Jaksa Agung Pastikan Tak Pernah Cabut Red Notice Buron Djoko Tjandra

Burhanuddin mengaku masih menelusuri perihal hilangnya status red notice terhadap Djoko Tjandra di Interpol.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 15 Jul 2020, 12:31 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/1/2020). Dalam rapat ini ST Burhanuddin menjelaskan perkembangan kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) kepada Komisi III DPR. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan, Kejaksaan tidak pernah melakukan pencabutan status red notice terhadap buron kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.

"Red notice itu kan tidak ada cabut mencabut, selamanya sampai ketangkap, tapi nyatanya begitulah," kata Burhanuddin di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta Selatan, Rabu (15/7/2020).

Burhanuddin mengaku masih menelusuri perihal hilangnya status red notice terhadap Djoko Tjandra di Interpol. Dia pun belum menemukan pihak yang bertanggung jawab atas masalah tersebut.

"Itu sampai sekarang belum ada titik temunya," jelas Burhanuddin.

Pengacara Andi Putra Kusuma selaku kuasa hukum Djoko Sugiarto Tjandra membantah tuduhan bahwa telah menyembunyikan kliennya sebagaimana yang dilaporkan oleh Tim Advokasi Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI).

"Pada dasarnya kita menghormati laporan KAKI, tapi kalau tuduhannya Pasal 221 melindungi dan menyembunyikan buronan, ada beberapa hal yang perlu saja klarifikasi," kata Andi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin 6 Juli 2020, seperti dilansir Antara.

Ada tiga poin yang dijelaskan Andi terkait tuduhan tersebut. Andi menyebutkan, tidak pernah menyembunyikan buron kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra, karena timnya membawa kliennya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftarkan permohonan PK.

Menurut dia, pengadilan merupakan tempat umum yang bisa diakses semua orang, dan semua orang bisa melihat dan bertemu satu dengan yang lainnya.

"Kalau menyembunyikan, kan banyak orang yang melihat di pengadilan negeri ini," katanya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Status DPO kembali disematkan pada 27 Juni 2020

Banner Djoko Tjandra (Liputan6.com/Triyasni)

Yang kedua, lanjut Andi, sejak 2012, Djoko Tjandra sudah tidak tercatat sebagai DPO (daftar pencarian orang) berdasarkan keterangan dari Kementerian Hukum dan HAM.

Status DPO kembali disematkan kepada Djoko oleh Imigrasi pada tanggal 27 Juni 2020, begitu juga dengan daftar merah pemberitahuan (red notice) Interpol dan pencekalan.

"Sebelumnya dari 2014 enggak ada (status). Karena permohonan jaksa kan dari berlaku enam bulan. Permohonan terakhir dari jaksa itu diajukan pada tanggal 29 Maret 2012," kata Andi.

Yang ketiga, lanjut Andi, terkait permohonan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI hanya berlaku enam bulan. Artinya, enam bulan setelah tanggal tersebut tidak ada lagi pencegahan baik keluar ataupun masuk.

Karena jaksa tidak memohon lagi berdasarkan informasi dari Kemenkum HAM sejak tahun 2012 sudah tidak ada lagi permintaan dari Kejaksaan Agung.

Setelah itu, Menkumham menindaklanjuti hal itu dan menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada Mei 2020.

"Artinya, kalau Pak Djoko masuk ke Indonesia tanggal 8 Juni tidak ada pencegahan. Jadi dari mana saya menyeludupkan sedangkan untuk bisa ke pengadilan ini kan baris depannya pemerintah banyak banget, ada imigrasi dari kepolisian itu semua dilewati sebelum sampai di sini," kata Andi.

 

 


Menkumham: Djoko Tjandra Tak Lagi Buruan Interpol Sejak 2014

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan penjelasan kepada Komisi III DPR saat rapat kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (22/6/2020). Rapat membahas evaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi dan pola manajemen pegawai di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menkumham Yasonna Laoly menyatakan, nama terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra sudah tidak lagi masuk dalam red notice atau buruan Interpol sejak tahun 2014.

Yasonna berandai apabila buronan itu masuk ke Indonesia belum lama ini, maka ia tidak bisa dihalangi karena tidak ada dalam red notice.

"Beliau menurut Interpol sejak 2014 kan tidak lagi masuk dalam DPO. Jadi kalau seandainya pun, seandainya ini berandai-andai, jangan kau kutip nanti seolah-olah benar, seandainya dia masuk dengan benar, dia nggak bisa kami halangi," kata Yasonna di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/7/2020).

Politisi PDIP itu kembali berandai-andai, apabila Djoko Tjandra masuk Indonesia dengan cara benar bahkan sambil santai bersiul, maka tidak akan bisa halangi.

"Karena dia tidak masuk dalam red notice. Seandainya masuk dia sambil bersiul-siul dia masuk, bisa saja karena dia tidak masuk dalam red notice. Tapi ini hebatnya, dia situ juga nggak ada," ucapnya.

Ia juga enggan menanggapi kemungkinan Djoko Tjandra masuk Indonesia dengan mengganti nama atau lewat jalan tikus. Pihaknya akan meneliti lebih lanjut bersama tim gabungan dengan Kejaksaan Agung.

"Kita nggak tahu lah, nanti makanya saya bilang lagi diteliti sama Dirjen Imigrasi, nanti ceklah. Kan kita minta cek CCTV, apa semua. Kita tidak tahu, bisa saja orang ambil paspor di mana-mana di Bangkok sana kan," katanya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya