Liputan6.com, Jakarta - Tik Tok adalah aplikasi gratis yang menyajikan video-video pendek seperti YouTube. Pengguna dapat memposting video berdurasi satu menit dan memilih dari database lagu dan filter yang telah disediakan.
Dengan berbagai jenis video yang disajikan, Tik Tok telah menjadi fenomena di kalangan anak muda.
Tetapi dengan hubungan yang kuat dengan China, Tik Tok telah menjadi perusahaan terbaru yang diserang karena ketegangan antara Presiden China Xi Jin Ping dan Presiden AS Trump meningkat. Demikian seperti mengutip BBC, Rabu (22/7/2020).
Advertisement
Saat ini, Amerika Serikat dan Australia sedang mempertimbangkan untuk melarang peredaran aplikasi tersebut. Bahkan, India telah mengambil aplikasi tersebut dari peredaran.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menuduh bahwa pengguna TikTok memiliki risiko bahwa data diri mereka akan berakhir "di tangan Partai Komunis China".
Menanggapi hal tersebut, TikTok telah berulang kali bersikeras menjelaskan bahwa data dari para pengguna dikumpulkan dan disimpan di luar China.
"Saran bahwa kita dengan cara apa pun berada di bawah jempol pemerintah China adalah sepenuhnya benar-benar salah," ujar Theo Bertram, kepala kebijakan publik TikTok untuk Eropa, Timur Tengah dan Afrika.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Di Bawah Kontrol China
Seperti halnya Huawei, argumen terhadap TikTok tampaknya didasarkan pada kemungkinan teoretis pemerintah China yang memaksa ByteDance di bawah undang-undang setempat untuk menyerahkan data tentang pengguna asing.
Undang-undang Keamanan Nasional 2017 di Tiongkok memaksa setiap organisasi atau warga negara untuk "mendukung, membantu dan bekerja sama dengan pekerjaan intelijen negara" sesuai dengan hukum.
Bertram mengatakan bahwa jika TikTok didekati oleh pemerintah China, "kami pasti akan mengatakan tidak untuk setiap permintaan data".
Tetapi ByteDance akan berhati-hati tentang konsekuensi tidak menyenangkan bagi Partai Komunis.
Aplikasi berita perusahaan yang sangat populer bernama Toutiao telah dihentikan secara offline selama 24 jam pada tahun 2017 , menurut South China Morning Post, setelah Kantor Informasi Internet Beijing mengatakan telah menyebarkan "konten porno dan vulgar".
Menolak perintah langsung dari spymaster di negara itu juga dapat memiliki konsekuensi bagi perusahaan yang lebih luas dan kepemimpinannya.
Advertisement
Mungkinkah Jadi Propaganda?
Kekhawatiran lainnya yang muncul adalah terkait sensor.
China memiliki salah satu ruang internet paling terbatas di dunia, dengan Great Firewall-nya yang terkenal memblokir bagian-bagian web bagi warganya.
Tahun lalu, media The Guardian melaporkan bahwa staf TikTok dan sistem otomatisnya telah menegakkan aturan moderasi yang menyensor materi yang dianggap sensitif secara politik. Rekaman protes di Lapangan Tiananmen dan tuntutan kemerdekaan Tibet adalah di antara materi yang dikatakan telah dilarang atau dibatasi.
Pelaporan lebih lanjut oleh Washington Post, yang berbicara dengan enam mantan karyawan TikTok, mengatakan moderator di China memiliki keputusan akhir tentang apakah video yang ditandai disetujui atau tidak.
ByteDance mengatakan pedoman yang dirujuk sudah dihapus.
Tetapi beberapa orang berpendapat bahwa budaya moderatnya masih bias terhadap negara China.