OPINI: Strategi dan Dampak Meninggalkan Kemasan Plastik

Pertimbangan pengubahan kemasan plastik ini harus dilihat dari perspektif industri maupun konsumen.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jul 2020, 22:01 WIB
OPINI: Strategi dan Dampak Meninggalkan Kemasan Plastik. (dok. Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kesadaran konsumen tentang bahaya plastik terhadap lingkungan, terutama untuk kemasan makanan dan minuman, saat ini telah mencapai titik kritis di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sejumlah kota besar di tanah air, misalnya, telah melarang penyediaan kantong plastik di pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar.

Kota Bogor sudah memberlakukan larangan ini sejak 1 Desember 2018 dan yang terbaru, DKI Jakarta resmi melarang penggunaan kantong plastik mulai 1 Juli 2020. 

Memang, meski plastik merupakan wadah yang relatif murah dan dapat mempertahankan rasa, serta menjaga kesegaran makanan, faktanya volume sampah plastik di lautan jadi peringatan serius akan bahayanya bagi kehidupan manusia.

Bagi konsumen, cara membantu mengatasi masalah plastik adalah dengan membangun kesadaran diri akan bahaya plastikdan mengambil langkah-langkah cerdas untuk mengurangi limbah plastik melalui lima R, yakni Refuse, Reduce, Reuse, Repurpose, dan Recycle.

Sementara bagi produsen, mereka harus memikirkan kembali strategi pengemasan produk, mengubah rencana pemasaran, dan menjalin mitra supply chain yang baru demi memutus masalah sampah plastik.


Bobot Limbah Sampah 25 Kali Lebih Berat dari Piramida Giza

Dampak lingkungan dan ekonomi dari masalah limbah plastik kini jadi sorotan banyak pihak. Pasal, hanya 14 persen kemasan plastik yang didaur ulang. Tak heran apabila plastik jadi sumber polusi terbesar di lautan.

Beberapa sumber memperkirakan bahwa limbah kemasan plastik menyumbang sekitar setengah dari total limbah plastik di dunia. Diperkirakan, permukaan lautan di dunia telah dikotori 165 juta ton sampah plastik. Itu berarti 25 kali lebih berat dari Piramida Giza.

Pada 2050, volume limbah plastik di lautan akan melebihi populasi ikan, menurut laporan Ellen MacArthur Foundation pada 2016 di perhelatan World Economic Forum. Laporan tersebut memproyeksikan lautan akan ditutupi setidaknya 937 juta ton sampah plastik pada 2050. Ini tak ubahnya membuang isi satu truk sampah ke laut setiap menit.

Negara-negara Asia sebenarnya sudah menyadari masalah ini. Mereka terdorong bersikap lebih tegas dalam mengatasi limbah plastik. Negara-negara Asia ini juga memperkuat komitmen mereka melakukan mitigasi perubahan iklim.

Indonesia misalnya, telah menjalankan program gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) sejak 2013, untuk mengurangi dan akhirnya menghapus penggunaan kantong plastik di seluruh pelosok Nusantara.

Selain itu, pemerintah baru-baru ini juga mengusulkan penerapan pajak plastik pada Februari 2020, yang bertujuan mengurangi konsumsi plastik hingga 50 persen dan akan mengenakan pajak plastik sebesar Rp30 ribu per kilogram (kg) pada produsen dan importir plastik.

Di Singapura, pemerintah mendesak warganya memikirkan perubahan iklim dengan serius, melalui anggaran belanja negara 2020, termasuk melakukan investasi berkelanjutan senilai 6 miliar dolar Amerika, dengan tetap memperbarui komitmen terhadap Perjanjian Paris.

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Malaysia baru-baru ini telah mengembalikan 150 kontainer sampah plastik kiriman dari negara-negara kaya. Malaysia menyatakan negaranya bukan tempat pembuangan sampah dunia.

Langkah-langkah tersebut membuktikan bahwa industri memang perlu mengambil langkah cepat untuk mengurangi keterlibatan mereka dalam masalah sampah plastik atau menghindari risiko terkena sanksi.


Hal-Hal yang Perlu Dilakukan untuk Mengubah Kemasan

Meninggalkan kemasan plastik itu tak ubahnya pepatah, "back to the drawing board", yang maknanya kurang lebih melakukan perencanaan ulang. Walau, konsekuensinya cukup kompleks.

Berbagai faktor harus dipertimbangkan, mulai dari ukuran kemasan hingga pemberian label, serta pengiriman karena produsen mulai bermigrasi ke bentuk kemasan terbuat dari bahan ramah lingkungan. Material lawas seperti kaca dan kertas akan kembali populer dan penggunaan kemasan plastik sekali pakai akan ditinggalkan.

Penggunaan kemasan ramah lingkungan juga akan memengaruhi biaya dan margin. Produsen harus tahu apakah konsumen premium bersedia membayar untuk bentuk kemasan alternatif dan kemudahan apa yang rela ditinggalkan untuk mengurangi dampak lingkungan dari kemasan favorit mereka.

Hal ini tidak bisa terjadi dalam semalam karena beberapa pertanyaan akan sulit dijawab. Diperlukan pertimbangan dari kacamata ilmu pengetahuan, logistik, keuntungan, dan opini publik. Beberapa data seputar biaya pokok dan dampak lingkungan mungkin akan memerlukan studi bertahun-tahun, serta analisa lanjutan sebelum mengambil kesimpulan.

Contoh, para ilmuwan tampaknya setuju bahwa kaca lebih mudah didaur ulang daripada plastik. Tetapi, perlu diketahui juga bahwa proses daur ulang kaca menghabiskan banyak energi. Apakah penggunaan energi ini justru jadi lebih buruk bagi lingkungan daripada menggunakan plastik atau mengurangi kemasan sekali pakai sama sekali?

Topik-topik ini kemungkinan akan terus dibahas dan jadi bahan perdebatan selama beberapa waktu. Topik itu juga akan terus memicu reaksi konsumen dan membuat produsen merasa tak nyaman. Tak diragukan lagi, data yang memadai akan sangat membantu dalam mengambil kesimpulan logis, berkomitmen pada konsumen, dan stakeholder lain.


Peluang yang Siap Dimanfaatkan

Konsumen mengharapkan adanya perubahan dan brand akan kian melakukan seleksi berdasarkan tanggung jawab sosial.

Unilever telah melakukan penelitian yang mengungkap, sepertiga konsumen sekarang membeli produk sebuah brand berdasarkan dampak sosial dan lingkungan. Penelitian ini menunjukkan bahwa kini ada peluang baru bagi perusahaan untuk terus memimpin pasar.

Dari survei diketahui bahwa satu dari lima orang atau sekitar 21 persen secara aktif akan memilih brand dengan rencana berkelanjutan yang jelas terhadap kemasan dan pemasaran. Potensi peluang yang belum dimanfaatkan mencapai lebih dari 1 triliun dolar Amerika.

Unilever pun menerapkan strategi keberlanjutan pada beberapa mereknya, seperti Hellmann's dan Ben &Jerry's. Hasilnya, brand yang membawa pesan-pesan tentang kelestarian, bisnisnya bisa tumbuh 30 persen lebih cepat daripada yang lain.

Pabrikan yang sangat memahami pasar akan mulai mengubah strategi pengemasan mereka agar lebih selaras dengan ekspektasi konsumen.


Produsen Harus Menerapkan Cara Kerja Baru

Mengubah kemasan bukanlah proyek sederhana. Sebagai contoh, mengubah kemasan plastik dengan bentuk segel pull-top ke stoples kaca dengan tutup logam model screw-on ternyata membutuhkan banyak pertimbangan, mulai dari berat wadah, kenyamanan bagi konsumen, kemudahan pengiriman, dan kerugian karena kerusakan.

Stoples kaca atau logam memang jauh lebih berat dan tidak nyaman, sehingga kemasan kotak makan siang jadi tak praktis. Jadi, bagaimana sebuah produk bisa dikemas ulang sehingga masih dapat memenuhi kebutuhan konsumen?

Mempertimbangkan atau melakukan sejumlah riset pasar dan berinteraksi dengan konsumen mungkin diperlukan untuk merumuskan sebuah strategi baru.

Wadah dari kaca yang lebih berat juga akan memengaruhi biaya pengiriman dan wadah pengirimannya harus disesuaikan untuk mencegah kerusakan. Wadah dari kaca juga membutuhkan penyesuaian tempat di rak-rak ritel dan cara baru memperdagangkannya.

Karena kemasan kaca transparan, penampilan produk tentu akan lebih penting. Dibutuhkan juga mesin baru untuk mengisi, menyegel, dan memberi label pada kontainer kaca.


Menciptakan Strategi Perubahan yang Kohesif melalui Lifecycle Produk

Berbagai pertimbangan di atas harus masuk ke dalam strategi kohesif dengan profit impact yang perlu dianalisa dengan cermat. Teknologi dapat membantu pabrikan melacak dan memonitor seluruh lifecycle suatu produk, mulai dari riset dan pengembangan, melakukan pengujian produk, hingga strategi penetapan harga.

Product Lifecycle Management membantu menyederhanakan kerumitan dalam pengaturan kemasan, memungkinkan manajer untuk membagi tugas jadi langkah-langkah yang mempermudah pengelolaan proyek.

Para pemimpin perusahaan juga bisa diberdayakan dengan data mengenai spesifikasi kemasan, batch formula, dan kebutuhan pengiriman, sehingga mereka tetap mendapat informasi tentang kemajuan transisi dan proyeksi saat hendak melakukan peluncuran produk baru.

Kemampuan untuk mengakses dan berbagi data juga akan membantu individu dalam berkolaborasi dan mendokumentasikan keputusan penentuan strategi, menerapkan algoritma penetapan harga yang dinamis, dan taktik untuk go-to-market.

Analisa prediktif akan sangat membantu karena pabrikan harus mempertimbangkan biaya pengemasan alternatif dan memahami dampak mendasar dari pengemasan baru.

Perubahan pada proses internal, seperti mesin re-tooling, serta konsekuensi pengiriman, perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Manajer ingin membandingkan skenario "What If" ketika mereka memikirkan pilihan.

Analisis modern juga didorong oleh AI dan machine learning. Ini akan sangat penting untuk menyusun strategi baru agar selaras dengan harga yang pas bagi konsumen.


Jadi Bagian dari Solusi

Ketika konsumen jadi lebih vokal menyuarakan ekspektasi mereka mengenai kemasan ramah lingkungan dengan mengurangi plastik, pabrikan juga perlu memikirkan kembali lini produk mereka dan mempertimbangkan kemasan baru.

Ketika industri makanan dan minuman melakukan transformasi ini, banyak proses internal dan strategi go-to-market yang harus dipertimbangkan.

Ini adalah kesempatan untuk mempertimbangkan pemahaman menyeluruh tentang dampak lingkungan dari sebuah brand. Ini tidak hanya akan memenuhi permintaan konsumen, tetapi juga baik untuk Bumi.

Meski masalahnya kompleks, banyak yang memengaruhi keuntungan, teknologi tetap akan membantu menyederhanakan pengambilan keputusan, kolaborasi, dan berjejaring dengan vendor potensial. Intinya adalah bahwa tantangan ini tidak akan hilang segera, tetapi produsen yang bertindak sekarang akan jadi bagian dari solusi, bukan masalah.

 

**Penulis adalah Fabio Tiviti, Head of ASEAN Region. Ia menghabiskan waktu 12 tahun bekerja di SME dan segmen Business Development di berbagai wilayah berbeda. Di awal kariernya, Tiviti bekerja di Legrand SpA sebagai National Product Manager.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya