Studi di Inggris Ungkap Risiko Kerusakan Otak yang Dipicu COVID-19

Sebuah studi di Inggris mencari tahu potensi masalah neurologis yang dialami seseorang akibat terpapar COVID-19

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 13 Jul 2020, 14:00 WIB
Gambar menggunakan mikroskop elektron yang tak bertanggal pada Februari 2020 menunjukkan virus corona SARS-CoV-2 (oranye) muncul dari permukaan sel (abu-abu) yang dikultur di laboratorium. Sampel virus dan sel diambil dari seorang pasien yang terinfeksi COVID-19. (NIAID-RML via AP)

Liputan6.com, Jakarta Para peneliti masih terus melakukan studi terhadap gejala yang ditimbulkan akibat COVID-19. Salah satunya efek neurologi dari terinfeksi virus SARS-CoV-2.

Dalam sebuah studi di Inggris, para dokter mengungkapkan adanya potensi masalah neurologis di beberapa kasus COVID-19 seperti delirium, radang otak, kerusakan saraf, atau stroke.

Para penulis studi ini melaporkan bahwa mereka melihat masalah peningkatan pasien di rumah sakit dengan kondisi neurologis langka dan terkadang fatal, yang disebut dengan acute disseminated encephalomyelitis (ADEM).

Dikutip dari Live Science pada Senin (13/7/2020), semua pasien ADEM telah dikonfirmasi atau dicurigai dengan COVID-19. Para penulis mengatakan bahwa kemungkinan pandemi ini mengarah pada meningkatnya kondisi tersebut.

"Kami mengidentifikasi jumlah orang yang lebih tinggi dari perkiraan, dengan kondisi neurologis seperti peradangan otak, yang tidak selalu berkorelasi dengan gejala pernapasan parah," kata penulis senior studi Dr. Michael Zandi dari University college London Queen Square Institute dikutip dari Eurekalert.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini


Gejala yang Dialami

Ilustrasi Otak (iStockPhoto)

Studi ini didapat dengan menganalisa informasi dari 43 pasien berusia 16 hingga 85 tahun dengan komplikasi neurologis yang dirawat di National Hospital for Neurology and Neurosurgery.

Dari jumlah tersebut, 29 di antara mereka dinyatakan positif COVID-19 dan sisanya masih diduga terinfeksi virus corona berdasarkan gejala dan hasil tes lain seperti rontgen dada dan CT scan.

Para dokter menemukan 10 kasus transient encephalopathies atau disfungsi otak sementara, dengan gejala delirium seperti kebingungan dan disorientasi. Satu pasien mengalami gejala psikosis termasuk halusinasi visual dan pendengaran. Sebagian besar dari mereka sembuh total tanpa perawatan khusus.


Pasien yang Mengalami Stroke

Ilustrasi Otak (iStockPhoto)

Delapan pasien lain dilaporkan mengalami stroke yang umumnya karena pembekuan darah. Dalam studi terdahulu, para peneliti menyebut bahwa COVID-19 bisa meningkatkan risiko pembekuan darah.

Pada orang-orang yang mengalami stroke, pasien cenderung mengalami masalah yang lebih buruk tanpa ada yang pulih sepenuhnya. Satu pasien meninggal setelah terkena stroke.

Delapan pasien lain mengalami kerusakan saraf yang umumnya disebabkan sindrom Guillain-Barre, respon autoimun yang langka dan biasanya terjadi setelah infeksi seperti infeksi pernapasan atau gastrointestinal.

Dua belas pasien lain mengalami peradangan otak dan sebagian besar didiagnosis dengan ADEM. Satu pasien dalam kelompok ini meninggal dunia.

Para peneliti membandingkan, sebelum pandemi, setidaknya ada satu kasus ADEM pada orang dewasa yang mereka terima dalam sebulan. Selama pandemi, jumlahnya meningkat satu kasus dalam sepekan.


Reaksi Sistem Kekebalan Tubuh

Gambar menggunakan mikroskop elektron yang tak bertanggal pada Februari 2020 menunjukkan virus corona SARS-CoV-2 (kuning) muncul dari permukaan sel (merah muda) yang dikultur di laboratorium. Sampel virus dan sel diambil dari seorang pasien yang terinfeksi COVID-19. (NIAID-RML via AP)

Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 tidak ditemukan dalam sampel cairan serebrospinal pasien. Mereka mengatakan, ini menunjukkan mereka tidak secara langsung menyerang otak pasien.

Dalam beberapa kasus, hasil pemindaian otak (dan satu prosedur biopsi otak) menunjukkan adanya peradangan otak yang disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuh.

"Studi kami memajukan pemahaman tentang berbagai cara COVID-19 dapat mempengaruhi otak, yang akan menjadi penting dalam upaya kolektif untuk mendukung dan mengelola pasien dalam perawatan dan pemulihan mereka," kata salah satu penulis studi Dr. Rachel Brown dari University College London Queen Square Institute of Neurology.

Dr. Ross Paterson dari UCL Queen Square Institute of Neurology mengatakan, masih dibutuhkan studi lanjutan terkait kerusakan jangka panjang akibat COVID-19.

"Dokter perlu mewaspadai kemungkinan efek neurologis karena diagnosis dini dapat meningkatkan kondisi pasien. Orang yang pulih dari virus harus mencari nasihat dari tenaga kesehatan profesional jika mereka mengalami gejala neurologis," kata Paterson.

Studi ini dipublikasikan di jurnal Brain.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya