Di Tengah Ancaman Resesi Global, Ekonomi China Tumbuh 3,2 Persen pada Kuartal II

Pemerintah China mengeluarkan berbagai langkah untuk meningkatkan perekonomian termasuk pengeluaran fiskal dan pemotongan suku bunga kredit.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 16 Jul 2020, 11:36 WIB
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di Stasiun Kereta Api Yingtan di Nanchang di Provinsi Jiangxi Tengah, China (22/1/2020). Selain menewaskan 17 orang, virus corona juga telah menginfeksi lebih dari 571 orang, termasuk di Taiwan, Jepang, Thailand, Korea Selatan, dan AS. (AFP Photo/STR)

Liputan6.com, Jakarta China melaporkan pertumbuhan ekonomi negaranya tumbuh 3,2 persen (yoy) pada kuartal II tahun ini. Pada kuartal sebelumnya, Produk Domestik Bruto (PDB) China mengalami kontraksi 6,8 persen (yoy) akibat pandemi Covid-19.

"Secara umum, ekonomi nasional mengatasi dampak buruk dari epidemi di babak pertama secara bertahap dan menunjukkan momentum pertumbuhan restoratif dan pemulihan bertahap, lebih lanjut mewujudkan ketahanan pembangunan dan vitalitasnya," mengutip keterangan Biro Statistik Nasional China, seperti melansir CNBC, Kamis (16/7/2020).

Pemerintah China mengeluarkan berbagai langkah untuk meningkatkan perekonomian, termasuk pengeluaran fiskal dan pemotongan suku bunga kredit dan persyaratan cadangan bank - jumlah uang tunai yang harus disimpan oleh pemberi pinjaman sebagai cadangan.

Angka perdagangan pada bulan Juni menunjukkan bahwa ekspor dan impor China naik. Aktivitas manufaktur di bulan Juni juga meluas dibandingkan dengan Mei.

“Ekspor China mendapatkan "pangsa pasar besar-besaran," saat bagian dunia lainnya dikunci,” kata Kepala Ekonom China di TS Lombard, Bo Zhuang.

Seperti diketahui, China mulai melonggarkan tindakan penguncian relatif lebih awal dari negara lain. Zhuang berharap pemulihan PDB China akan berkelanjutan dalam setidaknya dua kuartal berikutnya.

Hal ini karena ekonomi domestik tampak baik-baik saja dengan pertumbuhan infrastruktur dan perjalanan lintas provinsi yang kembali dibuka.

Zhuang bahkan memperkirakan pertumbuhan dalam dua kuartal ke depan mencapai sekitar 5 persen. Meski begitu, Biro statistik China mengakui bahwa masih ada berbagai risiko yang membayangi. Hal ini seiring dengan pandemi yang belum sepenuhnya selesai di beberapa negara lain. Bahkan juga ada yang masih menunjukkan peningkatan kasus baru.

"Mengingat penyebaran epidemi yang berkelanjutan secara global, dampak besar epidemi yang berkembang pada ekonomi global dan meningkatnya risiko dan tantangan eksternal, pemulihan ekonomi nasional masih di bawah tekanan," jelas dia.

Ekonomi dunia diperkirakan akan jatuh ke dalam resesi tahun ini. Sebab, banyak pemerintah di dunia telah menerapkan penguncian/pembatasan sosial dan aktivitas bisnis.

Melambatnya pertumbuhan permintaan global diperkirakan akan merugikan ekspor China. Tahun ini, Cina membuat keputusan untuk tidak menetapkan target PDB karena ketidakpastian dari dampak pandemi.

Saksikan video di bawah ini:


Bank Dunia: Ekonomi Global Bakal Minus 5,2 persen di 2020, Negara Maju Paling Parah

Ilustrasi pertumbuhan Ekonomi

Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen memperkirakan akan terjadi kontraksi ekonomi secara global sebesar minus 5,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di 2020.

Angka ini mencerminkan resesi global terparah sejak perang dunia II dan hampir tiga kali lebih tajam daripada resesi global 2009.

"Baik negara maju, negara emerging dan negara berkembang semua terdampak. Dan untuk tahun ini perekonomian negara maju menyusut signifikan," katanya dalam Indonesia Economic Prospect Report, secara virtual, Kamis (16/7).

Sementara untuk Asia dan wilayah pasifik diproyeksikan akan terkontraksi semakin tajam yakni 6 persen pada 2020. Itu terjadi akibat sebagian besar negara harus lockdown untuk bisa kontrol pandemi Covid-19.

"Namun tergantung penatalaksana waktu dan tentu ini pengaruhi tingkat PDB di negara tersebut," katanya.

Dia menambahkan disrupsi ekonomi terparah juga akan terjadi pada negara yang alami domestic breakout dan negara yang bergantung pada perdagangan global, pariwisata, ekspor komoditas dan pembiayaan keuangan eksternal.

Untuk Indonesia senidiri, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan turun dengan cukup signifikan. Hal tersebut didasari tiga hal, pertama kontraksi ekonomi global, kedua ekonomi Indoenesia akan terbuka kembali per Agustus, dan ketiga tidak ada gelombang kedua dari pandemi.

"Jika ketiga asumsi yang digunakan berubah maka forecast berubah," katanya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya