49,2 Juta Anak Indonesia Alami Kekerasan Verbal dari Orangtua Selama Pandemi

Sementara 8,7 juta anak di Indonesia mengalami kekerasan fisik selama pandemi Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jul 2020, 20:59 WIB
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, Fidiansjah menyampaikan, 62 persen anak Indonesia mengalami kekerasan verbal selama pandemi Covid-19.

Sedangkan 11 persennya mengalami kekerasan fisik. Data ini dikeluarkan oleh Wahana Visi Indonesia pada Mei 2020.

Penelitian bertajuk 'Studi Penilaian Cepat Dampak Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia' ini juga menunjukkan bahwa 47 persen anak merasa bosan belajar di rumah, 35 persen anak merasa khawatir ketinggalan pelajaran, dan 34 persen anak merasa takut terkena penyakit, termasuk Covid-19. 

Kemudian 20 persen anak merindukan teman-temannya, 15 persen anak merasa tidak aman, dan 10 persen anak ikut merasa khawatir tentang penghasilan orangtua.

"Jadi mereka juga memikirkan penghasilan orangtua mereka selama pandemi, bahkan sampai ke ketersediaan makanannya," kata Fidiansjah dalam talkshow ‘Status Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja di Masa Pandemi’ di Gedung Graha BNPB, Jakarta, Senin (20/7/2020). 

Berdasarkan data sensus penduduk terakhir, jumlah anak Indonesia berjumlah 79,5 juta jiwa atau sekitar 30,1 persen dari seluruh penduduk di tanah air. Yang masuk ke dalam kategori anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. 

Angka-angka di atas hanya menunjukkan persentase saja. Jika dikalkulasikan ke dalam bentuk jiwa, maka 11 persen dari seluruh anak Indonesia adalah 8.745.000. Berarti jumlah anak yang mengalami kekerasan fisik sebanyak 8,7 juta. Sedangkan jumlah anak yang mengalami kekerasan verbal sebanyak 49,2 juta jiwa.

Kekerasan verbal sebenarnya secara tidak sadar sering dilakukan oleh para orangtua di rumah. Apalagi di masa pandemi ini, di mana sang anak hanya di rumah saja. Tentunya kekerasan verbal itu menyakitkan sang anak.

“Misalnya menjelek-jelekkan sang anak. 'Kamu kok bodoh sekali, kamu kok tidak bisa menyalakan komputer'. Nah itu merendahkan si anak, termasuk kekerasan emosional,” kata Fidiansjah.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Contoh Kekerasan Fisik Orangtua ke Anak

Ilustrasi Kekerasan Anak (Istimewa)

Fidiansjah juga mencontohkan kekerasan fisik yang juga kerap dilakukan oleh mayoritas orangtua di Indonesia kepada anak-anak. Dengan dalih menjadi orangtua yang tegas dan bisa mendidik, mereka tidak segan-segan mencubit atau memukul anaknya.

“Kita berpikir cuma mencubit anak untuk mendidik. Lalu kemudian habis dicubit, dipukul, dimarahi ‘Kamu kok mengerjakan tugas seperti itu saja tidak bisa?’ dan lain sebagainya. Itu harus kita perhatikan dan kita cegah,” ujarnya

Dalam diskusi yang sama, Pemerhati Kesehatan Jiwa Anak UNICEF, Ali Aulia Ramly membenarkan bila angka kekerasan terhadap anak selama pandemi Covid-19 terus naik secara signifikan. Kekerasannya meliputi fisik maupun verbal. Ia juga ikut membandingkan dengan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

“Saya memang tidak bisa membandingkan dengan situasi sebelum Covid-19. Pada dasarnya, jumlah kekerasan terhadap anak itu tinggi. Sangat mengkhawatirkan. Studi LSM lainnya juga melihat ada peningkatan yang sangat tinggi. 300 dari 1.000 responden anak mengalami kekerasan secara daring. Berarti sekitar 30 persennya,” ungkap Aulia  

Aulia juga menambahkan bila kekerasan verbal dan fisik yang anak terima bisa berdampak pada kesehatan jiwanya. Seperti yang sudah dikatakan oleh dr. Fidi, kekerasan verbal yang orangtua lakukan merupakan bentuk kekerasan emosional pula.

 

Reporter: Rifa Yusya Adilah/Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya