Liputan6.com, Jakarta Warga yang akan bepergian dengan menumpang pesawat terbang harus melengkapi dokumen keberangkatan dengan hasil non reaktif rapid test atau negatif PCR. Aturan tersebut sesuai Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 9 Tahun 2020 tertanggal 26 Juni 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Calon penumpang bisa menjalani tes cepat dan PCR dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang menyediakan tes tersebut beberapa hari sebelum keberangkatan. Sementara bagi calon penumpang pesawat yang belum menjalani rapid test, maskapai juga menyediakan fasilitas pemeriksaan. Beberapa hari sebelum keberangkatan, calon penumpang pesawat akan diminta datang untuk tes rapid test.
Advertisement
Salah seorang teman, sebut saja Jessy pun bercerita:
"Aku mau pulang ke kampung halaman di Nusa Tenggara Timur. Ada urusan keluarga mendesak. Sebenarnya sudah sejak Juni pengen pulang, tapi tertunda terus. Nah, buat naik pesawat itulah, Aku harus rapid test dulu, lagi bingung juga, apakah rapid test di maskapainya (bandara) atau rumah sakit," cerita Jessy saat mengobrol dengan Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, ditulis Senin (20/7/2020).
Ia juga mempertimbangkan harga pemeriksaan rapid test dan estimasi waktu yang antara pemeriksaan dengan jadwal keberangkatan pesawat.
"Misalnya, jadwal keberangkatan Aku minggu depan. Ya, minimal besok atau beberapa hari ke depan Aku harus periksa rapid test. Aku sudah cari-cari rumah sakit yang menyediakan rapid test. Mahal juga. Takutnya juga kalau telat periksa rapid test atau ternyata hasilnya cukup lama keluar jadi enggak bisa berangkat," lanjut Jessy dengan nada sendu.
Dari contoh cerita Jessy yang harus berjuang mendapatkan pemeriksaan rapid test sebelum naik pesawat, Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PadKLIn) merekomendasikan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) PCR untuk syarat perjalanan, terutama perjalanan dengan menggunakan pesawat.
Dalam hal ini, pemeriksaan rapid test dan PCR yang dilakukan calon penumpang pesawat beberapa hari sebelum keberangkatan, tidak menjamin aman dari COVID-19.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Hasil Non Reaktif atau Negatif Palsu
Rekomendasi pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) PCR untuk syarat perjalanan sudah disampaikan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo melalui surat edaran tertanggal 6 Juli 2020. Surat edaran yang sempat beredar viral tersebut ditandatangani Ketua Umum Pengurus Besar PDS PatKLIn Aryati.
Di sela-sela aktivitas, Aryati menjelaskan maksud surat edaran dan rekomendasi terkait TCM PCR kepada Health Liputan6.com.
"Saya jelaskan pertama-tama dulu ya. Soal surat edaran yang tersebar itu sebenarnya ditujukan untuk Ketua Gugus Tugas Nasional, bukan disebarluaskan secara publik, tapi entah kenapa beredar di media sosial," ujar Aryati membuka percakapan dengan Health Liputan6.com lewat sambungan telepon.
"Suratnya untuk menanggapi Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 9 Tahun 2020 tertanggal 26 Juni 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)."
Di dalam surat edaran Gugus Tugas Nasional disebut kriteria perjalanan orang menggunakan transportasi umum harus menunjukkan surat keterangan uji tes PCR dengan hasil negatif atau surat keterangan uji Rapid Test Antibodi Virus SARS-CoV-2 dengan hasil non reaktif yang berlaku 14 hari pada saat keberangkatan.
"Nah, rapid test seharusnya dua kali. Jika hasilnya non reaktif, maka diperiksa lagi 7 sampai 10 hari ke depan. Karena kan bisa saja, antibodi kita belum mendeteksi adanya virus Sars-CoV-2, maka tesnya harus diulang lagi. Lha ini kok baru satu kali rapid test, hasil non reaktif sudah boleh terbang," jelas Aryati.
"Jelas, enggak ada yang bisa jamin juga kan. Bisa saja selama menunggu hari keberangkatan, orang yang bersangkutan sudah terpapar virus Corona. Contohnya, saya positif COVID-19, anak saya kena tracing dan diperiksa swab. Padahal, dia di kantornya sudah ikut rapid test dengan hasil non reaktif. Tapi setelah swab, hasil swab positif. Terbukti bahwa non reaktif itu bahaya banget buat terbang karena tidak ada jaminan bebas COVID-19."
Ia melanjutkan hasil rapid test dan PCR untuk calon penumpang pesawat yang non aktif atau negatif bisa saja bukan hasil sebenarnya. Artinya, hasil pemeriksaan bisa saja non reaktif atau negatif palsu. Dari penelitian yang dilakukan PDS PatKLIn terhadap hasil pemeriksaan rapid test dengan hasil reaktif juga bisa bersifat reaktif palsu.
"Untuk hasil reaktif rapid test, dari penelitian yang kami lakukan di Indonesia terhadap 75 alat rapid test, banyak yang spesifitasnya rendah. Jadi, kalau hasilnya reaktif itu sesungguhnya pas dicek PCR, ya hasilnya negatif," ujar Aryati.
Advertisement
Tidak Diperiksa pada Hari Keberangkatan
Pemeriksaan rapid test memang bukan untuk mendiagnosis seseorang kena COVID-19 atau tidak. Lantas mengapa PDS PadKLIn tidak menganjurkan PCR sebagai syarat perjalanan? Padahal, PCR dengan cara usap (swab) untuk mendiagnosis COVID-19.
"Itu betul. Kalau PCR kan bagus, kok malah enggak boleh? PCR tentu bagus, kalau dilakukan pada hari keberangkatan. Kalau tes PCR sendiri diambil swab tanggal 1 misalnya. Lalu hasilnya baru keluar 7 hari, 5 hari atau seminggu kemudian, apakah hasilnya sudah terjamin orang yang bersangkutan benar-benar negatif?" Aryati menambahkan.
"Banyak lho hasil PCR yang baru keluar tiga minggu lebih. Di surabaya ini juga ada yang sebulan baru keluar hasil PCR-nya. Hasil yang negatif, belum tentu benar-benar negatif. Bisa saja setelah diswab, dia terpapar Sars-CoV-2 pada tanggal 2, 3 atau 4. Jadi, enggak bisa donk dijadikan jaminan atau acuan buat terbang."
Pemeriksaan PCR memiliki sensitivitas 60-80 persen, sehingga masih dapat terjadi hasil negatif palsu. Apabila hasil PCR itu positif, Aryati tidak mempermasalahkan. Asalkan pemeriksaan dilakukan tanpa kesalahan pengerjaan dan tepat pada hari keberangkatan calon penumpang pesawat, bukan jauh-jauh hari diswab.
"Saya menekankan, selain pengambilan swab PCR tidak real time di hari keberangkatan calon penumpang pesawat juga sensitivitasnya yang masih dapat terjadi negatif palsu. Begitu juga dengan rapid test yang saya tidak sarankan karena pemeriksaan dan hasilnya tidak dilakukan pada hari keberangkatan," lanjutnya.
TCM PCR dan Protokol Kesehatan
Agar calon penumpang pesawat terjamin dirinya bebas COVID-19, TCM PCR menjadi salah satu rekomendasi PDS PadKLIn kepada Gugus Tugas Nasional. Pemeriksaan TCM PCR ini bisa dilakukan sebelum calon penumpang pesawat berangkat dan dilakukan pada hari keberangkatan.
"Saya bilang rekomendasi dengan penjajakan TCM PCR. Alat ini mereknya macam-macam. Tinggal dicek sensitivitas dan validasinya, bagus atau enggak. Kalau bagus ya taruh saja ada beberapa alat begitu di bandara dan dikerjakan di lab kecil. Setelah itu, penumpang bisa langsung terbang," Aryati menjelaskan.
"Proses hasil keluar TCM 45 menit. Itu baru di dalam alatnya lho ya. Kalau keseluruhan proses kan belum termasuk nge-swab, spesimen dimasukin ke tabun VTM. Kemudian dikerjakan petugas. Total bisa dua jam selesai."
Aryati menyarankan TCM PCR bisa dikerjakan di dalam atau luar bandara yang dilengkapi laboratorium kecil. Hasil pemeriksaan ini pun dinilai real time, hasil tepat keluar sebelum calon penumpang pesawat terbang di hari keberangkatan.
"Terserah mau dikerjakan di bandara atau di luarnya asalkan pemeriksaan dilakukan pada hari keberangkatan. Jadi, ada bukti hasil TCM PCR di hari keberangkatan. Udah lumayan amanlah daripada kita dites rapid test atau PCR tidak di hari keberangkatan," sarannya.
"Fokus saya, bukan tes PCR-nya yang enggak boleh, tapi karena pemeriksaannya tidak dilakukan di hari keberangkatan. Hasilnya baru benar real time. Kalau pakai cara ini, cocoklah saya (setuju)."
Bila rekomendasi TCM PCR di bandara tidak bisa diterapkan, Aryati menekankan protokol kesehatan diperketat. Pengukuran suhu tubuh, penggunaan masker, face shield, dan mencuci tangan pakai sabun perlu dilakukan dengan baik.
"Kalau rekomendasi tersebut memang enggak bisa dilakukan, ya kita tekankan di protokol kesehatan. Pakai masker dan face shield ditambah cuci tangan pakai sabun. Ya, boleh juga ada cuci tangan berjenjang, sebelum dan saat masuk ke dalam pesawat. Bagus juga itu," ungkap Aryati.
Pengukuran saturasi oksigen juga dapat mendukung protokol kesehatan. Pengukuran saturasi oksigen menggunakan alat Fingertip Pulse Oximeter. Saturasi oksigen adalah persentase hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri. Saturasi oksigen normal antara 95 – 100 persen.
"Oh iya, saturasi oksigen juga bisa diukur. Rata-rata pasien COVID-19 meninggal karena sesak napas dan saturasi oksigen sangat rendah. Kalau di atas 95 persen aman, jauh di bawah 95 persen kita sudah sesak," imbuh Aryati.
"Soal ini lebih hati-hati juga. Jangan sampai calon penumpang sudah masuk ke dalam pesawat malah sesak. Banyak pasien yang enggak enak badan, lantas dia sesak napas di pesawat dengan kadar oksigen di dalam tubuhnya di bawah 95 persen."
Advertisement