Liputan6.com, Jambi - Dari atas jembatan pedestrian Gentala Arasy, bangunan-bangunan beton di sempadan sungai Batanghari terlihat jelas.
Deretan bangunan beton dominasi kelir putih itu menjorok dan memakan tepian sungai. Sedari pagi perahu-perahu kecil bermesin tempel masih kerap melintas dan sesekali bersandar tak jauh dari bangunan beton itu.
Deretan beton itu adalah bangunan Mall WTC Batanghari beserta hotel Wiltop. Kota Jambi, ibu kota Provinsi Jambi ini tampaknya maju dengan tergesa-gesa, mal, supermarket, hotel, tumbuh begitu pesat--merangsek ke bibir sungai.
Pelabuhan Boom Batu yang menjadi bagian penting aktivitas dagang di Kota Jambi tempo dulu hancur tak tersisa dan tak dapat diidentifikasi lagi. Boom Batu kini tinggal kenangan--berubah menjadi deretan beton. Soal ini bagi generasi kiwari yang saban harinya sering menginjakan kaki di mal itu mungkin tak banyak tahu.
"Sebelum ada WTC itu kan dulunya Pelabuhan Boom Batu. Pelabuhan itu dulu ramai terus," kata Fauzi Zubir (70) ketika ditemui Liputan6.com di sanggarnya yang berada di bilangan Karya Maju, Kota Jambi, 4 Juli 2020.
Fauzi Zubir adalah seniman perupa kesohor di Jambi. Di kalangan seniman perupa, ia lebih dikenal dengan panggilan Pak Wo. Semasa itu Pak Wo, begitu sapaan karibnya masih ingat betul tentang masa-masa kejayaan pelabuhan Boom Batu.
Baca Juga
Advertisement
Rumah orang tua Fauzi dulunya berada di belakang rumah dinas Gubernur Jambi dan dekat kantor residen Jambi, hanya selemparan batu dari pelabuhan. Jaraknya yang begitu dekat dari rumahnya, semasa kecil Fauzi kerap bermain di pelabuhan.
Tak hanya riuh dengan aktivitas bongkar muat dan penyebrangan penumpang, dermaga pelabuhan itu dulunya juga menjadi sarana warga Jambi melepas penat, terutama menjelang sore hari banyak pedagang yang menjajakan pisang dan jagung bakar.
"Kalau pagi ada pasar, sorenya banyak anak-anak muda nongkrong, pelabuhan itu dulu jadi tempat main saya," ujar Pak Wo Fauzi.
Fauzi juga masih ingat pelabuhan Boom Batu, menjadi tempat tujuan kapal-kapal dari berbagai daerah. Sewaktu itu ia pernah menumpang Kapal Merbau tujuan Kuala Tungkal Tanjung Jabung. "Dulu orang-orang dari Tebo mau ke Jambi itu perjalanannya seminggu naik rakit, berhentinya di pelabuhan Boom Batu," kata Fauzi.
Meski dibangun pada masa kolonial Belanda, namun setelah kemerdekaan hingga tahun 2000-an pelabuhan Boom Batu masih berjaya. Masa itu transportasi masih mengandalkan jalur sungai. Kapal-kapal datang dan berlayar silih berganti.
Cabang Pelabuhan Jambi yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia II awalnya terletak di Kota Jambi (Boom Batu), namun mulai tahun 1996 aktivitas bongkar muat barang berangsur-angsur dipindahkan ke Talang Duku yang berjarak 10 kilometer dari Kota Jambi.
Hingga akhirnya masa kejayaan Boom Batu mulai redup pada era Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin. Nasib pelabuhan betul tergerus, tak tersisa puing-puingnya. Pada tahun 2007 dibangun komplek rumah toko, pusat perbelanjaaan modern Mall WTC dan hotel.
Kondisi masa kejayaan sangat kontras dengan kondisi sekarang. Boom Batu yang dulunya disandari kapal-kapal besar, kini perahu-perahu kecil bermesin tempel seperti kehilangan tempat bersandar setelah deretan bangunan beton angkuh berdiri di bibir sungai.
Berbeda dengan saudaranya Boom Baru di Palembang yang kini masih bertahan. Boom Batu di Jambi, kini hanya tinggal cerita.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Sejarah Pelabuhan Boom Batu
Wilayah Kota Jambi yang di belah Batanghari, sungai terpanjang di Sumatra telah menjadi bagian penting dalam aktivitas dagang. Pada masa itu pusat keramaian tumbuh di tandai dengan adanya pelabuhan--menjadi pusat transaksi perdagangan berbagai komoditi di Jambi.
Batanghari, sungai di Sumatra yang memiliki panjang 800 kilometer itu dan berhulu di Bukit Barisan itu mempunyai peran yang sangat sentral dalam jalur perdagangan di Jambi. Pada masa kolonial, pemerintah Hindia-Belanda membangun pelabuhan di pusat Kota Jambi.
Pemerintah Hindia-Belanda saat itu memilih lokasi yang strategis untuk pembangunan pelabuhan Boom Batu sebagai pusat perdagangan. Pelabuhan sengaja dibangun di tengah kota dan dekat dengan pusat pemerintahan. Sisa pusat pemerintah Hindia-Belanda ini masih bisa ditemui, seperti Residen Jambi, yang kini menjadi markas Ditpolair Polda Jambi.
Kemudian tak jauh dari kantor Residen Jambi juga terdapat kantor Telegraf yang sekarang bangunanya ditempati kantor Pos Indonesia.
Dalam buku Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia mengungkapkan pada masa itu Jambi menjadi tempat bertemunya para saudagar dari berbagai tempat dan bangsa. Para saudagar dari Jambi membawa komoditi dari daerah pedalaman.
Jambi merupakan sebuah kota yang menjadi tempat dikumpulkannya hasil bumi dan hasil hutan dari daerah pedalaman. Karena itu untuk memajukan roda perekonomian Jambi, pemerintah Hindia-Belanda memandang perlu untuk membangun sebuah pelabuhan, tempat bersandar kapal dan membongkar muatan.
Pelabuhan Jambi yang mendapat julukan Boom Batu itu dibangun selama tiga bulan dan mulai dipakai pada tanggal 1 April 1929.
"Lokasi pelabuhan Boom Batu itu berada di sekitar pada Angso Duo. Pada saat ini bekas-bekasnya tidak ada karena telah dibangun Mall WTC," tulis Didik Pradjoko dan Bambang Budi Utomo dalam Buku Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (2013, hlm 124).
Aktivitas pelayaran di sungai Batanghari secara langsung telah mendorong penduduk Jambi sebagai pemasok komoditas ekspor. Sementara itu Buku Jambi Dalam Sejarah 1500-1942 yang tulis Lindayati, Junaidi T. Noor, dan Ujang Hariadi membahas tentang perubahan perekonomian Jambi.
Ketiga orang itu menulis Jambi sebagai pelabuhan ekspor bagi produk daerah pedalaman, seperti emas, lada, dan produk hutan Jambi sendiri serta karet, rotan, pinang, dan kopra.
Kini seiringnya produk hutan Jambi yang kian redup, komoditi ekspor Jambi beralih dengan emas hitam batu bara dan minyak kelapa sawit.
Advertisement
Sungai Batanghari Dulu dan Sekarang
Batanghari adalah sungai bersejarah yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban di Sumatra, termasuk Jambi. Keberadaan sungai ini menjadi jalur penting pada masa peradaban. Aliran Batanghari sepanjang 800 kilometer itu jalur pelayaran yang penting dari Selat Malaka-Pantai Timur Sumatra hingga masuk ke padalaman Sumatra.
Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas, Gusti Asnan, sungai Batanghari sudah dilayari sejak zaman prasejarah. Sungai ini juga tetap dilayari pada era klasik, hingga muncul kerajaan-kerajaan besar antara abad ke-6 hingga 14 Masehi.
"Batanghari telah digunakan oleh nenek moyang kita untuk masuk ke pedalaman Sumatra," kata Gusti Asnan dalam peringatan Hari Maritim di Kabupaten Dharmasraya, 23 September 2019.
Peradaban di jalur sungai menurut dia, memiliki tiga basis, yakni pemerintahan (politik), ekonomi, ilmu teknologi dan religi. Penerapan hubungan teori hulu-hilir itu dapat dibuktikan pada masa klasik. Pada masa kolonial pun Batanghari masih sangat berperan.
Batanghari berasal dari dua kata, yakni Batang dan Hari. Batang adalah sebutan orang melayu Sumatra Tengah terhadap sungai. Sedangkan Hari adalah satuan waktu yang terdiri dari siang dan malam.
"Batanghari itu artinya aliran sungai yang senantiasa mengalir siang dan malam. Jadi ibaratnya pada masa itu sungai Batanghari seperti jalan raya, tidak sepi dari aktivitas pelayaran karena airnya mengalir siang dan malam," kata Gusti.
Dari hilir pantai timur Sumatra hingga hulunya dipedalaman Sumatra, tinggalan-tinggalan peradaban masih dapat ditemui di tepian sungai Batanghari. Tinggalannya di Jambi seperti kompleks percandian Muarajambi dan candi Padang Roco yang merupakan tinggalan kerajaan Dharmasraya, Sumatra Barat.
Tapi sekarang sungai Batanghari dengan segala sejarah dan peradabannya tidak seperti dulu lagi. Sungai Batanghari yang beramata air dari Bukit Barisan, kini tidak lagi terjaga. Ia tercemar beragam limbah industri, airnya keruh.