Liputan6.com, Jakarta - Pertamina mulai menguji solar Green Diesel atau D-100. Toyota Kijang Innova Reborn menjadi unit yang digunakan untuk menguji solar 100 persen Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) tersebut.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengklaim, penggunaan bagi kendaraan dapat menghasilkan performa mesin baik. Bahkan secara subjektif menyebut suara mesin halus, tanpa menyodorkan peringkat kebisingan (DB Meter).
“Ketika kami melakukan kunjungan kerja ke DHDT Refinery Unit (RU) II milik Pertamina di Dumai. Kami bersama Dirut Pertamina menaiki mobil yang sudah diuji dengan bahan bakar D-100. Dan hasilnya suara mesin halus. Ini sekaligus sosialisasi hasil uji coba pengolahan RBDPO 100 persen,” terang Agus di Jakarta (18/7).
Baca Juga
Advertisement
Adapun rute yang dilalui dari Bandara Pinang Kampai Dumai, menuju kilang minyak Pertamina RU II. Untuk diketahui, RBDPO merupakan minyak kelapa sawit atau CPO yang telah diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities dan baunya. Pertamina mengaku mampu menghasilkan produk itu mencapai 1.000 barel saban hari di fasilitas existing Kilang Dumai.
Implementasi program bahan bakar nabati (BBN) menurut pemerintah, sebagai upaya mengoptimalkan sumber daya alam berlimpah di Indonesia. Khususnya kelapa sawit.
“Kami ucapkan selamat kepada Pertamina, khususnya Kilang Dumai yang telah membuktikan bahwa kita mampu bikin BBN. Dengan proses riset dimulai sejak 2019, kita sama-sama kerja keras untuk meningkatkan kemampuan anak negeri dan pemerintah bakal selalu mengawal Pertamina,”akunya.
D-100 merupakan hasil formulasi tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) di bawah pimpinan Prof. Dr. Soebagjo. Mereka kerja bareng tim Pertamina dalam melakukan rekayasa co-processing minyak sawit.
Racikan ini membuat Indonesia menjadi salah satu referensi teknologi produksi biofuel dunia. Bahkan ini mewujudkan teknologi produksi green diesel secara stand alone, dengan katalis merah putih.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Berpeluang Jadi Basis Produksi
Hal ini, ungkap Agus, menjadi momen tepat untuk menyampaikan pesan kalau negara bisa mandiri dalam penyediaan energi nasional.
Apalagi di tengah maraknya kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia oleh Uni Eropa dan negara importir lain. Bahkan pemerintah berencana mengurangi impor BBM dan menggantinya dengan bahan bakar hijau yang konon lebih ramah lingkungan.
Nah, di samping itu, penguasaan lisensi teknologi produksi katalis di dalam negeri dinilai menjadikan Indonesia sebagai basis produksi. Juga mengurangi ketergantungan impor.
“Kami sangat mendukung rencana pembangunan pabrik katalis skala besar atau komersial. Apalagi, hampir seluruh produksi bahan kimia membutuhkan bahan itu sebagai jantung proses produksi. Sehingga pasar katalis dalam negeri menjadi sangat potensial,” tandasnya.
Advertisement
Janji Insentif
Selazimnya dukungan Kementerian Perindustrian dalam kegiatan manufaktur. Mereka berjanji memberikan dukungan berupa kemudahan perizinan industri. Lalu penyusunan rancangan SNI katalis.
Juga fasilitasi insentif perpajakan seperti tax holiday, tax allowance dan super deduction tax. Menperin mengaku terus berpartisipasi aktif dalam penyusunan kebijakan dan pengembangan teknologi produksi bahan bakar hijau. Termasuk green diesel 100 persen.
Untuk diketahui, Pertamina telah menggunakan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dalam program biodiesel sejak 2006 sampai 2017. Selama 11 tahun, penyerapan pengganti minyak bumi itu mencapai 9,2 juta KL.
Pada 2018, Pertamina menjalankan Program B20 dengan penyerapan FAME sebesar 3,2 juta KL yang pencampurannya dilakukan di 69 lokasi.
Melalui Program B30, pada 2019 penyerapan metil ester asam lemak meningkat tajam sebesar 5,5 juta KL. Dan pada 2020 dipatok meroket menjadi 8,38 juta KL.
Sumber: Oto.com