Pandemi COVID-19 Belum Berakhir, Pembukaan Bioskop Masih Perlu Ditunda

Batas waktu penundaan ini belum dapat ditetapkan mengingat tingkat kasus Corona di Indonesia masih tinggi.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 20 Jul 2020, 15:00 WIB
Ilustrasi bioskop. (Foto: atas perkenan Deri Irawan Cinema XXI)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pakar lintas bidang ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) telah melakukan diskusi dan meminta Pemerintah DKI untuk menunda pembukaan bioskop. Batas waktu penundaan ini belum dapat ditetapkan mengingat tingkat kasus COVID-19 masih tinggi.

Seperti disampaikan dr. Anis Karuniawati, SpMK(K), PhD Ketua Satuan Tugas COVID-19 FKUI dan Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB Dekan FKUI dalam keterangan pers.

Menurut keduanya, ruangan bioskop pada umumnya adalah ruangan tertutup tanpa ventilasi dengan pendingin udara yang bersirkulasi di dalam ruangan.

Apabila ada 1 orang pengunjung saja tanpa gejala tapi membawa virus maka akan berpotensi menjadi sumber penyebaran virus kepada pengunjung lainnya.

“Durasi film yang minimal 1,5 jam akan meningkatkan waktu paparan dan meningkatkan jumlah partikel aerosol yang terhirup,” seperti dikutip dari rilis (20/7/2020).

Simak Video Berikut Ini:


Beberapa Pertimbangan

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah:

1. Tanggung jawab masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan sampai saat ini masih kurang. Peningkatan jumlah kasus di DKI Jakarta saat masa transisi PSBB selain karena adanya active case finding tetapi juga ada faktor masyarakat abai menerapkan protokol kesehatan, seperti mengutip rilis FKUI.

2. Berdasarkan scientific brief yang diterbitkan oleh WHO tanggal 9 Juli 2020, dinyatakan bahwa penyebaran atau transmisi virus kemungkinan dapat terjadi melalui droplet, airborne, kontak langsung, kontak tidak langsung (fomite), fecal oral, darah, ibu ke anak, dan hewan ke manusia.

Dalam hal ini ditekankan penyebaran melalui airborne, yang merupakan pernyataan WHO yang belum pernah disampaikan sebelumnya. Transmisi secara airborne adalah penyebaran mikroba, dalam hal ini virus melalui aerosol yang tetap bersifat infeksius meskipun terbawa angin dalam jarak jauh.

Pada awalnya diketahui bahwa penyebaran virus dapat terjadi ketika dilakukan tindakan medis yang mengakibatkan terbentuknya aerosol (aerosol generating procedures). Namun demikian beberapa data hasil penelitian membuktikan bahwa aerosol mengandung virus dapat terbentuk dari droplet yang mengalami penguapan ataupun ketika seseorang berbicara atau bernapas.

Aerosol kemudian dihirup oleh seseorang yang peka dengan dosis infeksi yang sampai saat ini belum diketahui namun virus dapat bertahan dalam keadaan hidup pada aerosol selama 3-16 jam tergantung suhu, kelembaban dan kepadatan orang.

Penemuan ini didukung dengan adanya laporan beberapa klaster COVID-19 yang berhubungan dengan berkumpulnya sekelompok orang di dalam ruang tertutup, misalnya pada kegiatan paduan suara, restoran, dan fitness. Ruangan tertutup tersebut juga merupakan ruangan dengan ventilasi yang tidak optimal dan kegiatan atau pertemuan dalam waktu yang relatif lama.

Data yang juga harus dipertimbangkan adalah bahwa seseorang yang tampak sehat, tanpa keluhan tidak menjamin bebas dari virus. Orang tanpa gejala inilah yang bisa menjadi sumber penularan di komunitas.

Virus dapat dideteksi di tubuh seseorang pada 1-3 hari sebelum timbul keluhan atau minimal selama 1-2 minggu pada orang tanpa gejala. Dapat juga lebih dari 3 minggu pada seseorang dengan COVID-19 meskipun gejala telah hilang. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya