Liputan6.com, Jakarta - Mbah Lindu tak dimungkiri merupakan salah satu sosok legendaris di dunia kuliner Yogyakarta, terutama masakan gudeg. Alasannya, Mbah Lindu dikenal sudah sejak lama berjualan gudeg, mulai dari zaman penjajahan hingga sekarang.
Namun sosok tersebut baru saja meninggal dunia pada Minggu 12 Juli 2020. Mbah Lindu mengembuskan napas terakhir di usia 100 tahun.
Kepergian beliau pun mendapat banyak respons dari warganet, terutama di Twitter. Berdasarkan pantauan Tekno Liputan6.com, Senin (13/7/2020, Mbah Lindu kini masuk dalam daftar Trending Topic di Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Banyak dari kicauan itu berisi doa yang mengiringi kepergian beliau. Namun tidak sedikit pula yang mengenang sosoknya semasa hidup saat berjualan gudeg di Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta.
Kisah Mbah Lindu juga pernah diabadikan dalam serial Street Food yang ada di Netflix. Untuk mengetahui kicauan warganet, berikut ini beberapa tweet yang sudah dihimpun dari Twitter.
Sosok Mbah Lindu Semasa Hidup
Untuk diketahui, para penikmat kuliner gudeg, pasti sudah tidak asing dengan sajian yang dijajakan oleh Mbah Lindu. Ia menjadi adalah penjual gudeg legendaris yang telah tersohor seantero negeri.
Dikutip dari Kanal Global Liputan6.com, semasa hidup, Mbah Lindu berjualan dari pukul 5.00 hingga 10.00 WIB, tak jauh dari keramaian Malioboro. Ia berjualan dengan kondisi yang sederhana.
Mbah Lindu duduk di tengah dan dikelilingi panci dan wakul besar yang berisi lauk-lauk gudeg. Para pembeli yang memilih makan di tempat duduk di bangku 1,5 meter yang tersedia.
Advertisement
Mengemas Makanan dengan Cara Kuno
Bagi mereka yang memilih pesan untuk dibungkus, Mbah Lindu mengemasnya dengan cara kuno yakni dengan 'dipincuk' atau daun pisang dijepit dengan lidi. "Si mbah sendiri yang memasaknya. Resepnya masih sama dari dulu ya seperti ini," ujar Mbah Lindu dalam bahasa Jawa, kepada Liputan6.com, Selasa, 19 Januari 2016 lalu.
Kesetiaan Mbah Lindu pada gudeg telah dibuktikan sejak dulu. Kala itu, awalnya ia harus berjualan keliling Yogyakarta dengan kaki dari rumahnya di Klebengan.
"Nek kapane iki aku wis lali. Sak durunge Jepang teko. (Tahunya kapan saya sudah lupa, tapi sebelum Jepang datang). Wong Jepang datang itu saya sudah punya anak satu. Jualannya ya saya gendong, lalu jalan kaki berkeliling. Zaman dulu kan tidak ada bus kota," tambahnya.
(Dam/Ysl)
Baca Juga