Liputan6.com, Jakarta Beberapa kandidat vaksin COVID-19 yang tengah diuji di dunia menunjukkan hasil yang dianggap positif. Salah satunya adalah ChAdOx1 nCoV-19 yang dikembangkan para peneliti di Oxford University, Inggris.
Hasil uji klinis fase 1 dan 2 yang dilakukan oleh para peneliti vaksin tersebut diterbitkan di jurnal The Lancet. Mereka menyatakan bahwa tidak ada masalah soal keamanan vaksin dalam studi awal ini.
Advertisement
Selain itu, vaksin COVID-19 tersebut juga menginduksi respons kekebalan yang kuat di sistem kekebalan tubuh.
Dalam laman resmi Oxford, dikutip Selasa (21/7/2020), vaksin ini memicu respons sel T dalam waktu 14 hari setelah vaksinasi. Sel tersebut merupakan sel darah putih yang dapat menyerang sel terinfeksi virus SARS-CoV-2. Selain itu, vaksin ini juga memicu respons antibodi dalam 28 hari.
"Langkah selanjutnya dalam mempelajari vaksin adalah memastikan bahwa vaksin itu dapat melindungi secara efektif terhadap infeksi SARS-CoV-2," tulis Oxford dalam pernyataan resmi mereka.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Efek Samping
Para peneliti mengatakan bahwa dalam tahap 1 dan 2 studi tersebut, vaksin virus corona yang dikembangkan tidak mengarah pada reaksi yang tidak terduga dan memiliki profil keamanan yang serupa dengan vaksin jenis ini sebelumnya.
Beberapa efek samping ditemukan meski tidak serius, antara lain kelelahan, demam, sakit kepala, sakit di lokasi penyuntikkan, serta kedinginan.
Beberapa peserta diminta meminum parasetamol sebellum dan setiap 6 jam selama 24 jam setelah divaksinasi. Sementara relawan lain menunjukkan lebih sedikit efek samping ringan.
Profesor Andrew Pollard dari Oxford University mengatakan bahwa respons imun yang ditemukan setelah vaksinasi sejalan dengan apa yang ditunjukkan dalam penelitian pada hewan sebelumnya.
Meski begitu, ia mengatakan bahwa studi klinis pada manusuia secara ketat tetap harus dilakukan untuk mengonfirmasinya.
"Kami melihat respons kekebalan terkuat di 10 peserta yang menerima dua dosis vaksin, menunjukkan bahwa ini mungkin strategi yang baik untuk vaksinasi," kata Pollard.
Advertisement
Lanjutkan Uji Klinis Fase 3
Sarah Gilbert, salah satu penulis studi yang juga profesor vaksinologi di Oxford mengatakan bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan apakah vaksin mereka bakal membantu meredam pandemi COVID-19.
"Selain melakukan uji klinis fase 3, kami perlu belajar lebih banyak tentang virus, misalnya, kami masih tidak tahu seberapa kuat respons kekebalan yang perlu kita bangkitkan untuk melindungi secara efektif terhadap infeksi SARS-CoV-2," kata Gilbert dikutip dari Live Science.
Selain itu, para penulis juga mencatat bahwa penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk mereplikasi hasilnya dalam kelompok orang yang berbeda. Hal ini mengingat 91 peserta dalam pengujian adalah kulit putih dengan usia rata-rata 35 tahun.
Para peserta tersebut akan dipantau selama sekitar satu tahun. Sementara itu, mereka juga tengah merekrut relawan untuk uji coba fase 2 dan 3 yang berlangsung di Inggris, Brasil, dan Afrika Selatan.