Terdakwa Penyerang Novel Divonis 2 Tahun, Hakim Dinilai Terlalu Banyak Basa Basi

Rizqi menilai, tidak ada pemaknaan ultra petita dalam putusan hakim. Sebab, putusan 2 tahun masih di bawah hukuman yang dijatuhkan pasal 353 ayat 2 yaitu seharusnya maksimal 7 tahun.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 17 Jul 2020, 08:39 WIB
Pewarta merekam layar monitor yang menampilkan dua terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette (kanan) dan Rony Bugis yang mengikuti sidang putusan secara teleconference di PN Jakarta Utara, Kamis (16/7/2020). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Legal Culture Institute, Rizqi Azmi, menilai kewibawaan hukum telah hilang dalam vonis kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Dari analisisnya, awal tuntutan 1 tahun jaksa terhadap pelaku RK dan RB telah memberikan sinyal bahwa hukuman hakim tidak akan jauh dari tuntutan. 

"Karena jaksa sudah memberikan frame dalam logika hukum publik bahwasanya actus reus ( kejadian tindak pidana) dan mens rea ( sikap kebatinan) dalam kejadian ini bukan hal yang luar biasa," tulis Rizqi dalam keterangan tertulis diterima, Jumat (17/7/2020).

Rizqi melanjutkan, vonis 2 tahun utk RK dan 1 tahun 6 bulan untuk RB, dipandang hanya sebagai basa-basi di tengah gencarnya publik membedah tuntutan jaksa yang di luar nalar dan hati nurani keadilan. 

"Karena melihat konstruksi vonis tetap berpatokan kepada pasal 353 ayat 2 jo pasal 55 ayat 1 sesuai arah mata angin tuntutan.jadi memang tidak ada hal yang luar biasa vonis di atas tuntutan jaksa ini," jelas Rizqi.

Rizqi menilai, tidak ada pemaknaan ultra petita dalam putusan hakim. Sebab, putusan 2 tahun masih di bawah hukuman yang dijatuhkan pasal 353 ayat 2 yaitu seharusnya maksimal 7 tahun. 

"Hakim tidak berani memutuskan dengan dakwaan primer yaitu pasal 355 ayat 1 yaitu penganiayaan berat, inilah kelemahan dan basa basi seakan-akan meredam tuntutan publik dan kebutuhan terpidana," tuding Rizqi.

Hakim Terjebak Dilema Putusan

Sebagai bahan eksaminasi hukum, Rizqi menilai, Hakim sebenarnya mempercayai bahwa kasus ini adalah kasus berat dan perlu pendalaman seperti kasus munir dan marsinah. 

Kendati, hakim terlalu menelaah secara positifis dalam kerangka dakwaan sesuai tuntutan yang mematikan nalar rechtvinding (penemuan hukum). 

"Hakim terjebak dalam dilema putusan yang berakibat absurd action dalam teori logika hukum. Jadi dipelintir kepada penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Bukan mengambil delik penganiayaan berat dengan perencanaannya," beber Rizqi. 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Sikap Hakim Dinilai Pasif

Pewarta merekam layar monitor yang menampilkan dua terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, Rahmat Kadir Mahulette (kanan) dan Rony Bugis yang mengikuti sidang putusan secara teleconference di PN Jakarta Utara, Kamis (16/7/2020). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Rizqi menyayangkan, sikap Hakim yang seharusnya berfikir progresif dan tidak pasif. Dia meyakini banyak hal yang bisq dikembangkan, misalkan bukti yang dibantah Novel tidak sesuai kenyataan dan rekaman cctv, saksi ahli yang banyak dihadirkan untuk mengelaborasi kejadian.

"Saya melihatvbeban hakim untuk memutuskan secara adil dan menggunakan ultra petita. Ada banyak tekanan di luar meja hijau yang menjadi pertimbangan para hakim," duga Rizqi.

Rizqi mengakhiri, vonis ini menguatkan hasil riset Legal Culture Institute bahwa kewibawaan dan kepercayaan publik terhadap penegak hukum telah mati seiring dengan putusan hakim dan keengganan jaksa untuk banding. 

"Benteng keadilan telah roboh dan legitimasi hukum di cerabut dari akarnya dan menyisakan monumen pencitraan di konstitusi dengan sandiwara di ruang hampa pengadilan," Rizqi menandasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya