Liputan6.com, Jakarta - LaporCOVID-19 dengan Social Resiliance Lab Nanyang Technological University (NTU) Singapura telah menyelesaikan survei tentang persepsi risiko warga Surabaya terhadap COVID-19. Dari survei tersebut menunjukkan angka indeks wawasan risiko masyarakat Surabaya mencapai angka 3,42.
"Indeks persepsi risiko skornya 3,42 jadi kesiapan pelonggaran pembatasan sosial masih kurang siap. Idealnya itu di atas 4. Di atas 4, warga memiliki persepsi risiko tinggi dan berkorelasi terhadap perilaku kesehatan lebih baik, gunakan masker dengan baik, jaga jarak dan mencuci tangan," ujar Associate Proffesor NTU yang juga Sosiolog Bencana, Sulfikar Amir, dalam diskusi online, Kamis (16/7/2020).
Studi survei tersebut dilakukan pada 19 Juni-10 Juli 2020. Survei dilakukan secara online yang disebar melalui WhatsApp kepada warga Surabaya dan ada 34 pertanyaan. Jumlah responden yang terkumpul dari survei sebanyak 5.904 orang. Setelah data cleaning responden didapatkan 2.895 orang.
Baca Juga
Advertisement
Survei itu diikuti sebanyak 58,8 persen dijalankan oleh laki-laki dan 42,2 persen oleh perempuan. Dari segi pekerjaan, 36,6 persen adalah pegawai swasta, 15,8 persen diikuti ibu rumah tangga, dan 15,7 persen oleh pegawai negeri sipil (PNS).
Sedangkan dari pendidikan terakhir, 47,1 persen lulusan sarjana, kemudian diikuti SMA, Pascasarjana dan SMP. Sedangkan dari usia antara 36-45 tahun.Dari survei tersebut memasukkan enam variabel yang diukur antara lain risk persepsi, pengetahuan, informasi, self protection, social capital dan faktor ekonomi.
Update: Dari variabel itu, hasil survei di Surabaya menunjukkan persepsi risiko 2,81, knowledge 3,84, ekonomi 2,99, self protection 4,25, informasi 3,48 dan social capital 3,17. "Bagian self knowledge, social capital dan ekonomi dinaikkan sehingga risk perception akan naik," ujar dia.
Dari survei tersebut didapatkan sejumlah hal kalau perilaku kesehatan warga Surabaya cukup baik. Aspek perilaku kesehatan itu mulai dari mencuci tangan, penggunaan masker, jaga jarak.
"Perilaku mencuci tangan angka tinggi dengan kategori selalu capai 93 persen, sangat tinggi. Penggunaan masker 98 persen yang sering selalu dan gunakan masker. Jarang sekali dan sekali-sekali satu persen. 98 persen sering dan selalu. Sementara itu, jaga jarak yang sering 91 persen," kata dia.
Namun, nilai variabel persepsi risiko warga Surabaya rendah.Ini ditunjukkan dari survei di level individu yang hasilnya 59 persen menyatakan sangat kecil kemungkinan terinfeksi COVID-19. "Mayoritas anggap enteng kemungkinan terkena COVID-19," ujar dia.
Kemudian sekitar 60 persen persen yakin orang terdekatnya tidak terpapar COVID-19. "Dari lingkungan sekitar persepsinya membaik 48 persen, tetapi tetap ini bisa dianggap persepsi risikonya rendah," ujar dia.
Selain itu, sekitar 70 persen responden menyatakan tidak mengenal orang yang terkena COVID-19. Dalam survei itu tersebut menunjukkan kalau persepsi warga kemungkinan tertular COVID-19 risiko COVID-19 lebih besar di hajatan ketimbang pasar dan tempat bekerja.
"Risikonya lebih besar lagi kalau datang ke hajatan dan menggunakan transportasi umum. Sedangkan persepsi risiko paling rendah di tempat ibadah," ujar dia.
Sulfikar menilai, persepsi risiko kemungkinan tertular COVID-19 lebih rendah di tempat ibadah karena berkaitan dengan spritual. Ada pemikiran kalau kekuatan spritual melindungi warga saat berada di tempat ibadah sehingga kondisi tersebut pengaruhi risiko.
"Padahal saat virus tersebar di mana ada orang banyak virus itu makin banyak sebarnya, ini perlu beri tekanan," kata dia.
Sementara itu, 78 persen responden juga menyatakan kalau faktor ekonomi dan kesehatan sama penting. "Ada 14 persen faktor ekonomi lebih penting dan jauh lebih penting. Ini garisbawahi kecil 14 persen ini karena krusial di dalam masyarakat, sekelompok orang sangat penting, berakibat pada perilaku tak peduli dengan faktor kesehatan ini punya dampak terhadap seluruh warga secara kolektif," ujar dia.
Dari survei menunjukkan, kalau kondisi persepsi risiko warga Surabaya masih jauh dari siap untuk memasuki masa pelonggaran pembatasan sosial setidaknya hingga tingkat persepsi risiko mencapai lebih dari empat sehingga risiko laju penularan dapat terkendali. "Dengan demikian pembatasan sosial masih dibutuhkan setidaknya di beberapa sektor publik yang rentan penularan," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Tingkat Pengetahuan dan Informasi Perlu Ditingkatkan
Sulfikar juga menuturkan, tingkat pengetahuan dan informasi mengenai kondisi pandemi masih perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan sumber informasi yang dipercaya publik.
Oleh karena itu, ia menilai juga perlu terus menerus memperbaiki proses pemberian informasi dan pengetahuan COVID-19. Hal itu berkaitan bagaimana dengan menyusun strategi komunikasi yang bertujuan memberikan pesan lebih rasional, persuasif sehingga masyarakat memahami COVID-19.
Ia menambahkan, selain membuat susun program kampanye sosial yang efektif tetapi juga membangun infrastrukturkesehatan dan strategi epidemiologinya.
"Kita harus bekerja pada semua lini, semua lini harus dikerjakan, tidak hanya satu atau dua, harus dikerjakan secara serentak. Tetapi dari aspek pengetahuan informasi persepsi risiko yang kita sarankan sebuah bentuk kampanye sosial integrasi berbasis science, sifatnya lebih netral dan transparan sehingga warga paham dan rasional," ujar dia.
Advertisement