilaku seperti itu di tubuh aparat negara, khususnya aparat penegak hukum.

"Jadi saya duga ini tersistematis dan ada yang bertanggung jawab atas suksesnya pelarian para buron ini ke luar negeri. Jangan ada toleransi terhadap orang yang berkhianat pada negara," ujar Mudzakir.

Dia menyamakan pelarian Maria Lumowa dengan Djoko Tjandra yang diyakini sama-sama punya 'sponsor' di kalangan aparat.

"Kita buka siapa pejabatnya, siapa yang menjadi eksekutor aksi kabur para buronan ini. Karena kalau ini tidak dibongkar akan ada buronan besar yang akan lari ke luar lagi," dia menandaskan.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji, melihat penahanan Maria Lumowa melalui jalur ekstradisi merupakan hasil kerja sama hukum dan politik antara Indonesia dan Serbia yang cukup baik dan membuahkan hasil positif bagi kedua negara. 

"Selama 17 tahun dia melarikan diri dan menetap di negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi atau mutual legal assistance (MLA) on criminal matters dengan Indonesia, sehingga jelas tidak terjangkau dari aparat penegak hukum Indonesia," ujar Indriyanto kepada Liputan6.com, Kamis (9/7/2020)

Karena itu, dia mendukung dilakukannya peningkatan kerja sama bilateral aparat penegak hukum antarnegara. Dengan adanya kerja sama itu, menurut dia pilihan yang dimiliki para buronan untuk kabur ke luar negeri makin sedikit.

"Seperti melakukan kerja sama perjanjian ekstradisi ataupun pengikatan melalui MLA on criminal matters untuk kerja sama yang sifatnya resiprokasi. Karena hal ini akan mempersempit ruang gerak dinamis para buronan," ujar Indriyanto.

 

Infografis Akhir Pelarian Buronan Pembobol BNI Maria Pauline Lumowa. (Liputan6.com/Trieyasni)

Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto meyakini, penangkapan buronan pelaku pembobolan Bank BNI Maria Pauline Lumowa merupakan pintu masuk bagi pemerintah Indonesia untuk menangkap lebih banyak buronan yang lari ke luar negeri.

"Melihat keberhasilan ini, tentu kita berharap dan punya keyakinan, selama ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah, seharusnya akan lebih banyak lagi DPO atau buronan yang lari ke luar negeri bisa dipulangkan," kata anggota Fraksi Partai Demokrat ini di Jakarta, Kamis (9/7/2020).

Ia menilai langkah dan keberhasilan yang layak diapresiasi karena setelah 17 tahun buronan pembobol BNI itu melarikan diri, akhirnya bisa diekstradisi.

Namun, Didik menilai banyak pekerjaan rumah dari Kemenkumham, khususnya di Ditjen Imigrasi, yang harus diperbaiki.

"Potret buruk terkait dengan kasus Harun Masiku dan Djoko Tjandra semestinya evaluasi mendasar buat perbaikan kinerja dan sistem keimigrasian yang dibangun dengan uang negara," ujarnya.

"Jangan sampai sistem dan basis IT yang dibangun bisa dikelabui penjahat atau lebih jauh lagi, jangan sampai sistem yang ada dijadikan tempat berlindungnya atau menjadi sarana para perencana kejahatan dan penjahat," imbuh Didik.

Menurut dia, kemudahan teknologi harusnya untuk memitigasi dan mencegah segala bentuk manipulasi yang dilakukan orang-orang yang berniat jahat, bukan sebaliknya.

Lebih dari itu, menurut Didik, tantangan dan hal yang paling utama yang harus dilakukan pemerintah ke depan adalah bekerja keras mengembalikan kerugian negara pascaekstradisi melalui upaya dan proses hukum yang hati-hati dan terukur.

Hal senada disampaikan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Aboebakar Al-Habsy. Selain mengapresiasi ekstradisi terhadap Mari Lumowa, dia melihat lolosnya terpidana kasus cessie Bank Bali sebesar Rp 546 miliar Djoko Tjandra sebagai koreksian untuk Menteri Hukum dan HAM.

Dia mengaku heran ketika Djoko Tjandra dikabarkan bisa meninggalkan Indonesia usai membuat KTP elektronik dan pendaftarkan Peninjuan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Kuasa hukum Djoko Tjandra mengungkap saat ini buronan Kejaksaan Agung itu sudah berada di Malaysia. Sedangkan Dirjen Imigrasi tidak merekam perlintasan masuk dan keluarnya Djoko Tjandra, ini kan aneh. Ada apa sebenarnya dengan Imigrasi kita. Jangan sampai negara bisa dibuat mainan sama orang-orang yang tak bertanggung jawab," tegas Aboebakar kepada Liputan6.com, Kamis (9/7/2020) malam.

Dia menekankan, ketika seseorang memutuskan untuk pergi ke negara lain maka dia akan melewati perlintasan. Sementara, lembaga yang punya kewenangan mengawasi perlintasan negara ini adalah Ditjen Imigrasi yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM,

"Saya rasa Menteri Hukum dan HAM perlu mengevaluasi sistem perlintasan kita. Jika sistemnya tak bermasalah, maka yang bermasalah sebenarnya pelaksana di lapangan," ujar Aboebakar.

Dia menegaskan, kunci keberhasilan penegakan hukum pada kemauan dan integritas para pelaksananya. Sedangkan cara dan tekniknya bisa dicari. Dia mencontohkan proses yang terjadi pada pemulangan Maria Lumowa.

Meskipun kita belum ada MLA dengan Serbia, yang secara teori mustahil melakukan pemulangan, faktanya hal itu bisa dilakukan," Aboebakar menandaskan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Mereka yang Terseret Kasus Maria

Maria Pauline Lumowa (berbaju tahanan) yang diekstradisi dari Serbia tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020). Maria Pauline Lumowa merupakan pembobol kas BNI Cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,2 triliun pada Oktober 2002 - Juli 2003. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Maria Pauline Lumowa yang akrab dipanggil Erry, sejak memulai pelariannya sudah menyeret banyak nama dan lembaga dalam pusaran kasusnya. Namun demikian, dia tetap saja mengaku tak bersalah dalam kasus pembobolan kredit Bank Negara Indonesia (BNI) senilai Rp 1,7 triliun.

"Saya siap jika diperiksa di sini (Singapura). Saya tidak mencuri uang rakyat Indonesia. Yang mencuri BNI sendiri," kata Maria di lantai lima Hotel Marriott, Singapura, Jumat (12/12/2003) malam.

Seperti dikutip dari Majalah Tempo yang mewawancarinya ketika itu, Maria merasa tidak pernah melakukan penipuan, pencucian uang dan menandatangani L/C, lagi-lagi Maria meminta untuk diperiksa di Singapura saja.

Untuk itu, dia mengutus pengacaranya mengajukan permohonan agar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dilakukan di Singapura. Bahkan, sehari sebelumnya atau Kamis (11/12/2003), Maria sempat bertemu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura lewat pihak ketiga.

Anehnya, Maria tidak tahu siapa pihak ketiga yang mempertemukannya dengan pihak KBRI. Ketika ditanya, apakah pihak kepolisian yang menjadi pihak ketiga, dirinya hanya menjawab, "saya tidak tahu dan tidak mengerti. Kalau dari polisi, saya terima kasih karena saya sudah keburu takut".

Yang jelas, Maria juga membantah inisiatif pertemuan datang dari dirinya. "Saya tidak pernah menghubungi KBRI. Saya yang dihubungi," katanya.

Pertemuan itu dibenarkan pihak KBRI Singapura, namun inisiatif pertemuan disebutkan berasal dari Maria.

"Pertemuan itu atas keinginan Erry yang diatur pihak ketiga. Tempat dan waktunya yang kita sepakati bersama," kata Chalief Akbar, Kepala Bidang Penerangan KBRI Singapura.

Dalam pertemuan yang berlangsung selama sekitar satu jam itu, Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Muhammad Slamet Hidayat meminta Maria segera pulang ke Indonesia untuk menyelesaikan masalah pembobolan kredit BNI dan menyampaikan jaminan keselamatan bagi dirinya setiba di Indonesia.

Sebenarnya, kata Slamet, pada Senin (8/12/2003) Maria sudah mengemas barang-barangnya untuk segera pulang ke Indonesia.

"Tapi ada telepon dan SMS yang bilang supaya jangan pulang," kata Slamet menirukan jawaban Maria. Sejak itu, Maria pun menghilang.

Meski tak pernah menampakkan diri di Indonesia, namanya tetap disebut-sebut lantaran kasusnya masih meninggalkan jejak di Tanah Air.

Kasus ini antara lain sempat menyeret nama mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) TNI Wiranto. Ketika itu, Wiranto tengah mengikuti rangkaian konvensi Partai Golkar untuk menjadi calon presiden di Pemilu 2004.

Adalah Edy Santoso, bekas kepala pelayanan nasabah luar negeri Bank BNI Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang menyebut nama Wiranto. Pengakuan dibuat ketika Edy telah menjadi tersangka dan ditahan atas pemberian kredit dari BNI kepada perusahaan Maria, PT Gramarindo Group.

Lewat tulisan di atas tiga lembar kertas yang ditulis dari ruang tahanan Markas Besar Polri, Edy seperti dilansir Majalah Tempo, mengaku tergiur menyalurkan surat kredit fiktif karena diiming-imingi jabatan direktur Bank BNI jika Wiranto terpilih sebagai presiden.

Pengakuan Edy pada akhir tahun 2003 itu membuat gempar jagat politik nasional. Apalagi bintang Wiranto sedang moncer-moncernya. Dalam prakonvensi Golkar, bekas ajudan Soeharto itu menempati urutan ketiga setelah Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Bahkan ia disebut-sebut saingan terberat Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 2004.

Edy mengaku diiming-imingi jabatan direktur Bank BNI oleh Adrian Waworuntu dan Maria Lumowa. Menurut dia, Adrian dua kali mempertemukannya dengan Wiranto. Pertemuan pertama terjadi di kantor Wiranto di Jalan Teluk Betung, Jakarta Pusat pada Maret 2003. Adapun pertemuan kedua berlangsung di rumah Adrian di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Menurut Edy, dalam pertemuan kedua inilah topik pembicaraan menukik ke masalah pencalonan Wiranto di Pilpres 2004. Saat itu Wiranto mengaku siap menjadi calon presiden. Hanya saja, dia terkendala dana kampanye. Adrian dan Maria, kata Edy, menyanggupi menggalang dana kampanye Wiranto.

Wiranto membantah tuduhan tersebut yang menurutnya bohong belaka dan bagian dari persaingan berebut kursi RI 1. Namun, Wiranto tak membantah pertemuan-pertemuan yang disebutkan Edy. Sebagai capres, ia mengaku bertemu ribuan orang.

Adapun Wiranto mengatakan tidak menerima atau menggunakan dana yang tidak sah untuk menggalang kampanye. "Surat yang dibuat Edy Santoso amat tendensius," kata Wiranto dalam acara jumpa pers di Hotel Sheraton Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada medio November 2003.

Nasib yang lebih tragis dialami Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung. Kasus yang dituduhkan pada Maria membuat dia divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara. Ini merupakan vonis korupsi pertama yang melibatkan jenderal bintang tiga di pengadilan umum.

Suyitno Landung dipidana penjara dan denda sebesar Rp 50 juta karena terbukti korupsi. Dalam putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, Soedarmadji, Suyitno dinyatakan bersalah karena menyalahgunakan jabatannya dengan menerima mobil Nissan X-Trail dari Ishak.

Ishak merupakan konsultan bisnis Adrian Waworuntu yang saat itu juga berstatus tersangka kasus L-C fiktif BNI sebesar Rp 1,7 triliun. Seperti dicatat Liputan6.com, dalam persidangan pada 10 Oktober 2006, majelis hakim menganggap pemberian mobil tersebut berkaitan dengan kedudukan Suyitno saat itu sebagai Wakabareskrim Polri.

Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa sebelumnya yang menuntut Suyitno dengan pidana dua tahun penjara. Vonis terhadap Suyitno diringankan karena majelis hakim menganggap terdakwa kooperatif dalam persidangan dan belum pernah dihukum. Pertimbangan lainya adalah karena Suyitno telah mengabdi di kepolisian selama 34 tahun tanpa sanksi indisipliner.

Suyitno tak sendirian. Sebelumnya, Direktur II Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri tahun 2005, Brigjen Pol Samuel Ismoko dicopot dari jabatannya. Dia dituding melakukan penyalahgunaan wewenang sebagai penyidik kasus pembobolan dana BNI cabang Kebayoran Baru tahun 2003. Dia juga disangka menerima suap Rp 15,5 miliar dari Adrian Waworuntu, sehingga dimajukan ke meja hijau.

Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 September 2006, Ismoko dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi oleh majelis hakim. Dia pun divonis 1 tahun 8 bulan kurungan. Dia juga dihukum membayar denda Rp 50 juta subsidair satu bulan penjara.

Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntutnya tiga tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair enam bulan kurungan.

 


Maria Sang Penutup Cerita

Menkumham Yasonna H Laoly (kanan) dan Menko Polhukam Mahfud MD saat menyampaikan keterangan terkait pemulangan buron Maria Pauline Lumowa di Bandara Soetta, Tangerang, Banten, Kamis (9/7/2020). Maria merupakan pembobol kas BNI Cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,2 triliun. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Setelah kabur selama 17 tahun, Maria Pauline Lumowa akhirnya dibawa kembali ke Tanah Air melalui jalur ekstradisi alias dipulangkan secara paksa. Kementerian Hukum dan HAM memboyong buronan pembobol kredit BNI Rp 1,7 Triliun itu dari Serbia pada Kamis (9/7/2020).

Berdasarkan catatan Kemenkumham, kasus pembobolan ini bermula pada Oktober 2002. Saat itu, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai US$136 juta dan 56 juta euro atau setara Rp1,7 triliun kepada PT Gramarindo Group, perusahaan milik Maria.

Kecurigaan dimulai saat BNI tetap menyetujui jaminan surat kredit (L/C) dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp. Padahal nama-nama itu tak masuk dalam daftar bank

PT BNI yang mulai curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group akhirnya melakukan penyelidikan pada Juni 2003. Mereka menemukan fakta bahwa perusahaan itu tak pernah melakukan ekspor.

BNI pun langsung melaporkan dugaan surat kredit fiktif ke Mabes Polri. Pada Oktober 2003, kepolisian menetapkan Maria sebagai tersangka. Sayangnya, Maria telah lebih dulu hengkang dari Indonesia ke Singapura sebulan sebelumnya.

Belakangan, perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut diketahui berada di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.

Belakangan pula diketahui yang bersangkutan sudah menjadi warga negara Belanda. Kemenkumham mengklaim telah beberapa kali mengajukan ekstradisi ke Pemerintah Belanda pada 2010 dan 2014.

Pemerintah Belanda menolak dua kali permintaan ekstradisi karena Maria telah menjadi warga negara Belanda. Mereka pun malah memberi opsi untuk menyidang Maria di Belanda.

Namun kesempatan Indonesia memboyong Maria terbuka saat NCB Interpol Serbia beraksi. Mereka meringkus Maria di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, 16 Juli 2019.

"Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi," kata Menkumham Yasonna Laoly dalam keterangan tertulis, Kamis (9/7/2020).

Yasonna menyebut Pemerintah Serbia kooperatif dalam proses ekstradisi. Sebab Indonesia membantu Serbia mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah Nikolo Iliev pada tahun 2015.

"Di sisi lain, Pemerintah Serbia juga mendukung penuh permintaan Indonesia berkat hubungan baik yang selama ini dijalin kedua negara," ujar Yasonna.

Bukan tanpa halangan, Menteri Yasonna juga menyebut adanya gangguan saat hendak mengekstradisi Maria dari Serbia. Gangguan yang dimaksud Yasonna yakni upaya hukum dari Maria untuk melepaskan diri serta upaya sebuah negara Eropa yang ingin mencegah ekstradisi terwujud.

"Sempat ada upaya hukum dari Maria Paulina Lumowa untuk melepaskan diri dari proses ekstradisi, juga ada upaya dari salah satu negara Eropa untuk mencegah ekstradisi terwujud," kata Yasonna.

Pemerintah pun seakan berpacu dengan waktu, karena jika tidak segera dibawa ke Indonesia, maka secara hukum Maria Pauline Lumowa harus dilepaskan Pemerintah Serbia tepat setahun berselang yakni 16 Juli 2020.

"Tahun lalu ditangkap oleh Serbia, ditahan di sana, dan Serbia memberitahukan kepada Indonesia. Ini menjadi sangat penting kita kejar sekarang karena 16 Juli yang datang ini secara hukum dia harus dilepas oleh Pemerintah Serbia," ujar Yasonna dalam tayangan televisi nasional, Kamis (9/7/2020).

Maka dari itu, Yasonna dan tim delegasi segera merapat ke Serbia untuk menjemput Maria Pauline Lumowa. Beruntung, Presiden Serbia Aleksander Vucic mau membantu agar Maria mempertanggungjawabkan perbuatannya dan diadili di Indonesia.

Kepulangan Maria pun seolah menjadi lembar penutup dalam kasus pembobolan Bank BNI, lantaran 11 pelaku lainnya sudah menerima vonis pengadilan. Mereka adalah:

1. Adrian Pendelaki Lumowa, Dirut PT Magnetik Usaha Indonesia, yang divonis 15 tahun penjara.

2. Adrian Herling Waworuntu, konsultan investasi PT Sagared Tem dan sudah divonis penjara seumur hidup.

3. Jeffrey Baso, mantan Direktur Utama PT Triranu Caraka Pasifik, dengan vonis 7 tahun penjara.

4. Wayan Saputra, mantan Kepala Divisi Internasional BNI, telah divonis 5 tahun penjara.

5. Aan Suryana, Quality Assurance Divisi Kepatuhan Bank BNI Kantor Besar, dengan vonis 5 tahun penjara

6. Edy Santoso, mantan Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran, ia divonis penjara seumur hidup.

7. Ollah Abdullah Agam, mantan Direktur PT Gramarindo Mega Indonesia, dengan vonis 15 tahun penjara.

8. Titik Pristiwati, mantan Dirut PT Bhinnekatama, divonis 8 tahun penjara.

9. Komjen Pol Suyitno Landung, mantan Kabereskrim Polri, dengan vonis 1 tahun 6 bulan.

10. Richard Kountol, mantan Dirut PT Metranta, menerima vonis selama 8 tahun penjara.

11. Aprilla Widhata, mantan Dirut PT Pantripros, divonis 15 tahun penjara.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya