Liputan6.com, Jakarta - Laporan keuangan Tahun 2019 dari 84 Kementerian dan Lembaga (LKKL) mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kemudian, 2 Kementerian dan Lembaga mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Selain itu masih ada 1 Kementerian dan Lembaga yang mendapat opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jumlah Kementerian dan Lembaga yang mendapatkan opini WTP meningkat, dari 81 LKKL untuk laporan keuangan 2018 menjadi 84 Kementerian dan Lembaga untuk laporan keuangan 2019.
Advertisement
Pada 2019 ini, Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) juga kembali mendapatkan opini WTP dari BPK. Opini WTP atas LKBUN Tahun 2019 merupakan opini WTP yang keempat kalinya secara berturut-turut sejak LKBUN Tahun 2016.
Dengan kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019 yang semakin baik, maka informasi yang disajikan dalam setiap komponen LKPP dapat menggambarkan beberapa hal.
Pertama, ketaatan pemerintah dalam melaksanakan APBN yang tetap terjaga. Dan apabilaterdapat hal-hal yang masih perlu diperbaiki dapat terus disempurnakan dalam pelaksanaan APBN tahun berikutnya.
Kedua, informasi mengenai hasil pembangunan yang telah dicapai dapat diketahui oleh seluruh stakeholder sebagai suatu sinyal positif, serta menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah dan DPR untuk perbaikan di masa mendatang.
Ketiga, pencatatan aset, kewajiban, dan kekayaan bersih Pemerintah Pusat semakin akurat dan kredibel, sehingga menjadi modal dalam perumusan kebijakan publik yang lebih baik.
“Pemerintah secara konsisten dan terus menerus berupaya agar informasi yang disajikan dalam LKPP semakin berdaya guna dalam pengambilan kebijakan, bermanfaat lebih luas, serta mendukung pencapaian kesejahteraan masyarakat dan tujuan nasional,” jelas Sri Mulyani.
BPK Beri Opini WTP ke Laporan Keuangan Pemerintah 2019
Sebelumnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna melaporkan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Laporan keuangan tersebut mengkonsolidasi 87 Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) dan 1 Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN).
Atas ke-88 Laporan Keuangan tersebut, BPK memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian terhadap 84 LKKL dan 1 LKBUN (96,5 persen), Wajar Dengan Pengecualian terhadap 2 LKKL (2,3 persen) dan Tidak Menyatakan Pendapat pada 1 LKKL (1,2 persen).
"Oleh karena itu, dengan mengkonsolidasi hasil pemeriksaan atas 87 LKKL dan 1 LKBUN Tahun 2019, akhirnya BPK memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2019," ujar Agung dalam rapat paripurna di DPR, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Agung mengatakan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2019, menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan per tanggal 31 Desember 2019, dan realisasi anggaran, operasional, serta perubahan ekuitas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan.
"Namun demikian, penting untuk ditekankan bahwa dengan opini wajar tanpa pengecualian tidak berarti LKPP bebas dari masalah. BPK mengidentifikasi sejumlah masalah, baik dalam sistem pengendalian internal (SPI) maupun dalam kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang harus ditindaklanjuti," jelasnya.
Advertisement
13 Temuan Masalah Oleh BPK
Adapun temuan permasalahan terkait kelemahan sistem pengendalian internal dan kepatuhan oleh BPK tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Kelemahan dalam penatausahaan Piutang Perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak.
2. Kewajiban Pemerintah selaku Pemegang Saham Pengendali PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) belum diukur/diestimasi.
3. Pengendalian atas pencatatan Aset Kontraktor Kontrak Kerjasama dan Aset yang berasal dari pengelolaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia belum memadai.
4. Pengungkapan Kewajiban Jangka Panjang atas Program Pensiun pada LKPP Tahun 2019 sebesar Rp2.876,76 Triliun belum didukung Standar Akuntansi.
5. Penyajian Aset yang berasal dari realisasi Belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat sebesar Rp44,20 Triliun pada 34 K/L tidak seragam, serta terdapat penatausahaan dan pertanggungjawaban realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat yang tidak sesuai ketentuan.
6. Penyaluran dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit (PPKS) Tahun 2016 - 2019 pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Kementerian Keuangan belum sepenuhnya dapat menjamin penggunaannya sesuai tujuan yang ditetapkan karena identitas Pekebun penerima dana PPKS belum seluruhnya valid dan adanya dana PPKS yang belum dipertanggungjawabkan.
7. Skema pengalokasian anggaran Untuk Pengadaan Tanah Proyek Strategis Nasional pada Pos Pembiayaan tidak sesuai dengan PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan dan Investasi Tanah PSN untuk kepentingan umum tidak sesuai dengan PP Nomor 63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah.
8. Ketidaksesuaian waktu pelaksanaan program/kegiatan dengan tahun penganggaran atas kompensasi Bahan Bakar Minyak dan listrik.
9. Adanya Kelemahan dalam Penatausahaan dan pencatatan Kas Setara Kas, Persediaan, Aset Tetap, dan Aset Tak Berwujud, terutama pada kementerian negara/lembaga. Masalah yang teridentifikasi adalah penggunaan rekening pribadi untuk pengelolaan dana yang bersumber dari APBN, Saldo Kas yang Tidak sesuai dengan fisik, sisa kas terlambat/belum disetor dan penggunaan kas yang tidak dilengkapi dokumen pertanggungjawaban pada 34 Kementerian/ Lembaga, terdapat ketidaksesuaian pencatatan persediaan dengan ketentuan pada 53 Kementerian/Lembaga, dan pengendalian atas pengelolaan Aset Tetap pada 77 Kementerian/Lembaga yang belum memadai berdampak adanya saldo BMN yang tidak akurat.
10. Terdapat surat tagihan pajak atas kekurangan setor yang belum diterbitkan oleh Ditjen Pajak dan keterlambatan penyetoran pajak dengan sanksi.
11.Pemberian fasilitas transaksi impor yang dibebaskan dan/atau tidak dipungut PPN dan PPh-Nya pada Ditjen Pajak yang terindikasi bukan merupakan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis dan terdapat potensi kekurangan penetapan Penerimaan Negara dari Pendapatan Bea Masuk/Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) pada Ditjen Dea dan Cukai.
12. Terdapat kewajiban restitusi pajak yang telah terbit Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) namun tidak segera diproses pembayarannya, terindikasi belum diterbitkan SKPKPP-nya, serta keterlambatan penerbitan SKPKPP pada Direktorat Jenderal Pajak.
13. Adanya pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Piutang, serta penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban Belanja yang belum sesuai ketentuan pada sejumlah kementerian negara/lembaga.