Rekor Suhu Musim Panas Siberia, Sentuh 38 Derajat dan Picu Kebakaran Hutan

Siberia mencatat rekor suhu panas tertinggi yang picu kebakaran hutan.

Oleh DW.com diperbarui 17 Jul 2020, 10:57 WIB
ilustrasi gelombang panas tinggi. (iStockphoto)

Arktik - Musim panas tahun ini, Siberia dilanda suhu yang tak seperti biasanya. Bahkan sampai memicu kebakaran hutan cukup luas.

Kawasan di Arktik Rusia ini terkenal dengan rekor suhu dingin hingga minus 70° C, dan selama 9 bulan ditutupi lapisan es. Tapi musim panas ini Siberia dilanda gelombang panas sampai 38 derajat Celsius.

“Fenomena ini nyaris mustahil terjadi, jika tidak ada pengaruh aktivitas manusia“, kata Andrew Ciavarella, ilmuwan dari Met Office Inggris yang memimpin penulisan laporan ilmiah itu seperti dikutip dari DW Indonesia, Jumat (17/7/2020).

Riset terbaru yang digelar sebuah tim internasional dari Rusia, Inggris, Jerman, Prancis, Belanda dan Swiss menemukan, efek rumah kaca meningkatkan kemungkinan gelombang panas di Siberia hingga 600 kali lipatnya. Riset memonitor temperatur dari bulan Januari hingga Juni, termasuk hari-hari dimana suhu mencapai 38°C di kota Verkhoyansk.

Temperatur Ekstrem Global Makin Sering

Para ilmuwan menemukan, tanpa pemanasan global, gelombang panas berkepanjangan yang dialami Siberia saat ini hanya akan terjadi sekali dalam periode 80.000 tahun. 

"Ini merupakan bukti lebih lanjut dari temperatur ekstrem yang kami perkirakan akan lebih sering melanda dunia, dalam iklim yang lebih panas“, tambah Ciavarella.

Tim ilmuwan menggunakan 70 model iklim, untuk melakukan ribuan simulasi yang rumit membandingkan kondisi aktual, dengan kondisi dunia tanpa pemanasan global akibat aktivitas manusia, dari pembakaran batubara, minyak dan gas bumi. Para ilmuwan menekankan, fenomena gelombang panas di Siberia sebetulnya merupakan masalah bagi seluruh dunia.

Saksikan Juga Video Ini:


Anomali Gelombang Panas Berkepanjangan

ilustrasi gelombang panas. (source: thinkprogress.org)

Sekitar 1,5 juta hektar hutan di Siberia terbakar dan melepas jutaan ton emisi CO2 ke atmosfir. Dalam waktu yang bersamaan, kebakaran hutan dan gelombang panas berkepanjangan, memicu lumernya lapisan permafrost. Semua itu memberi kontribusi besar pada cuaca ekstrim di kawasan. 

Peneliti Iklim Anders Levermann dalam wawancara dengan DW mengatakan; sejauh ini belum dipahami, mengapa anomali panas ini berlangsung lebih lama? “Ini fenomena iklim baru yang harus diteliti lebih lanjut.“

Levermann juga menyebutkan, lumernya lapisan permafrost melepas emisi Methana ke atmosfir, dan gas rumah kaca ini beberapa kali lipat lebh kuat efeknya dibanding CO2. “Ini merupakan ancaman global jangka panjang, karena meningkatnya emsi gas methana dari Siberia, akan mempercepat pemanasan global dan perubahan iklim global.“

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya