Liputan6.com, Jakarta - Sejak diumumkan pertama kali pada 2 Maret 2020 langsung oleh Presiden Jokowi, grafik kasus positif Covid-19 di Indonesia terus menanjak. Dari angka satuan naik jadi puluhan, ratusan, ribuan hingga kini menjadi puluhan ribu kasus. Empat bulan sejak dipastikan Indonesia positif Covid-19, kasus ini telah berkembang dan menyebar di 34 Provinsi dan 461 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Data terbaru Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Selasa (14/7/2020) menyebutkan, kasus positif di Indonesia sudah mencapai 78.572. Sedangkan angka sembuh sejumlah 37.636 orang dan meninggal dunia berjumlah 3.710 orang.
Advertisement
Belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 di Indonesia akan berakhir. Namun, upaya pencegahan masif yang telah dilakukan diyakini bisa memberikan harapan kasus akan segera mencapai puncaknya dan dan tren selanjutnya adalah angka grafik penurunan.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyebutkan, puncak Covid-19 diprediksi terjadi pada Agustus atau September 2020. Hanya, dia menggarisbawahi, prediksi ini bisa berubah apabila virus corona tidak dikendalikan.
"Kalau melihat angka-angka memang nanti perkiraan puncaknya ada di Agustus atau September, perkiraan terakhir. Tapi kalau kita tidak melakukan sesuatu, ya bisa angkanya berbeda," ujar Jokowi di Jakarta, Senin (13/7/2020).
Jokowi pun meminta para menterinya bekerja keras menekan penyebaran Covid-19. Jika tidak, maka pandemi virus corona dikhawatirkan akan semakin panjang. Dia meminta para menteri memasifkan gerakan disiplin protokol kesehatan.
"Masifkan kembali gerakan nasional disiplin terhadap protokol kesehatan, mengenai jaga jarak, penggunaan masker, cuci tangan," tegasnya.
Menurutnya, masih banyak masyarakat yang tidak disiplin menggunakan masker dan menerapkan protokol kesehatan. Jokowi menyebut hal tersebut terlihat dari survei yang dilakukan pemerintah provinsi Jawa Timur.
"Dari survei yang kita lihat misalnya, saya mendapatkan laporan saat ke Jawa Timur, survei mereka di Jatim itu 70 persen masyarakat tidak menggunakan masker," jelas Jokowi.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyatakan, pihaknya masih mempelajari langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk menghadapi masa puncak pandemi.
"Ini harus dibahas bersama tim, tidak bisa sendirian," ujarnya kepada Liputan6.com, Selasa (14/7/2020).
Yuri mengakui proses penularan Covid-19 masih terjadi hingga saat ini. Bahkan sekarang angkanya semakin tinggi. Ini terjadi karena protokol kesehatan belum sepenuhnya dijalankan oleh masyarakat dengan benar.
"Gunakan masker. Pilih yang nyaman sehingga bisa melindungi," tegasnya.
Yuri menambahkan, adaptasi kebiasaan baru dengan mengenakan masker, jaga jarak aman dan rajin mencuci tangan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari di masa pandemi saat ini.
"Penyakit ini masih ada dan terus ada di wilayah ini. Kita tidak bisa berharap dan memastikan kapan vaksin akan datang. Tidak ada yang bisa menjamin sebulan dua bulan lagi vaksin sudah didapatkan," jelasnya.
Tim Gugus Tugas juga sudah meminta ke pemerintah daerah agar persoalan terkait protokol kesehatan yang ada di masyarakat bisa teratasi dengan sosialisasi yang masih.
"Biar tidak ke pusat semuanya," singkatnya.
Dia juga meminta Pemda untuk menyikapi perkembangan Covid-19 di wilayahnya, termasuk dalam pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskal Besar (PSBB) yang masih diberlakukan di sejumlah daerah di Indonesia.
"Pusat membuat pedoman oprasional dan daerah melaksanakan dengan memperhatikan situasinya di daerahnya seperti apa, itu menjadi tanggung jawabnya kepala daerah. Jadi kalau daerah berkeyakinan masih efektif PSBB ya artinya masih, karena kepala daerah adalah kepala gugus tugas di wilayahnya," ujarnya.
Upaya menekan penyebaran Covid-19 juga dilakukan dengan menambah jumlah daerah yang masuk zona hijau. Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro menyatakan, tiga upaya akan dilakukan tim Gugus Tugas agar zona hijau Covid-19 di Indonesia semakin banyak.
"Pertama, kerja keras dan pengawasan ketat oleh gugus tugas daerah dan seluruh pimpinan daerah," ujarnya, Selasa (14/7/2020).
Kedua, kedisiplinan dan kepatuhan seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Dan Ketiga, kesadaran bahwa daerah hijau akan membuat masyarakat lebih produktif namun tetap aman Covid-19
Reisa mengatakan, hingga pekan lalu, persentase daerah berstatus zona hijau naik dari pekan sebelumnya. Sebanyak 20,2 persen dari seluruh 514 kabupaten dan kota di Indonesia masuk kategori hijau. Sedangkan, persentase zona lain adalah 34 persen risiko rendah atau zona kuning. 35 persen zona oranye dan 10,7 persen merupakan zona merah.
Untuk jumlah zona hijau sendiri, Reisa mengatakan jumlahnya mencapai 104 kabupaten/kota. Jumlah ini terdiri dari 61 daerah yang tidak terdampak dan 43 tanpa ada kasus baru.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menambahkan, kaitannya dalam menghadapi masa puncak pandemi, saat ini pihaknya tengah memfokuskan pada penanganan di 8 provinsi yang jumlah kasusnya tinggi dan laju insidensinya juga tinggi.
"Pertama adalah Jawa Timur dengan kontribusi kasus dari awal sampai sekarang 16.658, DKI 14.517, Sulsel 6.973, Jateng 5.473, Jabar 5.077, Kalsel 4.146, Sumut 2.323, Papua 2.267," beber Wiku, Selasa (14/7/2020).
Wiku melanjukan, 8 provinsi ini berkontribusi sampai dengan 74 persen dari seluruh kasus di Indonesia. Menurutnya perlu tindakan 3T (testing tracing dan treatment) yang lebih masif lagi dengan harapan kontributor kasus ini akan bisa menurun.
"3T akan menjadi lebih baik dan kondisi Indonesia secara keseluruhan akan menjadi lebih baik pula," yakin Wiku.
Wiku menambahkan, perlu peran aktif seluruh pimpinan daerah dan masyarakat untuk bersama sama agar seluruh kondisi wilayah di Indonesia membaik.
"Zonasinya karena itu terkait dengan protokol kesehatan yang dijalankan secara disiplin," tukasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Perkuat Preventive Measure
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia (Iakmi) Ede Surya Darmawan menyatakan, belum ada bukti yang kuat untuk memprediksi kapan pandemi Covid-19 akan mencapai puncaknya di Indonesia. Sebab, kapasitas deteksi yang ada hingga saat ini belum jelas.
"Kalau deteksi kita sudah optimal, dikejar dari awal. Ini kan karena delay ya. Kita kan sudah kapasitas 22 ribu spesimen per hari. Itu katakanlah baru dalam waktu 15 hari atau sebulan gitu ya, tapi yang jadi persoalan kan fluktuasinya. Kayak sekarang rata-rata positifnya 15 persen dari jumlah yang dites, bukan jumlah spesiemen," ungkapnya kepada Liputan6.com, Selasa (14/7/2020).
Epidemiolog UI ini menambahkan, alat deteksi yang dimiliki harus ditingkatkan sampai seperti yang direkomendasikan organisasi kesehatan dunia (WHO).
"WHO kan satu persen dari jumlah penduduk. Jadi kalau Indonesia 273 Juta berarti 2,73 juta. Kita kan baru satu jutaan deteksinya," tambahnya.
Ede menyatakan, pemerintah harusnya tak perlu menunggu menunggu masa puncak pandemi Covid-19. Yang harus dilakukan itu justru preventive measure-nya mesti diperkuat.
"Pencegahan itu harus makin kuat dan itu mesti makin gencar. Ngapain bisa dikasih puncak? Mengapa gak kita tahan terus? sehingga pertambahan sehari itu gak sampai 1.000, tapi bisa 500," katanya.
Menurutnya, ada dua even yang bisa dimanfaatkan untuk preventive measure. Pertama, saat Hari Raya Idul Adha dimana akan ada salat Idul Adha dan pemotongan hewan kurban di lingkungan masing-masing. "Ini sebaiknya dimanfaatkan untuk melakukan preventive measure itu kan?" ujarnya.
Kedua, preventive measure bisa dilakukan saat Pilkada Desember 2020.
"Kalau mau pilkada, idealnya kampanyenya mencegah Covid-19. Ini ibarat kampanye pilkada atau pemilu serentak dulu, ya semua orang mesti diingatkan ramai-ramai. Perubahan itu mesti di setiap individu," ucapnya.
Ede menyebut kedisiplinan yang tersimplifikasi dalam tiga hal, yakni mencuci tangan, mengenakan masker dan jaga jarak, menjadi kunci utama pencegahan Covid-19.
"Perusahaan atau tempat kerja saat ini belum menyiapkan diri agar orang tidak interaksi berdekatan. Distancing itu harusnya dari awal tuh sudah dikasih tau. Artinya preventif measure itu pilihan terbaik," ujarnya.
Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono ucapan Jokowi bahwa pandemi Covid-19 akan mencapai puncaknya adalah bentuk optimisme. Menurutnya, prediksi itu bisa benar bisa juga salah.
"Salahnya itu terlalu optimis. Kalau respons kita bagus, surveilans kita bagus, penduduknya patuh pakai masker, kalau itu tidak dipenuhi, bisa mundur lagi,” ujar Pandu kepada Liputan6.com, Selasa (14/7/2020).
Pandu menyayangkan penanganan pandemi yang tidak cepat karena segalanya harus menunggu perintah presiden. Menurutnya, BNPB bukan organisasi yang tepat untuk melaksanakan penanggulangan wabah. Menurutnya, yang paling tepat dalam menangani wabah adalah negara bersama dengan Kementerian Kesehatan dan kementerian terkait lainnya.
"Karena ini lama dan harus segera diambil alih, tidak lagi dilimpahkan ke gugus tugas," tukasnya.
Dengan penanganan langsung oleh negara, hal paling signifikan yang akan dirasakan adalah di bagian operasional.
"Implementasinya akan lebih cepat, semuanya sesuai dengan infrastruktur kementerian. Sistem negara kita itu terdiri dari kabinet dan kementerian yang sudah punya pengalaman terkait sistem yang bisa dijalankan dengan cepat. BNPB itu bukan sistem, hanya badan," katanya.
Bagi masyarakat, Pandu mengatakan kampanye nasional yang dilakukan baru-baru ini seharusnya sudah dilakukan sejak Maret.
“Kampanye benar-benar kampanye bukan Jubir ngomong. Edukasi itu langsung ke masyarakat, mereka harus dengar dan menerima pesannya.”
Kampanye melalui media oleh Jubir tidak bisa dipastikan dapat sampai ke seluruh masyarakat, ujarnya. Masyarakat yang tidak memiliki akses internet atau televisi tidak akan mengetahui informasinya.
"Kampanye sebaiknya langsung ke masyarakat, akan lebih jelas dan lebih tahu. Pesannya pun jangan pesan yang membuat masyarakat bingung. Beritahu kewajiban memakai masker dan akibatnya jika tidak pakai masker," ujarnya.
“Tanggung jawab masyarakat itu menjalankan 3M menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, ini harus dilakukan secara nasional,” kata Pandu.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menyatakan, cukup sulit membuat prediksi kapan Covid-19 akan mencapai puncak karena dinamika yang terjadi di beberapa daerah. Beberapa daerah yang semula mulai turun kasusnya, kembali naik. Di antaranya adalah DKI Jakarta.
"Saat ini untuk memprediksi puncaknya dua bulan ke depan, artinya September, harus kita lakukan dengan hati-hati. Tergantung dari kesiapan semua pihak," kata Amin kepada Liputan6.com, Selasa (14/7/2020).
Ada pun yang dimaksud Amin semua pihak termasuk masyarakat. Tidak hanya masyarakat bawah, tapi seluruh lapisan masyarakat yang punya peran dalam berkontribusi untuk pengendalian penyebaran dan penularan virus SARS-CoV-2. Sebab, sudah satu bulan terakhir masyarakat Indonesia kembali beraktivitas di luar rumah.
"Kalau kita lihat di kota besar dan kecil aktivitas mulai menggeliat, tapi pada saat itu yang kita harapkan aman dan produktif. Ternyata amannya itu agak kurang diperhatikan," kata Amin.
"Itu yang menyebabkan, yang kita lihat di beberapa daerah, kurvanya naik lagi, dengan kata lain penularan masih terjadi," Amin menambahkan.
Alhasil, angka reproduksi Corona di Indonesia yang diharapkan bisa di bawah satu, masih di atas satu. Contohnya seperti di sejumlah provinsi di Pulau Jawa, yang menurut Amin memiliki penduduk dan juga daya ungkit yang besar.
"Provinsi-provinsi di Jawa belum bisa mencapai angka reproduksinya satu atau di bawah satu (targetnya). Kurva penambahannya masih naik turun, kecenderungan masih naik," katanya.
Amin pun menjelaskan definisi dari mencapai puncak kasus Covid-19 yang sebenarnya. "Dalam beberapa hari diharapkan angka pertambahan jumlah kasus positif Corona tidak ada kenaikan, jadi kurvanya mulai flat, mulai datar, itu bisa harapkan dalam satu atau dua minggu, atau sampai tiga minggu bisa mencapai puncaknya," katanya.
Tentu saja kurva tersebut harus diikuti dengan jumlah penurunan kasus positif. Menurut Amin, penurunan baru bisa terjadi kalau angka reproduksi Corona di Indonesia sudah berhasil di bawah satu.
Advertisement
Rumah Sakit Siap?
Lantas, apa persiapan rumah sakit jika benar puncak pandemi Covid-19 terjadi pada Agustus-September mendatang?
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia Gardenia Partakusuma menyatakan, yang bisa dilakukan pihaknya adalah persiapan semaksimal mungkin untuk menyediakan fasilitasn kesehatan yang dibutuhkan.
"Hampir semua rumah sakit menyiapkan tempat-tempat isolasi. Rumah sakit yang sudah memiliki ruang isolasi akan menambah ruang isolasi," kata Lia, Selasa (14/7/2020).
Penambahan ruangan isolasi, dilakukan sesuai dengan imbauan dari Kementerian Kesehatan terhadap tren kenaikan kasus Covid-19.
Dia menyatakan, saat ini sudah ada beberapa rumah sakit besar pemerintah yang sedang mengajukan fasilitas tambahan untuk menghadapi lonjakan pasien Covid-19.
"Jadi, sudah ada beberapa rumah sakit pemerintah yang sudah diminta untuk mengajukan, misalnya ingin menambah tekanan negatif," katanya.
Rumah sakit swasta yang bukan rujukan juga sudah bersiap bila kapasitas rumah sakit rujukan Covid-19 penuh. Biaya perawatan pasien Covid-19 n antinya akan diklaim ke pemerintah.
"Kalau dulu takut-takut (pembiayaan pasien Covid-19) sekarang sudah disiapkan fasilitas kalau misalnya ada dan terpaksa merawat bisa klaim ke Pemerintah," kata Lia.
Lia menuturkan, meski saat ini pencairan klaim belum terlalu lancar, tapi dengan adanya kebijakan ini membuat rumah sakit yang bukan rujukan menerima merawat pasien yang terinfeksi virus SARS-CoV-2. Dia menekankan bahwa tidak semua orang yang terinfeksi corona dirawat di rumah sakit. Itu sebabnya penting melakukan skrining mana pasien terinfeksi Covid-19 yang perlu dirawat di rumah sakit dan mana yang tidak.
"Pada pasien dengan kondisi berat bakal dirawat di rumah sakit rujukan. Kalau tidak berat, dia bisa dirawat di tempat penampungan, seperti misalnya Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, yang seperti itu kan sudah banyak. Atau yang tidak ada gejala melakukan isolasi mandiri di rumah," tuturnya.
Yang dikhawatirkan, kata Lia, bila nanti banyak pasien yang positif dan hanya mau dirawat di rumah sakit, tidak mau isolasi mandiri.
Perubahan Istilah
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah mengeluarkan surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam surat yang berisi sekitar 207 halaman tersebut Terawan mengganti istilah orang dalam pengawasan (ODP), Pasien dalam pengawasan (PDP) serta orang tanpa gejala (OTG). Istilah tersebut diganti jadi kasus suspek, porbable, konfirmasi dan kontak erat.
"Untuk kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, kontak erat, istilah yang digunakan pada pedoman sebelumnya adalah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), orang tanpa gejala (OTG)," tertulis pada bab 3 terkait surveilans epidomologi halaman 31 yang diteken Terawan, Senin (13/7/2020).
Selanjutnya kasus suspek dijelaskan yang memiliki kriteria yaitu orang dengan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Lalu pada 14 hari terakhir sebelum timbul timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.
"Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable Covid-19," kutip peraturan tersebut.
Dalam peraturan tersebut juga menjelaskan ISPA berat membutuhkan perawatan di rumah sakit. Selanjutnya istilah pasien dalam pengawasan (PDP) dikenal dengan kasus saspek.
"ISPA yaitu demam (lebih dari 38 derajat celcius) atau riwayat demam; dan disertai salah satu gejala, tanda penyakit pernapasan seperti: batuk atau sesak napas, sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat," kutip peraturan tersebut.
Kasus porbable yaitu kasus suspek dengan ISPA berat, meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 serta belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kemudian kasus konfirmasi.
"Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi Virus Covid-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR," bunyi peraturan tersebut.
Adapun kasus konfirmasi terbagi jadi dua yaitu kasus konfirmasi dengan gejala kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) dan kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).
Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan terkait kriteria kontak erat. Yaitu orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable. Kontak erat yang dimaksud yaitu bertatap muka, sentuhan fisik, memberikan perawatan langsung.
"Situasi lainnya yang mengindikasi adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat," dalam peraturan tersebut.
Pada kasus probable atau konfirmasi bergejala (simptomatik) untuk melakukan kontak erat periode kontak hal tersebut dihitung selama dua hari kasus tersebut muncul. Kemudian hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
"Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari dua hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi," tulis peraturan tersebut.