Studi di AS: Banyak yang Stres karena Pandemi, Kasus Sindrom Patah Hati Meningkat

Sebuah studi di AS mengungkapkan peningkatan angka sindrom patah hati yang terkait dengan stres di masa pandemi COVID-19

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 14 Jul 2020, 21:00 WIB
Ilustrasi penyakit jantung (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kondisi stres akibat pandemi menyebabkan peningkatan kondisi kesehatan yang disebut Takotsubo cardiomyopathy atau lebih dikenal dengan sindrom patah hati.

Temuan ini diungkap oleh para dokter jantung di Ohio, Amerika Serikat. Mereka menemukan, jumlah pasien dengan sindrom patah hati meningkat empat sampai lima kali lipat selama pandemi dibandingkan sebelumnya.

Studi kohort ini melibatkan perbandingan pada para pasien dengan sindrom koroner akut yang datang ke Cleveland Clinic dan Cleveland Clinic Akron General di masa pandemi COVID serta sebelum pandemi.

Mereka menemukan peningkatan insiden stres kardiomiopati hingga 7,8 persen selamaa pandemi dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi yaitu sekitar 1,5 hingga 1,8 persen.

"Temuan ini menunjukkan bahwa stres psikologis, sosial, dan ekonomi yang terkait dengan pandemi COVID-19 dikaitkan dengan peningkatan kejadian stres kardiomiopati," tulis para peneliti dalam laman JAMA Network pada Senin (13/7/2020).

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini


Perawatan di RS

Jantung Anak (iStockphoto)

Dalam pernyataan resminya, para peneliti menyebut bahwa pasien dengan stres kardiomiopati selama pandemi COVID-19 memiliki masa perawatan di rumah sakit (RS) lebih lama dibanding mereka yang dirawat di RS sebelum pandemi.

Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam mortalitas antar kelompok. Semua pasien yang didiagnosis dengan stres kardiomiopati juga dinyatakan negatif COVID-19.

Cleveland Clinic menyatakan, stres kardiomiopati terjadi sebagai respon terhadap tekanan fisik atau emosional yang menyebabkan disfungsi atau kegagalan pada otot jantung.


Stres di Masa Pandemi

Ilustrasi stres - sakit kepala - lelah (iStockphoto)

Pasien sindrom patah hati biasanya mengalami gejala yang mirip serangan jantung seperti nyeri dada dan sesak napas, namun mereka biasanya tidak memiliki arteri koroner yang tersumbat akut meski ventrikel kiri jantung kemungkinan menunjukkan pembesaran.

Gejala lain yang mungkin dialami termasuk detak jantung tidak teratur, pingsan, tekanan darah rendah, dan syok kardiogenik.

"Orang-orang tidak hanya khawatir tentang diri mereka sendiri atau keluarga mereka menjadi sakit, mereka berhadapan dengan masalah ekonomi dan emosional, masalah sosial dan potensi kesepian serta isolasi," kata Ankur Kalra, ahli jantung Cleveland Clinic.


Penting Menjaga Kesehatan Jantung

Jantung / Sumber: iStockphoto

Dokter percaya sindrom patah hati merupakan reaksi seseorang terhadap peristiwa yang membuat stres secara fisik atau emosional sehingga menyebabkan pelepasan hormon stres secara sementara, sehingga mengurangi kemampuan jantung untuk memompa.

Grant Reed, kepala dari STEMI (ST-elevation myocardial infarction) di Cleveland Clinic menyatakan bahwa penting bagi seseorang untuk tetap merawat kesehatan jantung di masa pandemi ini.

"Bagi mereka yang merasa diliputi stres, penting untuk menjangkau penyedia layanan kesehatan Anda. Berolahraga, meditasi, dan berhubungan dengan keluarga serta teman, sambil menjaga jarak fisik dan langkah-langkah keamanan, ini juga dapat membantu meredakan kecemasan," katanya.

Pasien dengan sindrom patah hati umumnya akan pulih dengan sendiri dalam hitungan hari atau pekan. Mereka juga umumnya akan dirawat dengan obat untuk menurunkan tekanan darah dan memperlambat detak jantung. Obat lain yang mungkin diresepkan adalah untuk pengelolaan stres.

Para peneliti mengatakan, masih dibutuhkan studi lebih lanjut di bidang tersebut untuk melihat apakah tren serupa terjadi di wilayah lainnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya