Liputan6.com, Jakarta - Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Adik Dwi Putranto menilai kewajiban pekerja asal luar kota Surabaya, Jawa Timur seharusnya tidak diberlakukan. Akan tetapi, ia menilai sanksi lebih dipertegas untuk warga yang melanggar protokol kesehatan.
Ia menanggapi terkait Perwali No 33 tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi COVID-19 di Surabaya, yang salah satu isinya mewajibkan pekerja asal luar kota membawa bukti tes cepat dengan hasil nonreaktif, atau swab tes negatif saat hendak masuk ke kota.
"Seharusnya kewajiban itu tidak diberlakukan, namun lebih dipertegas pada sanksi bagi warga yang melanggar protokol kesehatan, bukan kewajiban tes cepat bagi pekerja saat hendak masuk Surabaya," kata Adik, di Surabaya, Kamis, (16/7/2020), seperti dikutip dari Antara.
Baca Juga
Advertisement
Adik mengatakan, sebagian besar pekerja di Surabaya berasal dari luar kota, dan apabila semua pekerja diwajibkan tes cepat akan banyak mengganggu aktivitas serta menghambat perputaran ekonomi di Kota Pahlawan.
Ia mengatakan, pelaksanaan tes cepat tentu akan menambah biaya yang dikeluarkan bagi seorang pekerja apabila hendak bekerja di Surabaya, dan itu dilakukan sering, mengingat rutinitas pekerja yang keluar masuk di Surabaya.
"Bayangkan, setiap bulan pekerja harus bolak-balik melakukan rapid tes sebanyak dua kali, karena masa berlaku surat rapid test itu adalah 14 hari. Hal ini tentu akan mengganggu," ujar dia.
Oleh karena itu, Adik meminta pemerintah Kota Surabaya lebih bijak memberi persyaratan kepada orang yang akan masuk kota, sebab kemudahan itu akan menggerakkan ekonomi secara cepat.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Kewajiban Rapid Test Dinilai Beban bagi Industri
Sebelumnya, Kadin Jatim juga menolak pemberlakukan tes cepat sebagai syarat membuka usaha bagi kalangan industri, dan meminta agar kewajiban itu dibebankan kepada pemerintah, karena selama masa pandemi COVID-19 sebagian besar pengusaha dinilai mengalami kerugian.
Adik mengatakan, kewajiban itu menjadi beban industri apabila biayanya dibebankan pada pengusaha, sebab selama ini kalangan industri atau atau pengusaha banyak yang merugi akibat COVID-19.
Ia mengatakan, selama pandemi COVID-19 dan masa PSBB, banyak industri di Jatim yang terpaksa merumahkan karyawannya, sebab kondisi ekonomi tidak memungkinkan untuk diputar setelah adanya kebijakan pemerintah untuk bekerja di rumah.
"Sesuai catatan kami, industri sepatu merumahkan sekitar 50 ribu karyawannya, sedangkan perhotelan dan restoran sekitar 80 persen karyawan tidak bekerja. Dan sampai sekarang, mereka belum jelas nasibnya," kata Adik.
Oleh karena itu, Adik berharap kebijakan pemerintah Kota Surabaya yang kembali membuka kran industri di masa normal baru bisa didukung dengan aturan yang memihak masyarakat dan pengusaha, agar ekonomi kembali berputar.
"Saya yakin kalangan industri dan karyawannya akan mematuhi protokol kesehatan karena hal itu sudah menjadi bagian hidup di normal baru masyarakat. Namun apabila dibebankan dengan kewajiban rapid test, hal ini akan menjadi beban sendiri," ujar dia.
Sementara itu, Pemkot Surabaya menerbitkan Perwali No 33/2020 sebagai perubahan atas Perwali No 28/2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Surabaya.
Salah satu aturannya, mewajibkan pekerja asal luar kota membawa surat bukti rapid test dengan hasil nonreaktif, atau swab tes negatif, saat hendak masuk ke Kota Surabaya, dan ada pada Pasal 12 ayat (2) huruf f.
Advertisement