Angka Kelahiran di 23 Negara Diprediksi Menyusut hingga Setengahnya, Apa yang Terjadi?

Sejumlah negara dilaporkan mengalami penurunan angka kelahiran hidup. Setidaknya ada 23 negara yang diprediksi mengalami penyusutan populasi, termasuk Spanyol dan Jepang

oleh Fitri Syarifah diperbarui 17 Jul 2020, 22:00 WIB
Ilustrasi Foto kelahiran Bayi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah negara dilaporkan bakal mengalami penurunan angka kelahiran hidup. Setidaknya ada 23 negara yang diprediksi mengalami penyusutan populasi, termasuk Spanyol dan Jepang yang diperkirakan akan mengalami penurunan populasi pada tahun 2100. 

Apa yang sebenarnya terjadi?

Mengutip BBC, fertility rate (jumlah rata-rata anak yang dilahirkan) menurun jika jumlahnya menurun sekitar di bawah 2.1. Pada tahun 1950, fertility rate-nya adalah 4.7.

Para peneliti di Institute for Health Metrics and Evaluation, University of Washington, Amerika Serikat menunjukkan fertility rate dunia turun menjadi 2.4 di tahun 2017 dan diperkirakan akan terus menurun dan mencapai di bawah 1.7 pada tahun 2100. Penelitian ini diterbitkan di Lancet.

Berdasarkan data tersebut, para peneliti memperkirakan jumlah orang di planet ini mencapai puncaknya, yaitu 9,7 miliar jiwa sekitar tahun 2064, sebelum berkurang hingga 8,8 miliar jiwa pada akhir abad ini.

"Itu hal yang cukup besar. Sebagian besar dunia sedang mengalami transisi ke penurunan populasi alami," kata peneliti Profesor Christopher Murray.

"Saya pikir ini sangat sulit untuk memikirkan dan mengenali seberapa luar biasanya hal ini, sehingga kita harus mengatur kembali populasi."

Mengapa angka fertility rate turun?

Ini tidak ada hubungannya dengan jumlah sperma atau hal-hal yang biasa terpikirkan ketika membahas kesuburan. Sebaliknya, itu didorong oleh semakin meningkatnya pendidikan perempuan dan banyak yang bekerja, serta banyak yang mengakses kontrasepsi, sehingga perempuan lebih memilih untuk memiliki lebih sedikit anak.

Dalam banyak hal, penurunan angka fertilitas adalah kesuksesan bagi wanita.

 

Simak Video Menarik Berikut Ini:


Negara mana yang akan paling terpengaruh?

Ilustraasi foto Liputan 6

Populasi Jepang diperkirakan akan turun dari puncaknya sebanyak 128 juta jiwa pada 2017 menjadi 53 juta jiwa pada akhir abad ini. 

Italia diproyeksikan mengalami penurunan populasi yang drastis dari 61 juta jiwa menjadi 28 juta jiwa dalam jangka waktu yang sama.

Keduanya adalah dua dari 23 negara, termasuk Spanyol, Portugal, Thailand dan Korea Selatan, yang diperkirakan populasinya turun lebih dari setengahnya.

"Itu sangat mengejutkan," kata Prof Christopher Murray.

China, yang saat ini merupakan negara terpadat di dunia, diperkirakan mencapai puncaknya pada 1,4 miliar jiwa dalam waktu empat tahun sebelum hampir berkurang menjadi 732 juta jiwa pada tahun 2100. Maka kemudian India yang akan menggantikan posisi sebagai negara terpadat.

Inggris diperkirakan akan mencapai angka 75 juta jiwa pada tahun 2063, dan turun menjadi 71 juta jiwa pada tahun 2100.

Namun, ini akan menjadi masalah global, dengan 183 dari 195 negara memiliki angka fertilitas di bawah angka pergantian.

Anda mungkin berpikir ini bagus untuk lingkungan. Populasi yang lebih kecil akan mengurangi emisi karbon serta deforestasi untuk lahan pertanian.

"Itu memang benar kalau struktur usia terbalik (lebih banyak orang tua daripada yang muda), itupun dengan semua konsekuensi negatif seragam dari struktur ini," kata Prof. Murray.

Adapun studi ini memproyeksikan:

- Jumlah balita akan turun dari 681 juta jiwa pada 2017 menjadi 401 juta jiwa pada 2.100.

- Jumlah populasi berusia di atas 80 tahun akan melonjak dari 141 juta jiwa pada 2017 menjadi 866 juta jiwa pada 2.100.

Prof Murray menambahkan, kondisi ini akan menciptakan perubahan sosial yang sangat besar. Yang ia pikirkan adalah: Siapa yang membayar perawatan kesehatan untuk orang tua? Siapa yang merawat orangtua? Apakah orang masih dapat pensiun dari pekerjaan?

 


Apakah ada solusi?

Ilustrasi pasca melahirkan | unsplash.com/@sharonmccutcheon

Negara-negara, termasuk Inggris, telah menggunakan migrasi untuk meningkatkan populasi mereka dan mengimbangi penurunan angka fertilitas. Namun ini tidak cukup untuk menjadi solusi jika hampir setiap populasi dunia menyusut.

Beberapa negara telah mencoba kebijakan seperti peningkatan cuti hamil dan paternitas, pengasuhan anak gratis, insentif keuangan dan hak-hak kerja tambahan, tetapi tidak ada jawaban yang jelas.

Swedia telah berupaya meningkatkan fertilitas dari 1.7 menjadi 1.9. Negara-negara lain juga telah berupaya keras untuk mengatasi "baby bust" (penyusutan drastis fertility rate), namun masih di bawah rata-rata, salah satunya Singapura yang masih memiliki fertility rate sekitar 1,3.

Bagaimana cara negara memerangi penurunan angka fertilitas?

Para peneliti memperingatkan agar tidak membatalkan kemajuan pendidikan wanita dan akses ke kontrasepsi.

Prof Stein Emil Vollset mengatakan: "Menanggapi penurunan populasi cenderung menjadi perhatian utama kebijakan di banyak negara, tetapi tidak boleh mengkompromikan upaya untuk meningkatkan kesehatan reproduksi perempuan atau kemajuan hak-hak perempuan."

- Afrika: Populasi Afrika sub-Sahara diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari tiga miliar jiwa pada tahun 2100.

- Nigeria: Berdasarkan penelitian tersebut, NIgeria akan menjadi negara dengan populasi terbesar kedua di dunia, dengan populasi 791 juta jiwa.

Prof Murray mengatakan: "Kita akan memiliki lebih banyak orang keturunan Afrika di lebih banyak negara saat kita menghadapi ini. Sehingga tantangan seputar rasisme akan menjadi semakin kritis jika ada banyak orang keturunan Afrika di banyak negara."

Menurut Murray, perbandingan yang ideal memiliki anak atau ambang batas fertility rate adalah 2.1 (dua orangtua, dua sampai tiga anak)."Itu karena dengan perawatan kesehatan terbaikpun, tidak semua anak bertahan hidup sampai dewasa. Juga sedikit kemungkinan bayi yang lahir adalah laki-laki. Makanya ambang batasnya adalah 2.1 di negara-negara berkembang."

Negara dengan tingkat kematian anak yang lebih tinggi juga membutuhkan angka fertilitas yang lebih tinggi.

Prof Ibrahim Abubakar, University College London (UCL), mengatakan: "Jika prediksi ini setengah akurat, migrasi akan menjadi kebutuhan bagi semua negara dan bukan pilihan. Untuk menjadi sukses, kita perlu memikirkan ulang fundamental politik global. Distribusi populasi usia kerja (usia produktif) akan sangat penting untuk menentukan umat manusia akan bertambah atau berkurang."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya