Mantan Menteri Keuangan Ini Ungkap Alasan Pengucuran Kredit Bank Seret

Kebijakan moneter dengan penurunan giro wajib minimum (GWM) dan penurunan suku bunga akan efektif mendorong kredit.

oleh Arthur Gideon diperbarui 20 Jul 2020, 20:42 WIB
Chatib Basri (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri menyebutkan permintaan yang minim menyebabkan perbankan sulit mengucurkan kredit kepada pelaku usaha sebagai dampak pandemi Covid-19.

“Dia (perbankan) tahu kalau memberikan kreditnya tidak ada permintaan, kreditnya akan macet. Kalau macet nanti 2021 akan ada masalah,” katanya dikutip dari antara, Senin (20/7/2020).

Menteri Keuangan 2013-2014 itu menilai permasalahan di perbankan saat ini bukan terletak pada masalah likuiditas tetapi credit crunch atau perbankan enggan mengucurkan kredit.

Agar kucuran kredit dari perbankan mengalir lancar, lanjut dia, bantuan langsung tunai (BLT) perlu diberikan tidak hanya kepada masyarakat miskin tetapi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah karena mereka akan membelanjakan bansos tersebut.

Apabila terjadi ekspansi penyaluran BLT, lanjut dia, pemerintah bisa mengevaluasi pemberian insentif dunia usaha dan dialihkan untuk bansos karena insentif dalam bentuk pajak penyerapannya 10 persen.

“Kalau perusahaannya rugi dia tidak bayar pajak karena itu mungkin perlu dilakukan evaluasi apakah insentif dunia usaha ini efektif atau enggak. Kalau dia tidak efektif, berikan saja uang untuk BLT atau penjaminan kredit,” katanya.

Dengan adanya BLT itu, ia meyakini akan mendorong permintaan atau konsumsi masyarakat sehingga pelaku usaha bisa melakukan ekspansi usaha dan menyerap kucuran kredit perbankan.

“Jadi berikan BLT sehingga permintaan naik. Ketika permintaan naik, mereka akan minta kredit. Kebijakan moneter dengan penurunan giro wajib minimum (GWM) dan penurunan suku bunga akan efektif,” katanya.

Ia mendorong agar belanja pemerintah di antaranya untuk perlindungan sosial itu dilanjutkan dalam program pemulihan ekonomi 2021 dengan tetap diikuti dengan kebijakan moneter.


OJK: Restrukturisasi Kredit Bank Capai Rp 740,79 Triliun per 29 Juni 2020

Petugas tengah melakukan pelayanan call center di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan restrukturisasi kredit per 29 Juni 2020 telah menjangkau 6,56 juta debitur dari 100 bank yang telah mengimplementasikan restrukturisasi dengan baki debet sebesar Rp 740,79 triliun.

Seperti sebelumnya, UMKM masih mendominasi dengan 5,29 juta debitur dengan baki debet senilai Rp 317,29 triliun. Total realisasi UMKM ini mengalami peningkatan dibandingkan Mei, yakni sebesar 101,578 juta atau 1,96 persen debitur dengan nominal realisasi meningkat Rp 9,467 triliun atau 3,08 persen dari realisasi Mei sebesar Rp 307,828 triliun.

“Sementara untuk debitur non-UMKM, total realisasinya 1,27 juta debitur dengan baki debet sebesar Rp 423,5 triliun,” melansir keterangan OJK, Selasa (7/7/2020).

Adapun realisasi restrukturisasi kredit UMKM ini, terbanyak terjadi di wilayah Jawa Timur yang mencapai 865.449 debitur dengan total baki debet sebesar Rp 46,825 triliun.

Sementara untuk total debitur terbanyak terjadi di Jawa Barat yang mencapai 1.489.986 debitur dengan baki debet sebesar 98,952 triliun.

Untuk perusahaan pembiayaan, realisasi restrukturisasi kredit sampai dengan 30 JUni 2020, sebanyak 3.740.837 kontrak dari 4.418.088 kontrak permohonan telah disetujui untuk restrukturisasi dengan nilai Rp 133,84 triliun. Sedangkan sisanya, sekitar 451.655 kontrak masih dalam proses.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya